Home / Pendekar / Panglima Kalamantra / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Panglima Kalamantra : Chapter 41 - Chapter 50

164 Chapters

41: Terjerat Dorongan Kuat

Nara mengerjap- ngerjap lemah. Saat mata sudah terbuka dan kesadaran gadis itu sepenuhnya kembali yang pertama dilihat adalah atap bangunan berwarna kelabu terbuat dari seng dengan beberapa karat di bagian- bagian tertentu. Sinar matahari menyorot masuk melalui celah- celah dinding yang juga terbuat dari seng dengan beberapa bagian berlubang dimakan karat.Keringat mulai menderas di tubuh gadis itu. Udara di ruangan tempatnya berbaring begitu panas dan pengap. Entah kapan seseorang memindahkannya ke sebuah kamar sederhana dengan satu tempat tidur. Tak banyak perabotan di sana, hanya ada lemari kayu tanpa pintu, sebuah meja polos dan satu kursi di kolongnya menghadap ke jendela. Nara bisa melihat puncak salah satu cerobong asap dari jendela itu. Dia yakin ruangan tempatnya tidur saat ini minimal berada di lantai dua.Kerongkongan Nara terasa begitu haus. Bibirnya juga pucat dan kering. Dia ingin bangkit, tapi kepalanya terasa begitu berat dan berdenyar. Tak ada siapa pu
Read more

42: Para Monster Selter Agung

Aoi duduk di tepi ranjang tanpa pakaian. Rambut hitam panjangnya terurai hingga ke dada dan paha. Tangan kanan pemuda itu mengusap-usap lengan kiri atasnya yang buntung. Bekas luka tebasan pedang dari lawannya masih membekas, seumur hidup tak akan bisa hilang, terlebih luka batin yang harus diterimanya karena kehilangan satu lengan.Di belakangnya, Nara meringkuk di balik selimut memunggungi Aoi. Bahu putih gadis itu sedikit tersibak saat rambutnya terjatuh ke sprei yang kusut. Dia menggigit ibu jari sambil meringkuk lebih dalam dengan mata terpejam. “Apa aku sudah berbuat kesalahan?” batinnya meronta.“Di Jepang terjadi peperangan sengit yang berdarah-darah, pun di negeri-negeri lainnya. Aku bahkan tidak ingat pernah memiliki kehidupan yang layak dan bahagia di sana. Dari ingatan terjauhku yang masih tertanam, kami sudah berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain hanya untuk bertahan hidup sehari lebih lama. Ayahku adalah seorang samurai. Ibuk
Read more

43: Gadis yang Tak Diterima

“Apa sebenarnya yang kau rencanakan, Ron?” Ausiyah berlari dengan tangan dan kaki yang terbelenggu rantai menuju pintu jeruji yang tertutup.Di luar pintu, Ron—Direktur Selter Agung—tengah mengirimkan makanan untuk perempuan itu. “Simpan energimu untuk hal yang lebih besar, Ausy.”Setelan putih yang Ron kenakan meyakinkan Ausiyah bahwa pria itu yang memukulnya dari belakang menggunakan tongkat sampai pingsan belum lama ini.“Kenapa? Kenapa kau melakukan semua ini?” Perempuan itu memukul-mukulkan gelang besinya ke pintu jeruji hingga terdengar gema logam yang nyaring ke penjuru ruangan.Ron berkacak pinggang sambil menyugar rambutnya. “Ah, kenapa sulit sekali untuk menjinakkanmu, Ausy!” Ron berteriak lantang di depan pintu jeruji tempat Ausiyah dikurung dan menendangnya dengan sangat kasar. “Pikirkan nasibmu sendiri! Jika kau masih keras kepala seperti ini, terpaksa kau yang akan menjadi san
Read more

