Rion disambut hangat oleh seluruh anggota klan Kalingga yang masih tersisa. Harapan mereka selama puluhan tahun seakan menemukan labuhan, meski jawaban itu tidak datang dari suku mereka sendiri. Bagaspati Seno, adik mantan ketua suku Kalingga dan Kamatsura Taka, ketua suku Kalingga yang baru, bersama-sama membawa Rion untuk pergi ke kediaman Bagaspati Hara.
“Bagaspati Hara adalah mantan ketua suku Kalingga sekaligus pengendali burung terakhir yang kami miliki,” tutur sang adik, Bagaspati Seno.
“Apa yang terjadi padanya?” tanya Rion sambil terus mengikuti dua pria itu menapaki tangga bekas gedung perpustakaan yang kini difungsikan sebagai rumah susun anggota suku yang tersisa.
Mereka melaju menuju ke lantai lima, lantai tertinggi dari bangunan bekas perpustakaan itu. Setiap anak tangga yang dipijak, Rion berharap bisa menemukan sedikit petunjuk tentang identitas dan masa lalunya.
Beberapa orang yang merasa heran mendengar tapak sepa
Di sebuah altar pemujaan yang gelap dan pekat tanpa sumber pencahayaan buatan, seseorang bersembunyi di dalam bayang- bayang kegelapannya. Dia duduk di sebuah kursi bersandaran tinggi dan berlengan. Tak ada yang tahu bagaimana rupa dan sosoknya, bahkan juga suaranya, mereka menyebutnya Raja Ragnart.Kelima jenderal sekaligus penyihir terkuat berjulukan Mahapanca yang baru kembali dari misi masing-masing membuat laporan di Benteng Poral. Mereka berlutut di depan kursi singgasana dengan satu tangan terlipat ke dada dan kepala menunduk memberi hormat.“Waktu kita tidak banyak,” ujar sang juru bicara yang berdiri di samping Raja Ragnart di singgasana. “Bulan merah akan muncul tak lama lagi! Kenapa kalian belum juga berhasil membawa ketujuh batu Kalamantra dan menakhlukkan empat suku terkuat terakhir?”Kelima jenderal Mahapanca semakin menunduk dalam dengan wajah merah padam. Mereka merasa malu atas ke
Di malam yang terlalu tenang itu, Maitreya berjalan-jalan ke taman di paviliun tempatnya tinggal. Dia baru kembali dari penaklukkan bersama Jenderal Macan Kuning ke wilayah Kota Amber. Sesuatu yang terasa janggal, karena biasanya dia lebih suka mengunci diri di kamar tanpa membiarkan para budak yang terdiri dari gadis-gadis muda untuk melayani setiap kebutuhannya.Keberadaan gadis-gadis itu selalu membuat Maitreya resah. Dia tak bisa mengingat apa itu, tapi selalu ada perasaan sedih yang begitu kuat di dalam dadanya setiap kali melihat kemunculan gadis-gadis yang dua puluh empat jam siap melayaninya.Dari tiga gaun yang disiapkan para budak itu, Maitreya lebih memilih mengenakan gaun beledu berwarna hitam panjang sederhana dengan potongan sempurna yang membentuk lekuk pinggangnya dan melebar di bagian panggul ke bawah. Gaun hitam polos itu memiliki kerah tinggi dengan potongan rendah pada bagian dada, terlihat kontras dengan rambut putih puc
Rion berlutut dengan bertumpu pada satu kaki di kamar mandi. Kamar mandi itu berbatasan langsung dengan halaman belakang yang banyak ditumbuhi bebungaan. Pintu gesernya terbuat dari kaca buram yang tak tembus pandang. Rion mencengkeram pinggiran tempayan air dari tanah liat dengan kedua tangan sambil memikirkan Karuna yang dia tinggalkan tanpa pesan.“Apa dia akan baik-baik saja menungguku terlalu lama di Kota Bondowoso?”Di depannya, air hangat di dalam tempayan mengepulkan uap memberikan sedikit kehangatan di pagi yang dingin itu. Rambut panjangnya tersampir di bahu kanan dan menjulur hingga ujungnya menyentuh permukaan air. Pemuda itu menangkup air hangat dengan kedua tangan dan membilaskannya ke wajah. Kehangatan air itu begitu dia nikmati.“Indah sekali tubuhmu!” ujar suara seorang perempuan di luar pintu kamar mandi terdengar takjub dan tanpa malu-malu.Rion membeku di tempatnya. “Apa yang dia maksud adalah aku?”“Aku ingin sekali membelai tiap lekuk tubuhmu yang indah itu. Izin
Rion masih berada di atas tubuh Nara.“Jika aku boleh meminta satu hal dalam hidup ini, aku ingin perang ini segera berakhir. Aku ingin waktu berhenti pada saat ini juga. Aku ingin gadis ini selalu tersenyum dan ada selalu di dekatku,” batin Rion sambil menatap lekat pada bibir merah jambu Nara yang basah dan penuh.Pemuda itu menyusupkan wajah ke lekuk leher Nara dan menghidu aroma rambutnya, tubuhnya. Nara hanya diam tak bergerak, bahkan bernapas pun dia takut. Gadis itu takut jika semua itu hanya mimpi yang akan berakhir jika dia membuka mata.Di antara lekuk leher Nara, sepasang mata biru Rion menggelap. “Aku berkata jika boleh meminta satu hal, tapi yang aku minta bahkan lebih banyak dari yang mampu aku usahakan. Sungguh, aku serakah,” bisiknya lirih di telinga Nara.Gadis itu bersemu merah dan matanya membuka lebar.
