“Aku tahu ini hanya halusinasi. Jika saja aku belum bertemu dengan orang-orang Kalingga, mungkin aku akan berpikir bahwa ini sebuah ingatan yang memang aku lupakan,” ujar Rion.
Tubuh Rion berayun-ayun. Dia terbuai antara kesadaran dan halusinasi. Panas matahari mengeringkan tubuh dan pikirannya. Mata pemuda itu terpejam. Di sampingnya, kondisi Silver tak kalah mengenaskan meski dia masih sadar seutuhnya. Karena terbiasa berada di lautan, Silver masih mampu menjaga kewarasannya.
“Jangan sampai kau tertidur atau selamanya tak akan bisa bangun!” bisik Silver. “Kita berada di atas air. Kutukan sihir hidup abadi yang kita miliki hanya berlaku jika kita terus menapak tanah.”
Rion bergumam meski matanya masih terkatup. Bibirnya memucat dan pecah-pecah. Kerongkongan terasa perih. Dia tersenyum tipis sekali. “Meski hanya halusinasi, tapi aku sangat bahagia. Setidaknya, aku akan mati denga
“Kita tak akan selamat!” bisik Karuna putus asa di antara gejolak perutnya yang kembali ingin muntah.Di depan kemudi, sang nelayan tua sebagai kapten kapal berjuang keras untuk mengendalikan kapal agar tak terseret arus badai di samudra pasifik. Haridra bergelantungan di tiang kapal bersama awak yang lain untuk mengendalikan layar. Aoi berdiri di buritan kapal dengan kedua pedang tergenggam sambil memperhatikan bayangan gelap yang semakin lama semakin mendekat ke arah mereka.“Para perompak!” teriak salah satu awak kapal yang mulai menyadari bayangan gelap yang muncul di balik badai dan petir itu.Aoi menggeram. “Di saat seperti ini?”Sebuah kapal super besar melaju dengan kelincahan luar biasa menerjang badai. Seolah-olah kapal hitam dengan bendera yang bergambar dua bilah pedang tersilang itu adalah kapal hantu yang muncul dari kedalaman laut. Ukuran kapal itu t
PROLOGTanah di sepanjang jalan setapak hutan Suci terasa bergetar dengan debu-debu kekuningan mulai berterbangan. Burung-burung yang tengah bertengger di sekitaran lebat hutan Suci jadi terusik dan berterbangan. Suara kaokan dan kepakan sayap mereka menggema ke hutan terdalam. Suara bekantan-bekantan jantan menguak panjang saling bersahutan di kejauhan.Entakan berpasang-pasang kaki kuda membuat jalanan setapak kering itu menjadi diselimuti debu. Di punggung kuda-kuda itu terdapat sejumlah pria dalam balutan penutup wajah. Masing-masing dari mereka membawa senjata beraneka rupa. Satu penunggang kuda terdepan berhenti tepat di persimpangan jalan setapak. Kuda-kuda di belakangnya ikut berhenti dan meringkik. Kedua kaki depan mereka terangkat tinggi.Pria terdepan mengangkat satu tangan memberi perintah agar pasukan di belakangnya tenang. Pria itu menelengkan kepala mendengarkan dengan saksama sua
Aroma wangi dupa dari pohon gaharu mengusik indera penciuman Rion. Dia tersengal dan tersedak oleh udara wangi yang tiba-tiba membanjiri paru-paru dan otaknya. Matanya berkunang-kunang. Dia menatap langit-langit dengan lampu gas tergantung di sana.“Malam?” bisiknya.Rion terduduk dengan cepat sambil memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. “Di mana aku?” Dia gelagapan.Pemuda itu tak mencium aroma asin air laut lagi. Dia tatap tubuhnya yang terbalut kimono dan selimut kapas super tebal. Seketika tubuhnya menggigil hebat. Dia tak pernah merasa sedingin ini. Perapian di dekat kasur hangatnya masih menyala. Arang penghangat air juga masih menyala.Sraak! Pintu geser di sudut ruangan terbuka. Seorang perempuan duduk di luar pintu sambil menyorongkan sebaki makanan. Perempuan itu terlihat sedikit aneh. Wajahnya pucat dengan rambut yang dibentuk seperti gelungan super besar.
“Kenapa kau tidak membunuh mereka? Mereka melihat semuanya!” protes Saito sambil mengejar langkah Hiji yang berjalan cepat di depannya.“Kita akan putuskan nanti saat kita pulang,” jawab Hiji dengan datar dan terus berjalan.Saito berdiri di tengah jalan di bawah guyuran butiran salju. Dia tatap punggung Hiji yang berbalut haori berwarna biru muda dengan aksen putih. Rambut hitam panjangnya dikuncir ekor kuda dengan ikat kepala putih. Gadis itu selalu berwajah dingin dan bersikap praktis.“Aku harap kau akan membuat keputusan yang tepat, Hiji-san,” bisik Saito pada dirinya sendiri. Dada gadis itu naik turun dengan napas yang beruap.Matahari pagi berkilauan saat menimpa permukaan salju yang putih. Burung-burung berkicau di dahan-dahan pohon yang membeku. Atap bangunan, tembok, pagar, dan seluruh permukaan tanah berselimutkan salju putih.Bruuk!
“Jangan bicara sembarangan!” tegur Isami pada anak buahnya. “Pejabat negara tidak bisa membunuh orang yang tidak bersalah seperti itu!”Dengan wajah tenang dan senyum masih terkembang di bibirnya, Okita menjawab, “Jangan berwajah seperti itu, Isami. Aku hanya bercanda.”Rion tidak merasakan keuntungan apa pun jika membuat keributan atau bermusuhan dengan para gadis-gadis shinsengumi itu. Dia mengulurkan tangan ke tengkuk Silver dan mendorongnya agar menunduk bersamaan. “Kami mohon, kami tak akan mengatakan apa pun! Kami... Kami hanya orang asing yang tersesat di sini!” pinta Rion.Silver kesal karena dipaksa menunduk di hadapan para gadis aneh itu. Tapi, dia tak bisa melawan karena tak ingin membuat suasana menjadi semakin buruk. Dia sama sekali tak memahami arah pembicaraan Rion dan para gadis yang ada di sana.“Sudah cukup! Bawa mereka pergi!&rd
“Kalian!” teriak Isami. “Tentu saja aku tak akan menginginkan mereka telanjang. Tutup kembali pakaianmu, Pemuda!” pintanya pada Silver yang baru membuka bagian atas kimononya.“Isami, tolong tenanglah!” bujuk si gadis berkacamata. Dia menatap pada Silver. “Kalian bilang datang dari negeri Jawa Dwipa? Beberapa minggu yang lalu aku mendengar kabar ada sekelompok pendatang juga dari negeri asing. Mereka singgah di utara Tokyo dan membuat keributan di sana.”Rion sangat antusias. “Apa kau tahu siapa mereka?”Rion sangat berharap jika itu adalah salah satu anggota dari Mahapanca atau anak buah Raja Ragnart. Jika memang mereka juga singgah di Tokyo, maka akan ada kesempatan bagi Rion dan Silver untuk mengejar Nara dengan lebih cepat.“Hei, seberapa banyak yang kau tahu?” tanya Saito pada Rion.“Seberapa banya
Di sebuah gang yang sempit dan gelap, dua sosok berpakaian hitam menunggu kedatangan Okita. Rion memperhatikan dari kejauhan.“Apa mereka musuh? Atau kawan? Tapi, itu bukan urusanku, bukan?” Rion memilih mundur dan hanya mengawasi.Okita kembali ke markas. Dia berjalan melewati Rion begitu saja. Gadis itu terlihat murung sampai-sampai tak sadar Rion sudah ada di sana.“Kau baik-baik saja, Okita-san?”Gadis itu menatap Rion dengan muak dan berlari kembali ke markas shinsengumi.Silver duduk di ruang makan dikelilingi oleh gadis-gadis shinsengumi. Ada Okita si rambut sepundak yang suka melipat rambutnya ke atas, Heisu yang paling muda dengan rambut panjang sepantat, Saito gadis berambut ungu panjang yang disampirkan ke pundak, dan Shin gadis yang suka bercanda dengan dada berisi dan penuh.Sraak!Okita menggeser pintu ruang makan dan berdiri di sana dengan wajah pucat. Di tangannya ada selembar surat yang baru di
Okita dan Silver sama-sama mendapat hukuman. Mereka harus membersihkan markas sampai ke titik debu paling kecil sekalipun. Hal itu terjadi karena baik Okita maupun Silver menolak mengakui kesalahannya. Mereka berkeras bahwa mereka tidak bersalah. Silver akhirnya mengalah dan ikut menerima hukuman meski dengan jelas Okita yang salah memasuki kamarnya saat sedang mabuk semalam.Di halaman depan, para pasukan shinsengumi yang lain terlihat sibuk. Mereka menyambut kepulangan Asami, Hiji, dan Shana yang katanya terluka. Gadis berkacamata yang menjabat sebagai ketua shinsengumi itu terlihat baik-baik saja. Dia masih menampilkan senyum hangatnya meski tangan kanan diperban dan tak bisa beraktivitas seperti biasanya.“Aku tak apa-apa. Ini bukan cedera serius.”Akan tetapi, semua orang menatap Shana dengan pandangan mengiba dan kasihan.“Aku baik-baik saja, astaga, ada apa dengan kalian? Ini