Rion masih berada di atas tubuh Nara.
“Jika aku boleh meminta satu hal dalam hidup ini, aku ingin perang ini segera berakhir. Aku ingin waktu berhenti pada saat ini juga. Aku ingin gadis ini selalu tersenyum dan ada selalu di dekatku,” batin Rion sambil menatap lekat pada bibir merah jambu Nara yang basah dan penuh.
Pemuda itu menyusupkan wajah ke lekuk leher Nara dan menghidu aroma rambutnya, tubuhnya. Nara hanya diam tak bergerak, bahkan bernapas pun dia takut. Gadis itu takut jika semua itu hanya mimpi yang akan berakhir jika dia membuka mata.
Di antara lekuk leher Nara, sepasang mata biru Rion menggelap. “Aku berkata jika boleh meminta satu hal, tapi yang aku minta bahkan lebih banyak dari yang mampu aku usahakan. Sungguh, aku serakah,” bisiknya lirih di telinga Nara.
Gadis itu bersemu merah dan matanya membuka lebar.
“Kenapa kau selalu baik padaku, Rion? Kau tahu, kalau aku tak pernah tulus dan jujur dari semula, kan?”Pemuda berambut merah itu menjawabnya dengan tersenyum getir. “Entahlah, Nara, mungkin aku suka kau bohongi. Aku hanya menikmati momen-momen kebersamaan kita.”Nara mencengkeram pinggiran pagar pembatas jembatan layang yang sudah mulai berkarat bahkan penyok di beberapa bagian. Angin menerpa wajah dan tubuhnya. Jauh di bawah sana, pemandangan permukiman dan reruntuhan Kota Kalingga tergelar di bawah kemilau cahaya matahari siang. “Aku tak pernah berbohong soal perasaanku padamu.”“Aku tahu, Nara!” tutur Rion dengan suara serak dan perasaan yang terluka. “Meski kebersamaan kita hanya sesaat dan aku mungkin tak akan pernah bisa memilikimu, tapi aku sangat menikmatinya. Terima kasih.” Rion menoleh dan menatap Nara dengan senyum manisny
Sejumlah pria berkuda keluar dari arah perkampungan Kalingga di Kota Kahuripan dan menuju ke jalan-jalan menanggapi serangan yang diterima oleh para pemudanya. Satu di antara pasukan berkuda itu adalah Kamatsura Taka, pemimpin klan Kalingga. Dengan bantuan sihir mata elang, Rion memperjauh pandangannya. Dari arah gerbang masuk Kahuripan yang ditandai dengan patung Dewandaru, datang dalam jumlah besar samurai dengan sesosok pria yang dirantai.Rion menoleh ke arah kirinya. Dia pertajam dan perjauh pandangan mata elangnya. Dari arah Kota Moka, datang dalam jumlah besar manusia yang berlari dengan kecepatan kuda. Di belakang mereka, sejumlah samurai berkuda menggiring pasukan pelari yang tak biasa itu dan mengarahkan mereka menuju Kalingga.“Ada apa?” tanya Nara. “Apa yang kau lihat?”“Para penjelajah dari Selter Agung, mereka datang dengan para monsternya!” uj
Celurit Rion terus menebas dan memenggal leher-leher para monster berwujud manusia itu. Semakin dia mengayunkan celurit, ingatannya akan sosok mereka semakin menguat.“Jadi, di mana kau sembunyikan batu-batu Kalamantra itu, Penyihir Merah?” tanya keiko.Rion menyipitkan mata dan membatin. “Jadi benar itu dia! Saat pertama melihatnya, aku merasa tidak asing. Jadi, kita memang pernah bertemu sebelum ini!”“Siapa kira jika kau sebenarnya adalah Penyihir Merah yang banyak diburu oleh para pendekar negeri ini? Karena sebelumnya rambutmu berwarna hitam, aku jadi tidak mengenalimu,” gumam Keiko. “Seharusnya kutangkap kau sejak semula dan membawamu ke Selter Agung. Sayang, Aoi tidak pernah setuju dengan pendapatku!”Rion ingin bertanya lebih jauh tentang diri dan masa lalunya pada Keiko, tapi dia tidak melakukannya. Bertanya hal sepe
Belum sempat pentungan itu mengenai kepala Taka, tiba-tiba tangan monster botak itu terputus oleh sebuah tebasan pedang. Taka kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi begitu cepat. Seorang samurai tampan dengan rambut hitam panjang datang menebas lengan monster itu dengan pedang panjangnya.Wajah samurai itu dingin tanpa ekspresi sama sekali. Lengan kimono hitamnya hanya terpasang sebelah menutupi pundak dan lengan kiri. Lengan kanannya dia biarkan telanjang dengan menggenggam pedang panjang. Otot dada dan lengan samurai itu terpampang jelas dengan urat-urat bertonjolan saat menebaskan pedangnya.“Kamiya Aoi!” geram si monster yang kehilangan lengan kanan.Darah hitam pekat menetes-netes dari lengan kanannya yang putus. Darah itu menguarkan aroma busuk. Dia meraih pentungan dengan tangan kirinya yang tersisa. Meski sedikit susah payah, tapi monster botak itu dengan mudah berad
Sejumlah gadis muda dari klan Kalingga yang bertugas memanah di atap-atap gedung tinggi segera berlarian mendekati Aoi. Mereka mengerumuni samurai itu dengan tatapan mata berbinar penuh kekaguman.Aoi mundur ketakutan. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Aoi melirik ke arah Nara yang hanya mengendik dan meninggalkannya begitu saja.Aoi selalu lemah setiap kali menghadapi perempuan. Seketika, dia menjadi kikuk dan canggung. Mereka semua memperhatikan dan ingin menyentuh Aoi. Jarang sekali mereka bisa bertemu langsung dengan para samurai Selter Agung yang terkenal dengan ketampanannya.Saat mereka melihat para samurai yang datang bersama pria monster, mereka sedikit kecewa. Karena para samurai itu berwajah biasa saja meski kemampuan berpedangnya cukup sulit dikalahkan. Akan tetapi, melihat kemunculan Aoi yang berada di pihak mereka, para gadis itu kehilangan kendali diri.Salah sa
Kota pelabuhan Amber terlihat sepi. Pasar-pasar mereka kosong. Para pedagang dari kota lain tidak lagi singgah di sana, baik dari darat maupun dari lautnya. Kejayaan kota pelabuhan Amber sudah lama runtuh bersama habisnya bahan tambang akibat perebutan yang terjadi selama bertahun- tahun.Kota Amber adalah satu dari tiga kota yang berada di wilayah kekuasaan klan karang—Kota Poral, Kota Lamma, dan Kota Amber. Di antara ketiga kota tersebut, Amber menjadi satu-satunya kota terkaya dan termakmur di semenanjung timur karena memiliki kandungan tambang emas yang melimpah. Pasca perang saudara yang terjadi di seluruh negeri Jawa Dwipa, Kota Amber dipimpin oleh seorang pengusaha bertangan besi bernama Jalandra dari suku Poral yang ingin menyatukan ketiga kota di wilayah Karang.Di bawah kepemimpinan Jalandra, warga semakin menderita karena kemiskinan. Seluruh hasil tambang digunakan dan dikuasai secara pribadi oleh
Angin bergulung-gulung dan melilit tangan kanan Karuna hingga terjerat yang membuat kaparanya tak bisa terayun. Kapara itu hanya berjarak lima senti dari leher si nenek bungkuk. Perempuan tua itu segera melorot dan terduduk di tanah dengan kepala tertunduk. Tak ada yang tahu jika dia menyeringai dengan liciknya dan tangannya mengeluarkan kuku-kuku hitam tajam beracun.Gulungan angin itu serupa tali yang melilit tangan dan kapara Karuna. Ada seseorang yang mengendalikan angin itu dan menarik tangannya yang terlilit dengan sangat kuat. Dengan tangan kirinya yang telanjang, Karuna mencengkeram angin itu hingga melebur.Maitreya berdiri sambil menahan nyeri di dada. Satu tangannya terulur ke depan untuk mengendalikan angin agar menjerat Karuna selayaknya tali tambang tak kasatmata.“Apa yang kau lakukan, Panglima Angin?” desis Karuna.Mata putih Maitreya tertuju pa
Saat Raven menyadari kondisi Maitreya yang buruk, pria itu terlihat ragu-ragu. Padahal, dia sudah akan bersenang-senang untuk mengalahkan dan membawa Karuna ke depan kaki Raja Ragnart. Raven berdecak. “Kita selesaikan lain waktu!”Pria itu berlutut dan menggendong Maitreya dengan mudah. Raven memasang kuda-kuda dan bertumpu pada satu kaki lalu melompat tinggi ke langit. Meski dengan Maitreya di gendongan, dia bisa melompat sangat tinggi tanpa kesulitan seperti burung yang terbang. Dia mendarat pada salah satu atap bangunan dan melompat lagi.Karuna tercengang. “Jadi kau si Manusia Burung dari pasukan gagak hitam?” Karuna kembali goyah. Dia menahan beban tubuhnya menggunakan kapara agar tak roboh.Karuna tak mampu lagi berjalan. Dia butuh istirahat dan merebahkan diri begitu saja di permukaan tanah berhumus di tengah hutan.Suara-suara teriakan dan j