Beranda / Pendekar / Panglima Kalamantra / 47: Suku Pengendali Burung

Share

47: Suku Pengendali Burung

Penulis: Roe_Roe
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Setelah beberapa hari menempuh perjalanan bersama singa dan elangnya, Rion bisa tiba di Kalingga tanpa kurang satu apa pun. Alih-alih menyusul Karuna ke kota berikutnya, dia malah berbalik arah dan menuju ke permukiman suku Kalingga.

“Jika Karuna menganggapku sebagai Panglima Burung, setidaknya aku akan memastikan dengan mendatangi suku pengendali burung!”

“Kau berharap salah satu anggota suku itu kehilangan anaknya dan tiba-tiba kau muncul dengan sambutan hangat mereka?” tanya sang singa datar tapi terdengar sinis di telinga Rion. “Bagaimana kalau sebaliknya? Kau adalah musuh mereka?”

Rion berdecak. Dia memasuki perbatasan kota yang ditandai dengan kemunculan patung Dewandaru yang menjulang tinggi di tengah alun-alun kota yang kini terlihat porak-poranda.

Mantel hitam pemuda itu terlihat berdebu dan lusuh. Rambut panjang merahnya tergerai di punggung dengan topi jerami lebar menudungi puncak kepala. Sepasang mata pemud

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Panglima Kalamantra    48: Buku Catatan Mantan Ketua Suku Kalingga

    Rion disambut hangat oleh seluruh anggota klan Kalingga yang masih tersisa. Harapan mereka selama puluhan tahun seakan menemukan labuhan, meski jawaban itu tidak datang dari suku mereka sendiri. Bagaspati Seno, adik mantan ketua suku Kalingga dan Kamatsura Taka, ketua suku Kalingga yang baru, bersama-sama membawa Rion untuk pergi ke kediaman Bagaspati Hara.“Bagaspati Hara adalah mantan ketua suku Kalingga sekaligus pengendali burung terakhir yang kami miliki,” tutur sang adik, Bagaspati Seno.“Apa yang terjadi padanya?” tanya Rion sambil terus mengikuti dua pria itu menapaki tangga bekas gedung perpustakaan yang kini difungsikan sebagai rumah susun anggota suku yang tersisa.Mereka melaju menuju ke lantai lima, lantai tertinggi dari bangunan bekas perpustakaan itu. Setiap anak tangga yang dipijak, Rion berharap bisa menemukan sedikit petunjuk tentang identitas dan masa lalunya.Beberapa orang yang merasa heran mendengar tapak sepa

  • Panglima Kalamantra    49: Sihir Pengendali Pikiran

    Di sebuah altar pemujaan yang gelap dan pekat tanpa sumber pencahayaan buatan, seseorang bersembunyi di dalam bayang- bayang kegelapannya. Dia duduk di sebuah kursi bersandaran tinggi dan berlengan. Tak ada yang tahu bagaimana rupa dan sosoknya, bahkan juga suaranya, mereka menyebutnya Raja Ragnart.Kelima jenderal sekaligus penyihir terkuat berjulukan Mahapanca yang baru kembali dari misi masing-masing membuat laporan di Benteng Poral. Mereka berlutut di depan kursi singgasana dengan satu tangan terlipat ke dada dan kepala menunduk memberi hormat.“Waktu kita tidak banyak,” ujar sang juru bicara yang berdiri di samping Raja Ragnart di singgasana. “Bulan merah akan muncul tak lama lagi! Kenapa kalian belum juga berhasil membawa ketujuh batu Kalamantra dan menakhlukkan empat suku terkuat terakhir?”Kelima jenderal Mahapanca semakin menunduk dalam dengan wajah merah padam. Mereka merasa malu atas ke

  • Panglima Kalamantra    50: Sekuntum Mawar Untuk Maitreya

    Di malam yang terlalu tenang itu, Maitreya berjalan-jalan ke taman di paviliun tempatnya tinggal. Dia baru kembali dari penaklukkan bersama Jenderal Macan Kuning ke wilayah Kota Amber. Sesuatu yang terasa janggal, karena biasanya dia lebih suka mengunci diri di kamar tanpa membiarkan para budak yang terdiri dari gadis-gadis muda untuk melayani setiap kebutuhannya.Keberadaan gadis-gadis itu selalu membuat Maitreya resah. Dia tak bisa mengingat apa itu, tapi selalu ada perasaan sedih yang begitu kuat di dalam dadanya setiap kali melihat kemunculan gadis-gadis yang dua puluh empat jam siap melayaninya.Dari tiga gaun yang disiapkan para budak itu, Maitreya lebih memilih mengenakan gaun beledu berwarna hitam panjang sederhana dengan potongan sempurna yang membentuk lekuk pinggangnya dan melebar di bagian panggul ke bawah. Gaun hitam polos itu memiliki kerah tinggi dengan potongan rendah pada bagian dada, terlihat kontras dengan rambut putih puc

  • Panglima Kalamantra    51: Kejutan Sang Tunangan

    Rion berlutut dengan bertumpu pada satu kaki di kamar mandi. Kamar mandi itu berbatasan langsung dengan halaman belakang yang banyak ditumbuhi bebungaan. Pintu gesernya terbuat dari kaca buram yang tak tembus pandang. Rion mencengkeram pinggiran tempayan air dari tanah liat dengan kedua tangan sambil memikirkan Karuna yang dia tinggalkan tanpa pesan.“Apa dia akan baik-baik saja menungguku terlalu lama di Kota Bondowoso?”Di depannya, air hangat di dalam tempayan mengepulkan uap memberikan sedikit kehangatan di pagi yang dingin itu. Rambut panjangnya tersampir di bahu kanan dan menjulur hingga ujungnya menyentuh permukaan air. Pemuda itu menangkup air hangat dengan kedua tangan dan membilaskannya ke wajah. Kehangatan air itu begitu dia nikmati.“Indah sekali tubuhmu!” ujar suara seorang perempuan di luar pintu kamar mandi terdengar takjub dan tanpa malu-malu.Rion membeku di tempatnya. “Apa yang dia maksud adalah aku?”“Aku ingin sekali membelai tiap lekuk tubuhmu yang indah itu. Izin