44: Pria Bermata Hazel dengan Sekotak Cokelat

Nara duduk termenung sambil memeluk lutut di sebuah batu karst datar dan besar di bawah pohon jati. Pemandangan di bawah sana adalah atap-atap rumah dan sisa-sisa bangunan permukiman yang terbengkalai. Sebagian bangunan itu digunakan kembali oleh anggota klan Sakheti sebagai tempat tinggal dan sisanya dibiarkan kosong dengan banyak tanaman liar menyelimutinya. Di kejauhan, Nara bisa melihat sisa-sisa papan reklame makanan cepat saji dengan gambar seorang pria tua berkacamata yang menggigit potongan paha ayam.Gadis itu tak mampu membayangkan bagaimana kehidupan manusia pada zaman itu. Nara juga tak mampu memikirkan, kenapa mereka tak bisa membuat hal yang sama atau bahkan yang lebih maju dari sebelumnya? Bukankah mareka sama-sama manusia?Gadis itu menggeleng lemah. Dia tahu jawabannya, tapi enggan untuk mengakui. Manusia saat ini disibukkan dengan upaya untuk mempertahankan kehidupan dari sisa-sisa kerusakan yang terjadi pasca kejatuhan jentera. Kemajuan teknologi buk
Read more

45: Kepungan di Bekas Pabrik Semen

Sudah dua malam, Nara dan Aoi menginap di bekas pabrik semen yang menjadi permukiman keluarga ibunya dari klan Sakheti. Udara malam itu begitu dingin, sangat berbeda dari malam- malam sebelumnya yang terasa panas dan gerah. Angin berembus lebih kencang dari biasanya.Sejak sore, gadis itu merasa gelisah tanpa sebab yang jelas. Rupanya kegelisahan itu tak hanya dirasakan oleh Nara saja. Sudah berjam- jam dia berusaha tidur, tapi matanya tak kunjung terpejam. Saat dia keluar dari kamar dan mencoba untuk berjalan- jalan di halaman, ternyata sejumlah pemuda dan pria dewasa dari klan Sakheti terlihat sedang berjaga malam. Jumlah mereka terlihat lebih banyak dari malam sebelumnya. Mereka berjalan dan berkeliling bergantian untuk memastikan semuanya aman, seakan- akan ada sesuatu yang akan mengganggu mereka.Suasana malam itu terlalu sunyi. Langit kelam tanpa bulan maupun bintang. Suara- suara binatang malam pun tak terdengar. Pada saat seperti itu, Nara merasakan kerinduan y
Read more

46: Akhir Klan Sakheti

Semaun menatap Auliyah dengan pandangan yang penuh kekhawatiran. “Lia, kami akan berjuang sampai akhir. Kami akan selalu bersamamu, apa pun keputusanmu. Jika memang harus bertempur melawan mereka, kami—““Kalian pasti akan berjuang dengan sekuat tenaga. Aku tahu....” Auliyah mengepalkan tangannya.“Bahkan rela mengorbankan nyawa, tapi aku tak ingin ada korban lagi dan lagi,” batinnya.“Nah, Mama, buat keputusanmu sekarang juga!” Kaien menatap Auliyah dengan senyum yang penuh misteri. “Kau tahu aku bukan orang yang penyabar.”Semaun maju dan mencengkeram kerah kimono Kaien. Seketika, pedang-pedang pasukan Kaien teracung pada pria itu. Kaien mengangkat tangannya untuk menghentikan anak buahnya.“Kau, sudah keterlaluan, Kai!” Semaun menyarangkan tinjunya ke wajah pemuda itu.Sepasang mata hazel Kaien memicing tajam saat dia memijit rahangnya. “Karena aku masih m
Read more

47: Suku Pengendali Burung

Setelah beberapa hari menempuh perjalanan bersama singa dan elangnya, Rion bisa tiba di Kalingga tanpa kurang satu apa pun. Alih-alih menyusul Karuna ke kota berikutnya, dia malah berbalik arah dan menuju ke permukiman suku Kalingga.“Jika Karuna menganggapku sebagai Panglima Burung, setidaknya aku akan memastikan dengan mendatangi suku pengendali burung!”“Kau berharap salah satu anggota suku itu kehilangan anaknya dan tiba-tiba kau muncul dengan sambutan hangat mereka?” tanya sang singa datar tapi terdengar sinis di telinga Rion. “Bagaimana kalau sebaliknya? Kau adalah musuh mereka?”Rion berdecak. Dia memasuki perbatasan kota yang ditandai dengan kemunculan patung Dewandaru yang menjulang tinggi di tengah alun-alun kota yang kini terlihat porak-poranda.Mantel hitam pemuda itu terlihat berdebu dan lusuh. Rambut panjang merahnya tergerai di punggung dengan topi jerami lebar menudungi puncak kepala. Sepasang mata pemud
Read more

