Home / Pendekar / Panglima Kalamantra / 92: Kembali Utuh

Share

92: Kembali Utuh

Author: Roe_Roe
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Saat Haridra masuk ke lab bawah tanah yang berantakan dan tergenang cairan kehijauan dengan banyak serpihan kaca berserakan, diam-diam Keiko sadar dari pingsannya meski terluka parah. Eknath bangkit dari tidur panjangnya dengan tubuh telanjang. Dia melindungi Aoi yang sudah hampir mati di tangan Keiko. Pria berambut biru gelap itu mengeluarkan tombak mata satunya dari telapak tangan kanan.

Keiko tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Selama di dalam inkubator, Eknath disedot energinya sampai ke titik terendah hingga dia hanya bisa terlelap. Energi yang disedot itu diserap oleh Ron untuk peremajaan tubuhnya agar selalu tampil muda. Kini, Keiko tahu Eknath selama ini hanya berpura-pura melemah.

“Tapi, untuk apa dia melakukan semua itu jika bisa kapan saja pergi dari lab?” batin Keiko. Dia tak mengerti apa yang sedang dipikirkan dan direncanakan oleh sang Panglima Rawarontek ini. “Memang dari awal dia terlihat janggal. Bagaim

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Panglima Kalamantra    93: Misteri Kolam Air Panas

    “Panglima Rengkah Gunung!” ujar Kamiya Aoi.Karuna dan Rion terkesiap. Haridra dan Silver kebingungan.“Kalian tahu sesuatu tentangnya? Bertahun-tahun Ron memerintahkan para pemburu Selter Agung untuk mencari dan membawanya. Akan tetapi, tak ada satu pun manusia di Jawa Dwipa yang tahu tentang legenda ini. Di dalam buku-buku tua yang aku baca juga tidak pernah menyebutkan sosok ini.” Aoi tampak berpikir keras dan mengira-ngira siapa sosok ini.“Dia... Panglima kedelapan!” tutur Rion datar yang diiyakan oleh Karuna.Haridra dan Silver semakin tak mengerti. “Aku pikir, panglima legenda hanya ada tujuh dan semuanya berasal dari sihir pancasona yang berhasil diciptakan oleh Ratu Shima.”“Seorang pria tua jembel!” Rion seketika tersadar. “Sewaktu aku terbangun di dasar jurang, ada seorang pria tua jembel yang memasukkan

  • Panglima Kalamantra    94: Pertemuan Kembali

    “Sudah kukatakan untuk bermalam di hutan saja!” keluh Karuna yang bangkit dengan kapara di tangannya untuk menebas tiga perempuan yang badannya berubah menjadi ular dan membelit Haridra.Rion berlari ke ruang ganti untuk mengambil celurit, tapi diadang oleh dua orang perempuan yang masih muda dan sangat cantik. Mereka menyeringai dengan taring-taring tajam dan lidah belah yang menjulur panjang. Seputar leher sampai dada kedua perempuan itu ditumbuhi sisik-sisik putih yang berkilau saat terkena cahaya lampu. Mereka menyerang Rion dan ingin menancapkan taring berbisanya.Aoi yang bersembunyi di kolong tempat tidur merangkak keluar dan memeriksa kunai-kunai yang bertancapan di ranjang dan dinding. Kunai-kunai itu dilapisi oleh bisa ular. Di depan pintu kamarnya terlihat bayangan sesuatu yang mendekat. Aoi mengeluarkan pedangnya dan kabur mengendap-endap melalui jendela ke halaman belakang.Silver yang muntah kar

  • Panglima Kalamantra    95: Pelabuhan Lama

    Mereka berlima akhirnya berpisah untuk menempuh jalan masing-masing dan akan bertemu kembali di kota pelabuhan Grisse di mana pasukan Raja Ragnart sedang membuat basis pertahanan militer di sana. Rion sendiri memilih kembali ke Kalingga sebelum pergi ke Kota Grisse di pesisir utara negeri Jawa Dwipa.Dengan kudanya, dia menyisiri jalan-jalan yang selama ini ditutup dan dijaga ketat oleh para bandit utara. Namun, kini jalan-jalan di perbatasan antara Kota Kahuripan dan Kota Grisse tampak lengang. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya menerbangkan debu-debu yang selama beberapa tahun ini hujan hanya turun beberapa kali saja.Rion menunggangi kuda hitamnya. Dia mengenakan topi lebar dan bermantel hitam tanpa lengan. Rambut merah panjangnya berayun-ayun karena embusan angin. Dia memelankan laju kuda saat baru saja melintasi jembatan beton yang menjadi penghubung antara wilayah Kota Kahuripan dan Kota Grisse. Dia melirik ke arah air sungai di

  • Panglima Kalamantra    96: Pertemuan dengan Raja Ragnart (1)

    Rion memanggil dan menunggangi singanya di bawah guyuran hujan yang mulai mereda. Dia berpacu dengan waktu agar tiba di pelabuhan Grisse tepat waktu. Satu batalyon pasukan di bawah kepemimpinan Catto datang mengadang Rion di pusat kota. Di tengah-tengah simpang jalan beraspal yang lengang dengan bangkai-bangkai kendaraan dan sampah berserakan, Rion menghentikan singanya. Keberadaan singa raksasa itu sontak menarik perhatian. Dari arah utara yang terhubung dengan pelabuhan Grisse, Catto datang bersama pasukannya yang sangat menggentarkan dan membawa beragam jenis senjata. Sosok mereka khas layaknya para bandit yang berwajah bengis.Rion mendongak memeriksa rintik hujan. Dia tak bisa memanggil pasukan burungnya. Sedangkan dari arah utara sejumlah bandit mulai merentangkan jaring pemburu untuk menjebak dan menangkap pemuda itu. Awalnya mereka sedikit ragu karena kedatangan sang singa jantan yang sebesar sapi. Akan tetapi, pasukan penyihir di belakang mereka meyakinkan semua akan bisa dia

