Salah satu dari kelima pria itu menyerang Rion tanpa peringatan. Ruangan kedai yang sempit dan banyak bangku membuat Rion kesulitan menarik pedang dari pinggangnya. Ayunan pedang pria berjambul itu sudah melayang lebih dulu ke arah kepala Rion.
Tang!
Rion membuka lebar matanya dan tak berkedip sama sekali.
“Dasar bodoh!” teriak Okita yang muncul di sana dan sudah menangkis serangan pedang itu untuk Rion.
“Okita-san?” Rion menelan ludah.
“Untuk apa pedang itu kau bawa? Sebagai pajangan?” desis Okita.
Rion nyengir dan merasa kikuk. Dia merutuki diri sendiri karena tak terbiasa menggunakan pedang katana yang panjang dan berat jika dibandingkan dengan celurit.
“Kau sungguh beruntung. Apa yang harus kita lakukan dengan orang-orang ini?” lirik Okita pada kelima pria berpedang di kedai.
&nbs
Rion berlari dengan terengah-engah. Dia bahkan tak bisa memanggil singanya karena celurit tak ada di tangan. Berulang dia menggeram karena kesal.“Hosh... Hosh... Pertemuan di Distrik B. Aku harus memberi tahu pasukan Hiji bahwa Distrik A hanya pengalihan. Mereka harus pergi ke Distrik B.”Di Distrik B tempat pertemuan dan penjualan senjata ilegal dilakukan, pasukan shinsengumi yang dipimpin oleh Isami dengan anggota Heisu, Okita, dan Saito sudah mulai menggerbek kedai ramen itu. Silver yang dikirim ke Distrik B untuk memberi peringatan dan bantuan, belum tiba saat Isami dan pasukannya mulai menyerang kedai ramen. Tak satu pun dari mereka yang mengira bahwa lokasi itu tengah diintai oleh pasukan yang lebih besar.Di kedai ramen ada sekitar sepuluh pria berpedang. Kelompok Isami terbelah. Isami dan Saito menghadapi sekelompok lawan di halaman. Sedangkan Okita dan Heisu menghadapi lawan di dalam kedai.&
Saat Hiji dan pasukannya tiba di kedai ramen, sejumlah besar pasukan pemberontak yang akan mengawal jalannya transaksi pembelian senjata ilegal berdatangan dari arah ibu kota.“Saito, masuklah ke dalam dan bantu mereka! Aku akan menahan pasukan yang baru datang di sini!”“Aku mengerti,” jawab Saito dengan tenang. “Kita langsung masuk!” perintahnya pada anggota shinsengumi yang lain.Separuh pasukan yang ada akan mengikuti Saito masuk ke kedai ramen. Separuh sisanya akan membantu Hiji mengadang pasukan pemberontak dari ibu kota. Mereka semua serempak mengeluarkan pedangnya.Rion merasakan degup jantungnya berpacu cepat dan keras. Jedug! Jedug! Dia merasa sesak dan kesakitan.“Silver,” gumamnya sambil memegangi dada yang nyeri. “Tidak! Ini energi kegelapan milik orang lain, bukan milik Panglima Kalamantra.”
Anggota inti shinsengumi—ketujuh gadis penuh kejutan itu tengah berkumpul di ruang makan. Rion dan Silver ikut mengamati mereka dengan duduk di belakang.“Mereka sungguh tangguh,” puji Silver diam-diam.“Ya, luka separah itu bisa mereka lalui dengan cepat dan seolah-olah bukan hal yang perlu diseriusi. Padahal, mereka semua hanyalah gadis normal yang bisa mati sewaktu-waktu.”“Kalian... Membicarakan kami?” seringai Heisu yang tiba-tiba berbalik dan menghadap ke Rion dan Silver. “Kunci agar kami bisa bertahan, baik sebagai gadis manis maupun sebagai pasukan shinsengumi adalah....”“Jangan biarkan wajahmu terluka! Haha...,” sahut yang lain.Mereka semua tertawa. Okita sampai terbatuk dan kesakitan karena dadanya masih lebam akibat pukulan gagang pedang beberapa hari yang lalu.“Tapi, aku ta
