Semua Bab Panglima Kalamantra : Bab 61 - Bab 70

164 Bab

61: Pertemuan Dua Pria Berjubah Hitam

  Raven mendarat di badan kapal. Entakan kekuatan kakinya membuat kapal dagang berukuran besar itu berguncang hebat bak diserang gelombang. Para bajak laut Tiongkok yang menjadi awaknya berjatuhan, pun dengan Jalandra. Karuna berdiri dengan kuda-kuda dan ditopang oleh kaparanya agar tak limbung. Raven menggila. Dia tebas semua bajak laut yang ditemuinya di atas kapal. Perseteruan tak dapat dihindari. Karuna turut melawan mereka dengan kaparanya. Sekali ayun, kapara itu bisa menebas hampir sepuluh orang sekaligus. Sudut mata Karuna dan Raven menangkap kepergian Jalandra. Mereka berdua berlari untuk mendapatkan Jalandra lebih dulu. Saat Karuna sudah hampir mendapatkan pria tambun itu, Raven mengadang dengan seringai di balik topeng gagaknya. Dia acungkan pedang panjang untuk menantang Karuna. “Dia milikku, Panglima Karang!” “Tidak! Jalandra adalah milikku, Pe
Baca selengkapnya

62: Serangan Malam

  Pemuda itu masih memejamkan mata. “Aku tidak tahu harus percaya pada siapa, tapi satu yang aku tahu. Jika memang racun ini atau belatimu bisa membunuhku, maka aku akan lebih senang daripada harus diam tak bisa bergerak seperti ini.” Anilas melepas topi bambunya dan mengangkat tinggi gaun hitamnya yang panjang sampai ke paha. Dia naik lagi ke atas tubuh Rion dan mengambil sebilah belati yang sudah disterilkan di atas api lilin. Dia mulai membuka kancing kemeja Rion lebih banyak dan meraba di sekitar dadanya untuk mencari pembuluh darah. “Kau gemetar!” bisik Rion. Anila melirik pemuda berambut merah itu. Pandangan mereka bertemu dengan sangat intens. Dia berusaha mengalihkan pikirannya dari tubuh berotot Rion pada pekerjaannya sebagai seorang tabib. “Tidak!” bantah Anila. “Ya, kau gemetar. Kau menekan pahamu terl
Baca selengkapnya

63: Pengendali Mutan

                  Karuna mendayung sekocinya sampai tiba di sebuah pantai yang gelap dan dipenuhi karang terjal. Dia tak bisa mendaratkan sekocinya sampai ke bibir pantai. Pemuda itu harus berenang beberapa meter dan berjalan dengan susah payah di antara bebatuan karang. Ombak memukul-mukul bebatuan karang dengan sangat kencang. Karuna harus berjuang agar tubuhnya tak terempas dan  menumbuk karang tajam.                 Dia berbaring telentang di permukaan pasir hitam dengan badan dan pakaian kuyup begitu berhasil mencapai daratan. Dadanya naik turun dengan napas yang terengah. Di kepalanya tersangkut beberapa rumput laut dan butiran pasir yang melekat. “Ini sungguh gila!” Karuna tertawa di antara napasnya yang sesak. “Setelah ratusan tahun berla
Baca selengkapnya

64: Pulau Terpencil

  Anila membuka telapak tangan kanan ke arah Keiko dan berkonsentrasi. Keiko tiba-tiba kesakitan dan tak bisa bergerak, bahkan bersuara pun dia tak bisa. Sepasang mata Anila memerah dengan pekat dan tatapannya sangat menakutkan. Telapak tangan yang terulur mencengkeram angin. Pada saat itu, Keiko merasa seperti tercekik. Dia tak bisa bernapas. Kepalanya sangat sakit seperti diremas-remas. Darah keluar dari hidungnya. Anila mencengkeramkan tangan kanannya ke udara. Keiko mulai mengeluarkan darah dari telinga dengan mata membeliak. Wajahnya juga membiru karena tak bisa bernapas. Mulutnya memuntahkan darah merah. Anila mengendurkan cengkeramannya. “Sudah kukatakan jangan menghalangiku!” Keiko jatuh limbung dengan kedua tangan memegangi leher yang memerah seperti ada bekas cekikan di sana. “Si-siapa kau?” bisiknya saat Anila berdiri menjulang di atasnya.
Baca selengkapnya

65: Penyihir Janda Hitam

  Di dalam gua hitam yang pekat dan diselubungi aura sihir kuat itu, Karuna tak bisa berbuat apa-apa. Setiap waktu, kadar racun di dalam tubuhnya semakin meningkat. Dia memperhatikan sekitar dan hanya ada kegelapan. Semakin lama, matanya semakin menyesuaikan diri di dalam kegelapan. Samar, dia bisa melihat ada banyak sekali kerangka tulang manusia berukuran kecil—bayi dan anak-anak—yang berserakan di sekitar kakinya. Karuna tak bisa bergerak. Tubuhnya terlilit oleh jalinan serupa benang yang sangat kuat mulai dari kaki sampai ke leher. Di langit-langit gua dan di sekitar tubuhnya sendiri, ada banyak sekali jalinan benang sihir serupa jaring laba-laba yang berserakan dan berbelit-belit. Semuanya terasa lengket dan bau. “Aku terjebak di dalam sarang penyihir keparat itu!” Aroma anyir darah bercampur bangkai yang membusuk memenuhi penciumannya. Akan tetapi, tak ada yang lebi
Baca selengkapnya