48: Buku Catatan Mantan Ketua Suku Kalingga

Rion disambut hangat oleh seluruh anggota klan Kalingga yang masih tersisa. Harapan mereka selama puluhan tahun seakan menemukan labuhan, meski jawaban itu tidak datang dari suku mereka sendiri. Bagaspati Seno, adik mantan ketua suku Kalingga dan Kamatsura Taka, ketua suku Kalingga yang baru, bersama-sama membawa Rion untuk pergi ke kediaman Bagaspati Hara.“Bagaspati Hara adalah mantan ketua suku Kalingga sekaligus pengendali burung terakhir yang kami miliki,” tutur sang adik, Bagaspati Seno.“Apa yang terjadi padanya?” tanya Rion sambil terus mengikuti dua pria itu menapaki tangga bekas gedung perpustakaan yang kini difungsikan sebagai rumah susun anggota suku yang tersisa.Mereka melaju menuju ke lantai lima, lantai tertinggi dari bangunan bekas perpustakaan itu. Setiap anak tangga yang dipijak, Rion berharap bisa menemukan sedikit petunjuk tentang identitas dan masa lalunya.Beberapa orang yang merasa heran mendengar tapak sepa
Read more

49: Sihir Pengendali Pikiran

Di sebuah altar pemujaan yang gelap dan pekat tanpa sumber pencahayaan buatan, seseorang bersembunyi di dalam bayang- bayang kegelapannya. Dia duduk di sebuah kursi bersandaran tinggi dan berlengan. Tak ada yang tahu bagaimana rupa dan sosoknya, bahkan juga suaranya, mereka menyebutnya Raja Ragnart. Kelima jenderal sekaligus penyihir terkuat berjulukan Mahapanca yang baru kembali dari misi masing-masing membuat laporan di Benteng Poral. Mereka berlutut di depan kursi singgasana dengan satu tangan terlipat ke dada dan kepala menunduk memberi hormat. “Waktu kita tidak banyak,” ujar sang juru bicara yang berdiri di samping Raja Ragnart di singgasana. “Bulan merah akan muncul tak lama lagi! Kenapa kalian belum juga berhasil membawa ketujuh batu Kalamantra dan menakhlukkan empat suku terkuat terakhir?” Kelima jenderal Mahapanca semakin menunduk dalam dengan wajah merah padam. Mereka merasa malu atas ke
Read more

50: Sekuntum Mawar Untuk Maitreya

Di malam yang terlalu tenang itu, Maitreya berjalan-jalan ke taman di paviliun tempatnya tinggal. Dia baru kembali dari penaklukkan bersama Jenderal Macan Kuning ke wilayah Kota Amber. Sesuatu yang terasa janggal, karena biasanya dia lebih suka mengunci diri di kamar tanpa membiarkan para budak yang terdiri dari gadis-gadis muda untuk melayani setiap kebutuhannya. Keberadaan gadis-gadis itu selalu membuat Maitreya resah. Dia tak bisa mengingat apa itu, tapi selalu ada perasaan sedih yang begitu kuat di dalam dadanya setiap kali melihat kemunculan gadis-gadis yang dua puluh empat jam siap melayaninya. Dari tiga gaun yang disiapkan para budak itu, Maitreya lebih memilih mengenakan gaun beledu berwarna hitam panjang sederhana dengan potongan sempurna yang membentuk lekuk pinggangnya dan melebar di bagian panggul ke bawah. Gaun hitam polos itu memiliki kerah tinggi dengan potongan rendah pada bagian dada, terlihat kontras dengan rambut putih puc
Read more
PREV
1
...
34567
...
17
DMCA.com Protection Status