Di gerbang timur, Sano dan pasukannya berhasil mengejar kelompok pemberontak dari klan Ozu. Para pemberontak itu mencoba menyerang ke istana melalui gerbang di benteng timur. Sano mengayunkan pedang kembarnya. “Kalian harus mengalahkan kami dulu jika ingin menyerang istana.” Sano memutar pedang kembarnya dengan cepat yang saling terkait dengan rantai.“Bajingan!” umpat pimpinan pasukan pemberontak di gerbang timur.“Jika ada yang ingin mati, maju sini!” tantang Sano dengan seringai nakalnya.Pemimpin pasukan Ozu ketakutan begitu menyadari haori yang Sano kenakan. “Sebaiknya kita mundur!”“Jangan biarkan mereka lari!” teriak salah satu anggota pasukan Sano. Shinsengumi mulai memburu para pemberontak Ozu yang kabur.Dor! Dor!Langkah pasukan shinsengumi terhenti. Dua orang anggotanya tumbang akibat tem
Sraak!Rion menggeser pintu hingga terbuka. Cahaya senja menyilaukan mata Silver yang tengah berbaring malas di kamar. Rion mendekat. Bayangan tubuhnya memanjang menutupi Silver. Dia berdiri menjulang di depan pemuda berambut perak itu.“Ada apa?”Rion merogoh yukatanya dan menyerahkan selmbar kertas yang digulung pada Silver.Silver menerima dan membukanya dengan cepat. “Sudah kuduga mereka memang ada di sini!” Dia mengepalkan tinju. “Apa kau menyadari kekuatan gelap dari dua orang yang kita temui di kedai ramen Distrik B?”“Ya, aku juga bertemu lagi dengannya saat membantu shinsengumi memburu pasukan pemberontak di benteng istana kekaisaran.”“Jadi, mereka memang orang-orang kiriman Raja Ragnart? Untuk apa mereka jauh-jauh pergi ke sini?” heran Silver.“Apa kau lupa bagai
“Ke-Keiko?” bibir Rion bergetar saat mengucapkan nama itu dengan sangat lirih.“Jadi kau memang mengenalnya....” Shana berdiri di belakang Rion tanpa ekspresi apa pun.Dia berjalan mendekat ke lemari pendingin yang terbuka itu dan menutupnya lagi. Shana berbalik menghadap Rion dan berjongkok di depannya.“Dia... Menawarkan sesuatu padaku sebelum mati!” Shana menutup mata.Rion membeliak dengan mulut sedikit menganga. “Situasi sialan apa ini? Kenapa aku terjebak dengan jalinan takdir yang kejam begini?” batinnya.Mulut Rion membuka menutup. Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan tapi terlalu takut sampai tak bisa bersuara. Shana berdiri dan mengulurkan tangan kirinya yang sehat pada Rion. Pemuda itu menerimanya. Dia berdiri dengan bantuan Shana.Shana mengulang kembali ingatannya. Saat melakukan patroli pembersih
Silver berdiri di halaman depan kamarnya di markas shinsengumi. Dia mendongak memperhatikan bulan purnama yang benderang. Burung-burung malam berterbangan dari satu arah. Dadanya berdegup cepat dengan perasaan tak nyaman luar biasa.“Rion dalam masalah.”Pemuda itu berlari mengikuti nalurinya yang selalu membawa dia kembali pada Rion. Yukata yang dia kenakan terkelepai seiring laju larinya yang cepat. Kaki sampai pahanya tersingkap karena Silver melangkah selebar mungkin untuk memangkas jarak.Silver berdiri di depan gedung bekas klinik gigi yang gelap dan sepi. Kabut menyelimuti tempat itu dan bangunan lain di sekitarnya. Dia mendengar suara-suara debuman dari dalam gedung. Silver mengepalkan tangan di samping tubuh. Dia buka telapanya dan menarik napas dalam.“Tanah, udara, dan air, berikan kekuatanmu padaku.” Embun tersedot ke dalam paru-paru Silver. Matanya memejam d
“Efek obat akan terjadi selama 24 jam pertama. Kita hanya perlu menjaga dan mengawasi agar bisa tahu, dia akan berhasil melewatinya, dikalahkan oleh obat itu, atau mati mengenaskan,” ujar Okita.Hiji dan Saito mengayunkan pedang ke depan mata Silver dan Rion. “Kalian sudah melihat semua ini! Kalian pikir masih bisa bebas?”“Tentu saja tidak!” ujar Rion. “Aku bahkan sudah bersiap akan membunuh Shana. Sayangnya, dia masih mempunyai darah merah (manusia) di tubuhnya.”Klik. Hiji memutar pedangnya pada bagian tajam ke arah leher Rion. “Jadi, kau tahu sesuatu tentang obat ini?”Rion bersikap setenang mungkin. Satu gerakan kecil saja, Hiji mungkin akan menebas lehernya. Pemuda itu bertatapan dengan Hiji.“Matanya... Sama seperti saat pertama kami bertemu. Dia gadis yang sangat dingin dengan wajah datar tanpa ekspresi. Se