Keiko berdiri di luar jeruji penjara. Di belakangnya ada Anila yang menodongkan sebilah belati ke pangkal leher perempuan Yanbian itu. Wajah Keiko memucat dan sangat ketakutan.
“Buka!” sentak Anila pada Keiko.
Perempuan Yanbian itu mendesis dan tak bergerak. Anila menekan ujung belatinya ke leher kanan Keiko hingga menggores kulit putihnya dan merembeskan sedikit darah pekat. Keiko mengernyit dan terpaksa berjalan mendekati jeruji. Dari dalam qipaonya, dia mengeluarkan anak kunci yang dibuat khusus dan berukuran sangat kecil.
Pintu jeruji terbuka.
Anila menendang Keiko hingga tersungkur di dalam sel. Dia terlutut di depan kaki Silver yang juga masih merasa kesakitan di kepalanya.
“Lepaskan belenggunya!”
Keiko dan Silver menoleh pada Anila. Mereka pikir, Anila datang untuk Xavier, nyatanya tidak. Keiko tak punya pilihan lain. Dia melepa
“Hentikan, Ayah! Jangan menimbulkan perang di sini. Warga suku Banyu sudah cukup miskin dan menderita, sedang kalian hidup berfoya-foya di puri ini,” teriak Xavier pada ketua suku Banyu. “Aku akan melupakan segala perbuatan burukmu dalam hidupku selama menderita di Selter Agung. Tapi, aku tak akan berdiam diri jika kau mengorbankan rakyat kota ini. Serahkan kepemimpinanmu padaku!”Para panglima di bawah kepemimpinan Bayu Sagara semakin marah. Tapi, Bayu Sagara sendiri terbahak-bahak.“Kau benar-benar anak yang bodoh. Aku mengirimmu ke Selter Agung agar kau bisa lebih kuat dan mampu memimpin suku bahkan negeri ini. Tapi, sekarang kau kembali sendirian dan melakukan pemberontakan?”cibir Bayu Sagara. “Pasukan, bunuh dia! Eksekusi di depan semua rakyat kota ini agar mereka belajar untuk tidak menjadi bodoh seperi anakku!”Xavier mengeluarkan cakar-cakarnya. “Hentikan, Aya
Rion kembali ke lembah kematian dengan membawa inti rubah emas yang sudah menghitam. Hutan Sonyu di malam hari terlihat lebih terang dari sebelum-sebelumnya setelah Rion menyerap sebagian energi gelapnya. Akan tetapi, kabut hitam tipis masih menyelimuti. Saat dia memeriksa keadaan di sekitar lembah kematian dari udara bersama elang pancasona, kabut hitam mulai menebal lagi secara perlahan.“Kabut hitam ini tak akan berhenti dan terus bermunculan jika lubangnya tidak ditutup.”Kekhawatiran Rion hanya dijawab kaokan oleh elang besar yang ditungganginya. Elang itu terbang rendah dan menurunkan Rion di dekat lembah kematian. Di sisi lain lembah, ada seseorang yang berusaha memurnikan kabut-kabut itu.“Maitreya?” Rion menyapa ragu-ragu.Maitreya terbatuk dan jatuh bersimpuh. Dia memuntahkan darah pekat hingga menodai gaun putihnya. Rion berlari ingin membantu, tapi ahirnya dia hany
Prang!Setumpuk piring pecah dan makanan di atasnya berserakan ke lantai. Seluruh pengunjung kedai hanya melirik ke sumber keributan. Mereka tak berani menatap pria yang membuat kekacauan itu yang hanya berdiri mematung dengan wajah tegang dan beku.Tubuhnya kekar berotot dengan kulit sewarna zaitun. Rambutnya putih keperakan dan dipangkas pendek, terlihat kontras dengan kulitnya. Pakaiannya sedikit nyentrik, jaket kulit hitam dengan banyak hiasan belt di bagian lengan. Bagian dadanya terbuka sebagian berpadu dengan celana jin hitam ketat. Sepatu botnya setinggi betis. Pada tangan kanannya terdapat sarung tangan aneh serupa besi berwarna merah. Tangan kirinya hanya dibalut sarung tangan kulit yang menampakkan dua ruas buku-buku jemarinya.Pria menakutkan itu adalah pelayan kedai. Dia baru keluar dari dapur untuk menyajikan makanan bagi pelanggan. Di tangannya, dia membawa banyak piring bertumpuk-tumpuk. Saat berjalan men
“Siapa pun, tolong aku!” jerit Aoi dalam hati.Dia selalu lemah setiap kali berhadapan dengan wanita. Akalnya ingin menolak, tapi kesopanan menuntut berlaku sebaliknya. Dia menjadi kikuk. Perempuan berkimono merah itu membisikkan sesuatu di telinga Aoi dalam bahasa Jepang yang baik dan benar. Aoi sedikit terperanjat. Pada umumnya, para samurai generasi kedua dan ketiga yang tinggal di negeri Jawa Dwipa, mereka sudah tak menggunakan bahasa Jepang murni.Perempuan itu melepas satu persatu kimono di tubuhnya. Terakhir, dia menarik tusuk konde di rambutnya hingga rambut hitam panjang itu tergerai sempurna menutupi dada dan bagian belakang tubuhnya.Aoi memejamkan mata. Dia bahkan berusaha berpaling. Tapi, perempuan itu bergayut manja di tubuhnya dan membisikkan sesuatu. “Memalingkan wajah dari perempuan itu perbuatan yang tidak sopan, Tuan Ronin!”“Si-siapa kau?”
