Beranda / Pendekar / Panglima Kalamantra / 62: Serangan Malam

Share

62: Serangan Malam

Penulis: Roe_Roe
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pemuda itu masih memejamkan mata. “Aku tidak tahu harus percaya pada siapa, tapi satu yang aku tahu. Jika memang racun ini atau belatimu bisa membunuhku, maka aku akan lebih senang daripada harus diam tak bisa bergerak seperti ini.”

Anilas melepas topi bambunya dan mengangkat tinggi gaun hitamnya yang panjang sampai ke paha. Dia naik lagi ke atas tubuh Rion dan mengambil sebilah belati yang sudah disterilkan di atas api lilin. Dia mulai membuka kancing kemeja Rion lebih banyak dan meraba di sekitar dadanya untuk mencari pembuluh darah.

“Kau gemetar!” bisik Rion.

Anila melirik pemuda berambut merah itu. Pandangan mereka bertemu dengan sangat intens. Dia berusaha mengalihkan pikirannya dari tubuh berotot Rion pada pekerjaannya sebagai seorang tabib.

“Tidak!” bantah Anila.

“Ya, kau gemetar. Kau menekan pahamu terl

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Panglima Kalamantra    63: Pengendali Mutan

    Karuna mendayung sekocinya sampai tiba di sebuah pantai yang gelap dan dipenuhi karang terjal. Dia tak bisa mendaratkan sekocinya sampai ke bibir pantai. Pemuda itu harus berenang beberapa meter dan berjalan dengan susah payah di antara bebatuan karang. Ombak memukul-mukul bebatuan karang dengan sangat kencang. Karuna harus berjuang agar tubuhnya tak terempas dan menumbuk karang tajam. Dia berbaring telentang di permukaan pasir hitam dengan badan dan pakaian kuyup begitu berhasil mencapai daratan. Dadanya naik turun dengan napas yang terengah. Di kepalanya tersangkut beberapa rumput laut dan butiran pasir yang melekat.“Ini sungguh gila!” Karuna tertawa di antara napasnya yang sesak. “Setelah ratusan tahun berla

  • Panglima Kalamantra    64: Pulau Terpencil

    Anila membuka telapak tangan kanan ke arah Keiko dan berkonsentrasi. Keiko tiba-tiba kesakitan dan tak bisa bergerak, bahkan bersuara pun dia tak bisa. Sepasang mata Anila memerah dengan pekat dan tatapannya sangat menakutkan.Telapak tangan yang terulur mencengkeram angin. Pada saat itu, Keiko merasa seperti tercekik. Dia tak bisa bernapas. Kepalanya sangat sakit seperti diremas-remas. Darah keluar dari hidungnya.Anila mencengkeramkan tangan kanannya ke udara. Keiko mulai mengeluarkan darah dari telinga dengan mata membeliak. Wajahnya juga membiru karena tak bisa bernapas. Mulutnya memuntahkan darah merah.Anila mengendurkan cengkeramannya. “Sudah kukatakan jangan menghalangiku!”Keiko jatuh limbung dengan kedua tangan memegangi leher yang memerah seperti ada bekas cekikan di sana. “Si-siapa kau?” bisiknya saat Anila berdiri menjulang di atasnya.

  • Panglima Kalamantra    65: Penyihir Janda Hitam

    Di dalam gua hitam yang pekat dan diselubungi aura sihir kuat itu, Karuna tak bisa berbuat apa-apa. Setiap waktu, kadar racun di dalam tubuhnya semakin meningkat. Dia memperhatikan sekitar dan hanya ada kegelapan. Semakin lama, matanya semakin menyesuaikan diri di dalam kegelapan. Samar, dia bisa melihat ada banyak sekali kerangka tulang manusia berukuran kecil—bayi dan anak-anak—yang berserakan di sekitar kakinya.Karuna tak bisa bergerak. Tubuhnya terlilit oleh jalinan serupa benang yang sangat kuat mulai dari kaki sampai ke leher. Di langit-langit gua dan di sekitar tubuhnya sendiri, ada banyak sekali jalinan benang sihir serupa jaring laba-laba yang berserakan dan berbelit-belit. Semuanya terasa lengket dan bau.“Aku terjebak di dalam sarang penyihir keparat itu!”Aroma anyir darah bercampur bangkai yang membusuk memenuhi penciumannya. Akan tetapi, tak ada yang lebi

  • Panglima Kalamantra    66: Gua Hitam dan Racun Mematikan

    Kepompong yang membelit Karuna koyak. Dari dalamnya muncul sebuah kapak raksasa tajam dengan selubung asap pekat. Karuna menerobos keluar dari dalam kepompong bak kupu-kupu yang baru bangun dari tidur panjangnya. Mata pemuda itu kuning menyala seperti matahari dengan asap hitam berkobar di sekujur tubuhnya.Karuna berdiri di tengah-tengah gua dan menyabet putus jaring-jaring pemintal yang terhubung antara Amberia dan Rion di pohon.Amberia menjerit. Dia berlari menerjang Karuna. Satu kaki tajam Amberia terayun dan dibalas dengan ayunan kapak Karuna. Satu ayunan lagi dan dua kaki depan Amberi terputus. Penyihir itu menjerit semakin marah. Dengan kaki kedua, dia menjepit Karuna lalu melemparkannya sampai keluar gua hingga menumbuk batang pohon.Rion terjatuh saat jalinan pemintal terputus. Dia berguling di permukaan tanah sambil meraih kedua bilah celuritnya. Dia terkejut saat melihat Karuna ter