“Kenapa kau selalu baik padaku, Rion? Kau tahu, kalau aku tak pernah tulus dan jujur dari semula, kan?”Pemuda berambut merah itu menjawabnya dengan tersenyum getir. “Entahlah, Nara, mungkin aku suka kau bohongi. Aku hanya menikmati momen-momen kebersamaan kita.”Nara mencengkeram pinggiran pagar pembatas jembatan layang yang sudah mulai berkarat bahkan penyok di beberapa bagian. Angin menerpa wajah dan tubuhnya. Jauh di bawah sana, pemandangan permukiman dan reruntuhan Kota Kalingga tergelar di bawah kemilau cahaya matahari siang. “Aku tak pernah berbohong soal perasaanku padamu.”“Aku tahu, Nara!” tutur Rion dengan suara serak dan perasaan yang terluka. “Meski kebersamaan kita hanya sesaat dan aku mungkin tak akan pernah bisa memilikimu, tapi aku sangat menikmatinya. Terima kasih.” Rion menoleh dan menatap Nara dengan senyum manisny
Sejumlah pria berkuda keluar dari arah perkampungan Kalingga di Kota Kahuripan dan menuju ke jalan-jalan menanggapi serangan yang diterima oleh para pemudanya. Satu di antara pasukan berkuda itu adalah Kamatsura Taka, pemimpin klan Kalingga. Dengan bantuan sihir mata elang, Rion memperjauh pandangannya. Dari arah gerbang masuk Kahuripan yang ditandai dengan patung Dewandaru, datang dalam jumlah besar samurai dengan sesosok pria yang dirantai.Rion menoleh ke arah kirinya. Dia pertajam dan perjauh pandangan mata elangnya. Dari arah Kota Moka, datang dalam jumlah besar manusia yang berlari dengan kecepatan kuda. Di belakang mereka, sejumlah samurai berkuda menggiring pasukan pelari yang tak biasa itu dan mengarahkan mereka menuju Kalingga.“Ada apa?” tanya Nara. “Apa yang kau lihat?”“Para penjelajah dari Selter Agung, mereka datang dengan para monsternya!” uj
Celurit Rion terus menebas dan memenggal leher-leher para monster berwujud manusia itu. Semakin dia mengayunkan celurit, ingatannya akan sosok mereka semakin menguat.“Jadi, di mana kau sembunyikan batu-batu Kalamantra itu, Penyihir Merah?” tanya keiko.Rion menyipitkan mata dan membatin. “Jadi benar itu dia! Saat pertama melihatnya, aku merasa tidak asing. Jadi, kita memang pernah bertemu sebelum ini!”“Siapa kira jika kau sebenarnya adalah Penyihir Merah yang banyak diburu oleh para pendekar negeri ini? Karena sebelumnya rambutmu berwarna hitam, aku jadi tidak mengenalimu,” gumam Keiko. “Seharusnya kutangkap kau sejak semula dan membawamu ke Selter Agung. Sayang, Aoi tidak pernah setuju dengan pendapatku!”Rion ingin bertanya lebih jauh tentang diri dan masa lalunya pada Keiko, tapi dia tidak melakukannya. Bertanya hal sepe
Belum sempat pentungan itu mengenai kepala Taka, tiba-tiba tangan monster botak itu terputus oleh sebuah tebasan pedang. Taka kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi begitu cepat. Seorang samurai tampan dengan rambut hitam panjang datang menebas lengan monster itu dengan pedang panjangnya.Wajah samurai itu dingin tanpa ekspresi sama sekali. Lengan kimono hitamnya hanya terpasang sebelah menutupi pundak dan lengan kiri. Lengan kanannya dia biarkan telanjang dengan menggenggam pedang panjang. Otot dada dan lengan samurai itu terpampang jelas dengan urat-urat bertonjolan saat menebaskan pedangnya.“Kamiya Aoi!” geram si monster yang kehilangan lengan kanan.Darah hitam pekat menetes-netes dari lengan kanannya yang putus. Darah itu menguarkan aroma busuk. Dia meraih pentungan dengan tangan kirinya yang tersisa. Meski sedikit susah payah, tapi monster botak itu dengan mudah berad