  • Panglima Kalamantra    97: Pertemuan dengan Raja Ragnart (2)

    Mendengar nama Sakka disebut, Rion mengernyit. “Diakah pria yang ingin sekali diselamatkan oleh Nara?” tanya Rion. “Jadi benar jika selama ini Shogun Sakka Kodaichi yang menjual informasi tentang Selter Agung pada Raja Ragnart?”“Itu tidak benar!” bantah Aoi. “Kita belum tahu pasti kebenarannya!”Rion berpikir keras. Dia memutar kudanya menghadap ke seluruh pasukan pendukungnya. “Mereka sedang membawa armada perangnya dan akan mendarat di pelabuhan Grisse. Jika sampai mereka berhasil membuat basis militer di sini, maka seluruh daratan Jawa Dwipa akan berhasil mereka kuasi.”“Apa rencanamu, Penyihir Merah?” tanya Kamiya Aoi.Rion tersentak. Dia hampir tak punya rencana. “Kita harus menguasai seluruh wilayah Grisse dan melindunginya dari dalam! Aku minta masing-masing dari kalian membentuk kelompok dan menyebar ke penjuru Kot

  • Panglima Kalamantra    98: Sebuah Ilusi

    Seorang pemuda berkaus oblong biru pudar dan celana katun selutut yang berlumuran debu sibuk mencangkuli tanah penuh batu. Punggungnya melengkung dengan peluh yang menderas. Kerongkongan pemuda itu terasa kering dan menyayat. Perutnya pun terus bergolak menahan lapar.“Aku tak sanggup lagi!” keluh pemuda itu sambil melemparkan cangkul sekenanya hingga terjatuh mengenai gundukan yang tertutup tikar pandan.Cangkul melorot. Dari balik tikar pandan, mencuat sebuah tangan mungil seorang anak perempuan yang mengenakan cincin dengan huruf K yang menjadi simbol dari klan Kalingga. Seorang pria berusia akhir tiga puluhan dengan berewok lebat berjalan mengambil cangkul itu dan membetulkan kembali posisi mayat. Dia mendesah. Pandangannya menyapu tubuh-tubuh tak bernyawa lainnya yang tergeletak berjajar tak kurang dari dua puluh. Sekawanan lalat mulai berterbangan dan mendengung di sekitar mayat-mayat itu.“Jangan mengeluh, Rion! Kalau mayat-mayat ini tak

  • Panglima Kalamantra    99: Terombang-ambing di Tengah Lautan

    “Aku tahu ini hanya halusinasi. Jika saja aku belum bertemu dengan orang-orang Kalingga, mungkin aku akan berpikir bahwa ini sebuah ingatan yang memang aku lupakan,” ujar Rion.Tubuh Rion berayun-ayun. Dia terbuai antara kesadaran dan halusinasi. Panas matahari mengeringkan tubuh dan pikirannya. Mata pemuda itu terpejam. Di sampingnya, kondisi Silver tak kalah mengenaskan meski dia masih sadar seutuhnya. Karena terbiasa berada di lautan, Silver masih mampu menjaga kewarasannya.“Jangan sampai kau tertidur atau selamanya tak akan bisa bangun!” bisik Silver. “Kita berada di atas air. Kutukan sihir hidup abadi yang kita miliki hanya berlaku jika kita terus menapak tanah.”Rion bergumam meski matanya masih terkatup. Bibirnya memucat dan pecah-pecah. Kerongkongan terasa perih. Dia tersenyum tipis sekali. “Meski hanya halusinasi, tapi aku sangat bahagia. Setidaknya, aku akan mati denga

  • Panglima Kalamantra    100: Elang Penunjuk

    “Kita tak akan selamat!” bisik Karuna putus asa di antara gejolak perutnya yang kembali ingin muntah.Di depan kemudi, sang nelayan tua sebagai kapten kapal berjuang keras untuk mengendalikan kapal agar tak terseret arus badai di samudra pasifik. Haridra bergelantungan di tiang kapal bersama awak yang lain untuk mengendalikan layar. Aoi berdiri di buritan kapal dengan kedua pedang tergenggam sambil memperhatikan bayangan gelap yang semakin lama semakin mendekat ke arah mereka.“Para perompak!” teriak salah satu awak kapal yang mulai menyadari bayangan gelap yang muncul di balik badai dan petir itu.Aoi menggeram. “Di saat seperti ini?”Sebuah kapal super besar melaju dengan kelincahan luar biasa menerjang badai. Seolah-olah kapal hitam dengan bendera yang bergambar dua bilah pedang tersilang itu adalah kapal hantu yang muncul dari kedalaman laut. Ukuran kapal itu t

Latest chapter

  • Panglima Kalamantra    25: Segel Kutukan

    “Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan

  • Panglima Kalamantra    24: Terkuaknya Sosok Berkecapi

    Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.

  • Panglima Kalamantra    23: Pasukan Iblis Kabut

    “Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka

  • Panglima Kalamantra    22: Pasukan Ngengat

    Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem

  • Panglima Kalamantra    21: Penjaga yang Mati

    Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam

  • Panglima Kalamantra    20: Mantra Pengundang Iblis

    Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me

  • Panglima Kalamantra    19: Kehancuran Misterius di Kota

    “Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!

  • Panglima Kalamantra    18: Merangkak Menuju Harapan

    Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L

  • Panglima Kalamantra    17: Tiga Kekalahan

    “Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany

DMCA.com Protection Status