  • Panglima Kalamantra    52: Maksud Tersembunyi

    Rion masih berada di atas tubuh Nara.“Jika aku boleh meminta satu hal dalam hidup ini, aku ingin perang ini segera berakhir. Aku ingin waktu berhenti pada saat ini juga. Aku ingin gadis ini selalu tersenyum dan ada selalu di dekatku,” batin Rion sambil menatap lekat pada bibir merah jambu Nara yang basah dan penuh.Pemuda itu menyusupkan wajah ke lekuk leher Nara dan menghidu aroma rambutnya, tubuhnya. Nara hanya diam tak bergerak, bahkan bernapas pun dia takut. Gadis itu takut jika semua itu hanya mimpi yang akan berakhir jika dia membuka mata.Di antara lekuk leher Nara, sepasang mata biru Rion menggelap. “Aku berkata jika boleh meminta satu hal, tapi yang aku minta bahkan lebih banyak dari yang mampu aku usahakan. Sungguh, aku serakah,” bisiknya lirih di telinga Nara.Gadis itu bersemu merah dan matanya membuka lebar.

  • Panglima Kalamantra    53: Pertanda dari Para Gagak

    “Kenapa kau selalu baik padaku, Rion? Kau tahu, kalau aku tak pernah tulus dan jujur dari semula, kan?”Pemuda berambut merah itu menjawabnya dengan tersenyum getir. “Entahlah, Nara, mungkin aku suka kau bohongi. Aku hanya menikmati momen-momen kebersamaan kita.”Nara mencengkeram pinggiran pagar pembatas jembatan layang yang sudah mulai berkarat bahkan penyok di beberapa bagian. Angin menerpa wajah dan tubuhnya. Jauh di bawah sana, pemandangan permukiman dan reruntuhan Kota Kalingga tergelar di bawah kemilau cahaya matahari siang. “Aku tak pernah berbohong soal perasaanku padamu.”“Aku tahu, Nara!” tutur Rion dengan suara serak dan perasaan yang terluka. “Meski kebersamaan kita hanya sesaat dan aku mungkin tak akan pernah bisa memilikimu, tapi aku sangat menikmatinya. Terima kasih.” Rion menoleh dan menatap Nara dengan senyum manisny

  • Panglima Kalamantra    54: Mutan yang Menyebalkan

    Sejumlah pria berkuda keluar dari arah perkampungan Kalingga di Kota Kahuripan dan menuju ke jalan-jalan menanggapi serangan yang diterima oleh para pemudanya. Satu di antara pasukan berkuda itu adalah Kamatsura Taka, pemimpin klan Kalingga. Dengan bantuan sihir mata elang, Rion memperjauh pandangannya. Dari arah gerbang masuk Kahuripan yang ditandai dengan patung Dewandaru, datang dalam jumlah besar samurai dengan sesosok pria yang dirantai.Rion menoleh ke arah kirinya. Dia pertajam dan perjauh pandangan mata elangnya. Dari arah Kota Moka, datang dalam jumlah besar manusia yang berlari dengan kecepatan kuda. Di belakang mereka, sejumlah samurai berkuda menggiring pasukan pelari yang tak biasa itu dan mengarahkan mereka menuju Kalingga.“Ada apa?” tanya Nara. “Apa yang kau lihat?”“Para penjelajah dari Selter Agung, mereka datang dengan para monsternya!” uj

  • Panglima Kalamantra    55: Pemburu Monster

    Celurit Rion terus menebas dan memenggal leher-leher para monster berwujud manusia itu. Semakin dia mengayunkan celurit, ingatannya akan sosok mereka semakin menguat.“Jadi, di mana kau sembunyikan batu-batu Kalamantra itu, Penyihir Merah?” tanya keiko.Rion menyipitkan mata dan membatin. “Jadi benar itu dia! Saat pertama melihatnya, aku merasa tidak asing. Jadi, kita memang pernah bertemu sebelum ini!”“Siapa kira jika kau sebenarnya adalah Penyihir Merah yang banyak diburu oleh para pendekar negeri ini? Karena sebelumnya rambutmu berwarna hitam, aku jadi tidak mengenalimu,” gumam Keiko. “Seharusnya kutangkap kau sejak semula dan membawamu ke Selter Agung. Sayang, Aoi tidak pernah setuju dengan pendapatku!”Rion ingin bertanya lebih jauh tentang diri dan masa lalunya pada Keiko, tapi dia tidak melakukannya. Bertanya hal sepe

Bab terbaru

  • Panglima Kalamantra    25: Segel Kutukan

    “Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan

  • Panglima Kalamantra    24: Terkuaknya Sosok Berkecapi

    Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.

  • Panglima Kalamantra    23: Pasukan Iblis Kabut

    “Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka

  • Panglima Kalamantra    22: Pasukan Ngengat

    Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem

  • Panglima Kalamantra    21: Penjaga yang Mati

    Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam

  • Panglima Kalamantra    20: Mantra Pengundang Iblis

    Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me

  • Panglima Kalamantra    19: Kehancuran Misterius di Kota

    “Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!

  • Panglima Kalamantra    18: Merangkak Menuju Harapan

    Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L

  • Panglima Kalamantra    17: Tiga Kekalahan

    “Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany

DMCA.com Protection Status