  • Panglima Kalamantra    67 : Membenci Ketinggian

    “Kau menyakitiku!” gumam Karuna. “Ternyata, kau cengeng, ya.” Pemuda itu tergelak lirih.Di luar dugaan Karuna yang berpikir Rion akan marah, sebaliknya sang Penyihir Merah itu malah menundukkan kepala sambil meletakkan keningnya ke dada Karuna. Dia terisak tanpa suara.“Aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika sampai kau mati di depan mataku!”Karuna terbelalak. Dia sama sekali tak menduga akan mendapat kata-kata seperti itu dari orang lain yang belum lama dia kenal. “Tidak, dia bukan orang lain!” sanggah Karuna dalam hati. Pemuda itu menjadi melunak dan tersenyum.“Terima kasih, Rion!”“Bodoh!” teriak Rion. “Bodoh! Bodoh! Bodoh!”Karuna hanya telentang sambil memejamkan mata dengan bibir tersenyum penuh kehangatan. “Kau benar. Aku bod

  • Panglima Kalamantra    68: Kenyataan yang Sebenarnya

    Di pelabuhan tempat bongkar muat barang, terlihat beberapa perempuan dan anak-anak duduk berjajar sambil membawa sapu dan pengki. Panas terik menyengat membuat berkeringat, tapi tak menyusutkan tujuan mereka.Seorang nenek yang mengenakan kebaya dan jarik lusuh, mengusap peluh dengan lengan baju yang kotor. Di sampingnya, seorang bocah lima tahun tengah menyedot air dari dalam botol labu yang sudah kosong. Dia menjilat-jilat sisa air di sana dengan kesal.“Aku masih haus!” keluhnya.“Bersabarlah. Sebentar lagi, kereta-kereta pengangkut barang itu akan pergi dan kita bisa memulai pekerjaan. Setelah itu, kau bisa minum sepuasnya,” bujuk sang nenek juga sambil menahan haus dan lapar. “Jika kita pergi, mereka akan mengambil semuanya!” Wajah keriputnya terlihat kelelahan.Para perempuan dan anak-anak itu bertubuh kurus dengan mata cekung. Waj

  • Panglima Kalamantra    69: Festival Air

    Karuna berbalik dan tetap memunggungi Rion. Pemuda itu menjadi sedih. “Aku tidak tahu jika akan menjadi seburuk ini, Karuna.”Pada saat itu, Karuna berbalik menatap Rion dengan senyum dipaksakan. “Sudahlah, bukankah kita datang ke sini untuk menikmati suit mewah ini?”“Ah-ha, kau benar!” tanpa pikir panjang Rion melepas semua pakaiannya, berlari melompati balkon, dan masuk ke dalam kolam renang yang sebiru langit siang.“Wo-ei, astaga! Kenapa kau harus telanjang di depanku? Sial!” cibir Karuna sambil melepas pakaiannya sendiri dan melilitkan handuk kecil sedikit ke bawah pinggangnya.Rion berenang sampai ke batas terujung kolam. Dari ujung kolam renang, dia bisa melihat pemandangan laut biru yang membentang luas. “Kemarilah!”Karuna ikut berenang mendekati Rion. Rambut keemasannya berkilauan d

  • Panglima Kalamantra    70: Perebutan Topeng Rubah Emas

    Rion dan Karuna berjalan sampai ke Puri Banyu. Mereka tidak sendiri. Ada banyak pendekar dari berbagai penjuru negeri yang juga datang ke sana, baik sendiri maupun dalam kelompok.“Apa kau yakin akan melakukan ini?” desak Karuna.“Di mana lagi kita bisa menemukan Panglima Bondowoso kalau bukan di tempat seperti ini? Jika benar ceritamu Panglima Bondowoso mempunyai karakter suka bertarung, maka festival air ini adalah tempat yang tepat, bukan? Siapa tahu di antara ribuan orang dari berbagai daerah ini aku bisa bertemu dengan seseorang yang mungkin mengenaliku?” tanya Rion ragu.Karuna mendesah. Dia masih ingat betul bagaimana karakter sahabatnya dari Klan Bondowoso itu dahulu, selalu suka mencari masalah, suka menantang orang asing hanya untuk adu kekuatan, tapi dia juga memiliki hati yang baik. Melindungi orang miskin dan tak mampu selalu menjadi prioritas utamanya. Tap

Bab terbaru

  • Panglima Kalamantra    25: Segel Kutukan

    “Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan

  • Panglima Kalamantra    24: Terkuaknya Sosok Berkecapi

    Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.

  • Panglima Kalamantra    23: Pasukan Iblis Kabut

    “Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka

  • Panglima Kalamantra    22: Pasukan Ngengat

    Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem

  • Panglima Kalamantra    21: Penjaga yang Mati

    Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam

  • Panglima Kalamantra    20: Mantra Pengundang Iblis

    Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me

  • Panglima Kalamantra    19: Kehancuran Misterius di Kota

    “Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!

  • Panglima Kalamantra    18: Merangkak Menuju Harapan

    Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L

  • Panglima Kalamantra    17: Tiga Kekalahan

    “Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany

DMCA.com Protection Status