66: Gua Hitam dan Racun Mematikan

  Kepompong yang membelit Karuna koyak. Dari dalamnya muncul sebuah kapak raksasa tajam dengan selubung asap pekat. Karuna menerobos keluar dari dalam kepompong bak kupu-kupu yang baru bangun dari tidur panjangnya. Mata pemuda itu kuning menyala seperti matahari dengan asap hitam berkobar di sekujur tubuhnya. Karuna berdiri di tengah-tengah gua dan menyabet putus jaring-jaring pemintal yang terhubung antara Amberia dan Rion di pohon. Amberia menjerit. Dia berlari menerjang Karuna. Satu kaki tajam Amberia terayun dan dibalas dengan ayunan kapak Karuna. Satu ayunan lagi dan dua kaki depan Amberi terputus. Penyihir itu menjerit semakin marah. Dengan kaki kedua, dia menjepit Karuna lalu melemparkannya sampai keluar gua hingga menumbuk batang pohon. Rion terjatuh saat jalinan pemintal terputus. Dia berguling di permukaan tanah sambil meraih kedua bilah celuritnya. Dia terkejut saat melihat Karuna ter
Baca selengkapnya

67 : Membenci Ketinggian

  “Kau menyakitiku!” gumam Karuna. “Ternyata, kau cengeng, ya.” Pemuda itu tergelak lirih. Di luar dugaan Karuna yang berpikir Rion akan marah, sebaliknya sang Penyihir Merah itu malah menundukkan kepala sambil meletakkan keningnya ke dada Karuna. Dia terisak tanpa suara. “Aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika sampai kau mati di depan mataku!” Karuna terbelalak. Dia sama sekali tak menduga akan mendapat kata-kata seperti itu dari orang lain yang belum lama dia kenal. “Tidak, dia bukan orang lain!” sanggah Karuna dalam hati. Pemuda itu menjadi melunak dan tersenyum. “Terima kasih, Rion!” “Bodoh!” teriak Rion. “Bodoh! Bodoh! Bodoh!” Karuna hanya telentang sambil memejamkan mata dengan bibir tersenyum penuh kehangatan. “Kau benar. Aku bod
Baca selengkapnya

68: Kenyataan yang Sebenarnya

  Di pelabuhan tempat bongkar muat barang, terlihat beberapa perempuan dan anak-anak duduk berjajar sambil membawa sapu dan pengki. Panas terik menyengat membuat berkeringat, tapi tak menyusutkan tujuan mereka. Seorang nenek yang mengenakan kebaya dan jarik lusuh, mengusap peluh dengan lengan baju yang kotor. Di sampingnya, seorang bocah lima tahun tengah menyedot air dari dalam botol labu yang sudah kosong. Dia menjilat-jilat sisa air di sana dengan kesal. “Aku masih haus!” keluhnya. “Bersabarlah. Sebentar lagi, kereta-kereta pengangkut barang itu akan pergi dan kita bisa memulai pekerjaan. Setelah itu, kau bisa minum sepuasnya,” bujuk sang nenek juga sambil menahan haus dan lapar. “Jika kita pergi, mereka akan mengambil semuanya!” Wajah keriputnya terlihat kelelahan. Para perempuan dan anak-anak itu bertubuh kurus dengan mata cekung. Waj
Baca selengkapnya

69: Festival Air

  Karuna berbalik dan tetap memunggungi Rion. Pemuda itu menjadi sedih. “Aku tidak tahu jika akan menjadi seburuk ini, Karuna.” Pada saat itu, Karuna berbalik menatap Rion dengan senyum dipaksakan. “Sudahlah, bukankah kita datang ke sini untuk menikmati suit mewah ini?” “Ah-ha, kau benar!” tanpa pikir panjang Rion melepas semua pakaiannya, berlari melompati balkon, dan masuk ke dalam kolam renang yang sebiru langit siang. “Wo-ei, astaga! Kenapa kau harus telanjang di depanku? Sial!” cibir Karuna sambil melepas pakaiannya sendiri dan melilitkan handuk kecil sedikit ke bawah pinggangnya. Rion berenang sampai ke batas terujung kolam. Dari ujung kolam renang, dia bisa melihat pemandangan laut biru yang membentang luas. “Kemarilah!” Karuna ikut berenang mendekati Rion. Rambut keemasannya berkilauan d
Baca selengkapnya

70: Perebutan Topeng Rubah Emas

  Rion dan Karuna berjalan sampai ke Puri Banyu. Mereka tidak sendiri. Ada banyak pendekar dari berbagai penjuru negeri yang juga datang ke sana, baik sendiri maupun dalam kelompok. “Apa kau yakin akan melakukan ini?” desak Karuna. “Di mana lagi kita bisa menemukan Panglima Bondowoso kalau bukan di tempat seperti ini? Jika benar ceritamu Panglima Bondowoso mempunyai karakter suka bertarung, maka festival air ini adalah tempat yang tepat, bukan? Siapa tahu di antara ribuan orang dari berbagai daerah ini aku bisa bertemu dengan seseorang yang mungkin mengenaliku?” tanya Rion ragu. Karuna mendesah. Dia masih ingat betul bagaimana karakter sahabatnya dari Klan Bondowoso itu dahulu, selalu suka mencari masalah, suka menantang orang asing hanya untuk adu kekuatan, tapi dia juga memiliki hati yang baik. Melindungi orang miskin dan tak mampu selalu menjadi prioritas utamanya. Tap
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
17
DMCA.com Protection Status