“Siapa mereka?” desak Aoi saat berdiri saling membelakangi dengan Haridra.“Entah apa aku harus menyebutnya? Para warok, pendekar, atau bandit?” jawab Haridra asal.“Apa maksudmu dengan semua itu?”Mereka berdua berdiskusi sambil menghadapi musuh masing-masing. Aoi dengan jurus hihona ittou-nya dengan mudah menjatuhkan sejumlah warok dalam pakaian hitam. Haridra dengan kekuatan tinju mautnya sekali pukul membuat lawannya tak bergerak lagi.Tangan kanan Haridra yang terbuat dari metal berwarna merah terdengar bergemeretak saat dia menggerak-gerakkan jarinya. Dia menyerang dengan gaya bertinju menggunakan tangan kosong.Aoi menyadari bahwa Haridra kebal senjata. Para warok yang Haridra sebutkan, berulang kali menyabetkan pedang, tapi dia tak terluka sama sekali. “Orang sakti yang lain lagi,” keluh Aoi sambil menghunuskan pedang pada l
Perayaan gerbeg suro di Kota Porog dilakukan dengan sangat meriah, bahkan jauh lebih meriah dibandingkan dengan festival air di Kota Banyu. Para warga Kota Porog turun ke jalan-jalan melakukan pesta dengan membagikan makanan dan minuman secara cuma-cuma kepada para pelancong dan pengembara.“I-ni seheti su-ha?” Silver berbicara dengan mulut penuh makanan. Di tangan kanan dan kirinya membawa dua kantung berisi makanan beraneka jenis.Wajah Karuna memerah menahan kesal. “Jangan berbicara dengan mulut penuh makanan!”Silver menelannya dan nyengir. “Di sini seperti surga makanan. Rakyatnya juga makmur dan sangat ramah. Aku ingin tinggal di sini lebih lama.”Karuna tampak masih gelisah. Wajahnya terus menegang dengan sepasang alis yang mengerut. Dia terus memegangi tangan kanannya yang terasa berdenyut. Rion sendiri sudah tak terlihat. Pemuda itu pergi sendiri begitu me
Suku api datang dengan berkuda dan membakar semua rumah-rumah yang ada di sepanjang perjalanan mereka. Rion dan Haridra berdiri di tengah jalan menyaksikan iring-iringan para penari reog, warok, dan gemblaknya yang tercerai-berai. Tak sedikit warga yang terluka. Lebih banyak lagi rumah yang terbakar. Asap pekat memenuhi langit. Kobaran api memerah dan berkeretak saat melahap bangunan yang terbuat dari kayu dan bambu.Di sisi lain datang pasukan warok dalam pakaian hitam dan berudeng batik merah. Mereka berkuda dan berjalan kaki. Wajah mereka tak kalah kejam dan matanya dipenuhi dengan kebencian. Di antara kepulan asap pekat, terdengar suara desingan dan dentingan logam yang saling beradu.Rion menajamkan mata untuk memusatkan penglihatan. Dia mendapati sesosok pria berkumis baplang dalam pesak dan celana hitam. Pria itu tengah adu pedang dengan seorang pria lain yang bertopeng iblis merah.“Draken!” gum
Rion dan ketiga panglimanya memimpin pasukan warok porog pergi ke Selter Agung. Dengan bantuan dan petunjuk dari Kamiya Aoi, mereka berhasil mencapai pusat Selter Agung tanpa banyak kesulitan. Jalan-jalan yang mereka lalui, membawa kembali ingatan Rion saat pertama kali terbangun pasca jatuh dari tebing. Dia mengulang kembali satu persatu kenangan dan jalan panjang yang sudah dia tempuh untuk menemukan ketujuh panglima Kalamantra dan membebaskan dirinya dari kutukan sebagai penyihir merah.“Benarkah aku menginginkannya? Benarkah aku ingin lepas dari ajian kutukan hidup abadi sebagai Penyihir Merah?” batinnya bergejolak. “Jika aku berhasil dengan misiku, apa aku siap akan kenyataan siapa diriku yang sebenarnya? Siapa diriku di masa lalu yang ingatan itu terhapus?”Pertentangan dan pergolakan batin terus berkecamuk di dalam kepalanya sepanjang memasuki kawasan perkampungan samurai sebelum menuju benteng Selter Agung. Be
“Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan
Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.
“Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka
Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem
Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam
Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me
“Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!
Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L
“Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany