Sejumlah pria berkuda keluar dari arah perkampungan Kalingga di Kota Kahuripan dan menuju ke jalan-jalan menanggapi serangan yang diterima oleh para pemudanya. Satu di antara pasukan berkuda itu adalah Kamatsura Taka, pemimpin klan Kalingga. Dengan bantuan sihir mata elang, Rion memperjauh pandangannya. Dari arah gerbang masuk Kahuripan yang ditandai dengan patung Dewandaru, datang dalam jumlah besar samurai dengan sesosok pria yang dirantai.
Rion menoleh ke arah kirinya. Dia pertajam dan perjauh pandangan mata elangnya. Dari arah Kota Moka, datang dalam jumlah besar manusia yang berlari dengan kecepatan kuda. Di belakang mereka, sejumlah samurai berkuda menggiring pasukan pelari yang tak biasa itu dan mengarahkan mereka menuju Kalingga.
“Ada apa?” tanya Nara. “Apa yang kau lihat?”
“Para penjelajah dari Selter Agung, mereka datang dengan para monsternya!” uj
Celurit Rion terus menebas dan memenggal leher-leher para monster berwujud manusia itu. Semakin dia mengayunkan celurit, ingatannya akan sosok mereka semakin menguat.“Jadi, di mana kau sembunyikan batu-batu Kalamantra itu, Penyihir Merah?” tanya keiko.Rion menyipitkan mata dan membatin. “Jadi benar itu dia! Saat pertama melihatnya, aku merasa tidak asing. Jadi, kita memang pernah bertemu sebelum ini!”“Siapa kira jika kau sebenarnya adalah Penyihir Merah yang banyak diburu oleh para pendekar negeri ini? Karena sebelumnya rambutmu berwarna hitam, aku jadi tidak mengenalimu,” gumam Keiko. “Seharusnya kutangkap kau sejak semula dan membawamu ke Selter Agung. Sayang, Aoi tidak pernah setuju dengan pendapatku!”Rion ingin bertanya lebih jauh tentang diri dan masa lalunya pada Keiko, tapi dia tidak melakukannya. Bertanya hal sepe
Belum sempat pentungan itu mengenai kepala Taka, tiba-tiba tangan monster botak itu terputus oleh sebuah tebasan pedang. Taka kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi begitu cepat. Seorang samurai tampan dengan rambut hitam panjang datang menebas lengan monster itu dengan pedang panjangnya.Wajah samurai itu dingin tanpa ekspresi sama sekali. Lengan kimono hitamnya hanya terpasang sebelah menutupi pundak dan lengan kiri. Lengan kanannya dia biarkan telanjang dengan menggenggam pedang panjang. Otot dada dan lengan samurai itu terpampang jelas dengan urat-urat bertonjolan saat menebaskan pedangnya.“Kamiya Aoi!” geram si monster yang kehilangan lengan kanan.Darah hitam pekat menetes-netes dari lengan kanannya yang putus. Darah itu menguarkan aroma busuk. Dia meraih pentungan dengan tangan kirinya yang tersisa. Meski sedikit susah payah, tapi monster botak itu dengan mudah berad
Sejumlah gadis muda dari klan Kalingga yang bertugas memanah di atap-atap gedung tinggi segera berlarian mendekati Aoi. Mereka mengerumuni samurai itu dengan tatapan mata berbinar penuh kekaguman.Aoi mundur ketakutan. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Aoi melirik ke arah Nara yang hanya mengendik dan meninggalkannya begitu saja.Aoi selalu lemah setiap kali menghadapi perempuan. Seketika, dia menjadi kikuk dan canggung. Mereka semua memperhatikan dan ingin menyentuh Aoi. Jarang sekali mereka bisa bertemu langsung dengan para samurai Selter Agung yang terkenal dengan ketampanannya.Saat mereka melihat para samurai yang datang bersama pria monster, mereka sedikit kecewa. Karena para samurai itu berwajah biasa saja meski kemampuan berpedangnya cukup sulit dikalahkan. Akan tetapi, melihat kemunculan Aoi yang berada di pihak mereka, para gadis itu kehilangan kendali diri.Salah sa
Kota pelabuhan Amber terlihat sepi. Pasar-pasar mereka kosong. Para pedagang dari kota lain tidak lagi singgah di sana, baik dari darat maupun dari lautnya. Kejayaan kota pelabuhan Amber sudah lama runtuh bersama habisnya bahan tambang akibat perebutan yang terjadi selama bertahun- tahun.Kota Amber adalah satu dari tiga kota yang berada di wilayah kekuasaan klan karang—Kota Poral, Kota Lamma, dan Kota Amber. Di antara ketiga kota tersebut, Amber menjadi satu-satunya kota terkaya dan termakmur di semenanjung timur karena memiliki kandungan tambang emas yang melimpah. Pasca perang saudara yang terjadi di seluruh negeri Jawa Dwipa, Kota Amber dipimpin oleh seorang pengusaha bertangan besi bernama Jalandra dari suku Poral yang ingin menyatukan ketiga kota di wilayah Karang.Di bawah kepemimpinan Jalandra, warga semakin menderita karena kemiskinan. Seluruh hasil tambang digunakan dan dikuasai secara pribadi oleh
Angin bergulung-gulung dan melilit tangan kanan Karuna hingga terjerat yang membuat kaparanya tak bisa terayun. Kapara itu hanya berjarak lima senti dari leher si nenek bungkuk. Perempuan tua itu segera melorot dan terduduk di tanah dengan kepala tertunduk. Tak ada yang tahu jika dia menyeringai dengan liciknya dan tangannya mengeluarkan kuku-kuku hitam tajam beracun.Gulungan angin itu serupa tali yang melilit tangan dan kapara Karuna. Ada seseorang yang mengendalikan angin itu dan menarik tangannya yang terlilit dengan sangat kuat. Dengan tangan kirinya yang telanjang, Karuna mencengkeram angin itu hingga melebur.Maitreya berdiri sambil menahan nyeri di dada. Satu tangannya terulur ke depan untuk mengendalikan angin agar menjerat Karuna selayaknya tali tambang tak kasatmata.“Apa yang kau lakukan, Panglima Angin?” desis Karuna.Mata putih Maitreya tertuju pa
Saat Raven menyadari kondisi Maitreya yang buruk, pria itu terlihat ragu-ragu. Padahal, dia sudah akan bersenang-senang untuk mengalahkan dan membawa Karuna ke depan kaki Raja Ragnart. Raven berdecak. “Kita selesaikan lain waktu!”Pria itu berlutut dan menggendong Maitreya dengan mudah. Raven memasang kuda-kuda dan bertumpu pada satu kaki lalu melompat tinggi ke langit. Meski dengan Maitreya di gendongan, dia bisa melompat sangat tinggi tanpa kesulitan seperti burung yang terbang. Dia mendarat pada salah satu atap bangunan dan melompat lagi.Karuna tercengang. “Jadi kau si Manusia Burung dari pasukan gagak hitam?” Karuna kembali goyah. Dia menahan beban tubuhnya menggunakan kapara agar tak roboh.Karuna tak mampu lagi berjalan. Dia butuh istirahat dan merebahkan diri begitu saja di permukaan tanah berhumus di tengah hutan.Suara-suara teriakan dan j
Raven mendarat di badan kapal. Entakan kekuatan kakinya membuat kapal dagang berukuran besar itu berguncang hebat bak diserang gelombang. Para bajak laut Tiongkok yang menjadi awaknya berjatuhan, pun dengan Jalandra. Karuna berdiri dengan kuda-kuda dan ditopang oleh kaparanya agar tak limbung.Raven menggila. Dia tebas semua bajak laut yang ditemuinya di atas kapal. Perseteruan tak dapat dihindari. Karuna turut melawan mereka dengan kaparanya. Sekali ayun, kapara itu bisa menebas hampir sepuluh orang sekaligus. Sudut mata Karuna dan Raven menangkap kepergian Jalandra. Mereka berdua berlari untuk mendapatkan Jalandra lebih dulu.Saat Karuna sudah hampir mendapatkan pria tambun itu, Raven mengadang dengan seringai di balik topeng gagaknya. Dia acungkan pedang panjang untuk menantang Karuna.“Dia milikku, Panglima Karang!”“Tidak! Jalandra adalah milikku, Pe
Pemuda itu masih memejamkan mata. “Aku tidak tahu harus percaya pada siapa, tapi satu yang aku tahu. Jika memang racun ini atau belatimu bisa membunuhku, maka aku akan lebih senang daripada harus diam tak bisa bergerak seperti ini.”Anilas melepas topi bambunya dan mengangkat tinggi gaun hitamnya yang panjang sampai ke paha. Dia naik lagi ke atas tubuh Rion dan mengambil sebilah belati yang sudah disterilkan di atas api lilin. Dia mulai membuka kancing kemeja Rion lebih banyak dan meraba di sekitar dadanya untuk mencari pembuluh darah.“Kau gemetar!” bisik Rion.Anila melirik pemuda berambut merah itu. Pandangan mereka bertemu dengan sangat intens. Dia berusaha mengalihkan pikirannya dari tubuh berotot Rion pada pekerjaannya sebagai seorang tabib.“Tidak!” bantah Anila.“Ya, kau gemetar. Kau menekan pahamu terl