Kepompong yang membelit Karuna koyak. Dari dalamnya muncul sebuah kapak raksasa tajam dengan selubung asap pekat. Karuna menerobos keluar dari dalam kepompong bak kupu-kupu yang baru bangun dari tidur panjangnya. Mata pemuda itu kuning menyala seperti matahari dengan asap hitam berkobar di sekujur tubuhnya.
Karuna berdiri di tengah-tengah gua dan menyabet putus jaring-jaring pemintal yang terhubung antara Amberia dan Rion di pohon.
Amberia menjerit. Dia berlari menerjang Karuna. Satu kaki tajam Amberia terayun dan dibalas dengan ayunan kapak Karuna. Satu ayunan lagi dan dua kaki depan Amberi terputus. Penyihir itu menjerit semakin marah. Dengan kaki kedua, dia menjepit Karuna lalu melemparkannya sampai keluar gua hingga menumbuk batang pohon.
Rion terjatuh saat jalinan pemintal terputus. Dia berguling di permukaan tanah sambil meraih kedua bilah celuritnya. Dia terkejut saat melihat Karuna ter
“Kau menyakitiku!” gumam Karuna. “Ternyata, kau cengeng, ya.” Pemuda itu tergelak lirih.Di luar dugaan Karuna yang berpikir Rion akan marah, sebaliknya sang Penyihir Merah itu malah menundukkan kepala sambil meletakkan keningnya ke dada Karuna. Dia terisak tanpa suara.“Aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika sampai kau mati di depan mataku!”Karuna terbelalak. Dia sama sekali tak menduga akan mendapat kata-kata seperti itu dari orang lain yang belum lama dia kenal. “Tidak, dia bukan orang lain!” sanggah Karuna dalam hati. Pemuda itu menjadi melunak dan tersenyum.“Terima kasih, Rion!”“Bodoh!” teriak Rion. “Bodoh! Bodoh! Bodoh!”Karuna hanya telentang sambil memejamkan mata dengan bibir tersenyum penuh kehangatan. “Kau benar. Aku bod
Di pelabuhan tempat bongkar muat barang, terlihat beberapa perempuan dan anak-anak duduk berjajar sambil membawa sapu dan pengki. Panas terik menyengat membuat berkeringat, tapi tak menyusutkan tujuan mereka.Seorang nenek yang mengenakan kebaya dan jarik lusuh, mengusap peluh dengan lengan baju yang kotor. Di sampingnya, seorang bocah lima tahun tengah menyedot air dari dalam botol labu yang sudah kosong. Dia menjilat-jilat sisa air di sana dengan kesal.“Aku masih haus!” keluhnya.“Bersabarlah. Sebentar lagi, kereta-kereta pengangkut barang itu akan pergi dan kita bisa memulai pekerjaan. Setelah itu, kau bisa minum sepuasnya,” bujuk sang nenek juga sambil menahan haus dan lapar. “Jika kita pergi, mereka akan mengambil semuanya!” Wajah keriputnya terlihat kelelahan.Para perempuan dan anak-anak itu bertubuh kurus dengan mata cekung. Waj
Karuna berbalik dan tetap memunggungi Rion. Pemuda itu menjadi sedih. “Aku tidak tahu jika akan menjadi seburuk ini, Karuna.”Pada saat itu, Karuna berbalik menatap Rion dengan senyum dipaksakan. “Sudahlah, bukankah kita datang ke sini untuk menikmati suit mewah ini?”“Ah-ha, kau benar!” tanpa pikir panjang Rion melepas semua pakaiannya, berlari melompati balkon, dan masuk ke dalam kolam renang yang sebiru langit siang.“Wo-ei, astaga! Kenapa kau harus telanjang di depanku? Sial!” cibir Karuna sambil melepas pakaiannya sendiri dan melilitkan handuk kecil sedikit ke bawah pinggangnya.Rion berenang sampai ke batas terujung kolam. Dari ujung kolam renang, dia bisa melihat pemandangan laut biru yang membentang luas. “Kemarilah!”Karuna ikut berenang mendekati Rion. Rambut keemasannya berkilauan d
Rion dan Karuna berjalan sampai ke Puri Banyu. Mereka tidak sendiri. Ada banyak pendekar dari berbagai penjuru negeri yang juga datang ke sana, baik sendiri maupun dalam kelompok.“Apa kau yakin akan melakukan ini?” desak Karuna.“Di mana lagi kita bisa menemukan Panglima Bondowoso kalau bukan di tempat seperti ini? Jika benar ceritamu Panglima Bondowoso mempunyai karakter suka bertarung, maka festival air ini adalah tempat yang tepat, bukan? Siapa tahu di antara ribuan orang dari berbagai daerah ini aku bisa bertemu dengan seseorang yang mungkin mengenaliku?” tanya Rion ragu.Karuna mendesah. Dia masih ingat betul bagaimana karakter sahabatnya dari Klan Bondowoso itu dahulu, selalu suka mencari masalah, suka menantang orang asing hanya untuk adu kekuatan, tapi dia juga memiliki hati yang baik. Melindungi orang miskin dan tak mampu selalu menjadi prioritas utamanya. Tap
Seluruh peserta yang akan mengikuti kompetisi berburu rubah emas sudah berkumpul di kaki Gunung Sonyu. Gunung itu sangat pekat dan lembap. Pepohonan besar dan tua tumbuh mendominasi vegetasi asli. Bebatuan gunung berukuran raksasa juga banyak tersebar di sana. Kabut tebal terus menyelimuti hutan dan sekitarnya. Hutan Sonyu tak seperti hutan pada umumnya. Keadaan di sana terlalu senyap. Sama sekali tak ada suara kaok binatang atau cericau burung di kejauhan.Di dekat tebing pertama sebelum memasuki kawasan hutan Sonyu, dibangun sebuah tempat peristirahatan yang menyerupai kuil batu. Di tempat itu sudah terpasang bendera dari suku Banyu sebagai simbol kekuasaan yang sudah berhasil menguasai dua wilayah besar, Kota Banyu dan Kota Bondowoso. Akses jalan menuju tempat itu juga banyak dihiasi umbul-umbul yang mengandung mantra.Sebuah drum besar dari kulit sapi dengan hiasan tanduk banteng raksasa di atasnya dipajang di tengah-tengah pelataran. Seseorang dari suku Banyu berbadan gempal deng
Pemuda berambut perak itu akhirnya membuka suara setelah menghela napas beratnya. “Namaku Silver. Aku akan bergabung,” ujarnya lirih.Rion tersenyum penuh semangat. Anila melipat tangan ke dada dengan wajah serius. Karuna cemberut.“Sebaiknya, kita memencar dan berkumpul lagi di wilayah perburuan kita pada hari ketiga,” usul Rion.Tiba-tiba, Karuna berjalan ke arah Silver dan berkata, “Aku akan pergi dengan bocah ini!”“Yosh, aku akan memimpin perburuan untukmu, Anila!” Rion tersenyum senang yang dibalas Anila hanya dengan kedipan mata.“Aku bukan bocah!” geram Silver saat Karuna mendekatinya.Karuna mengabaikan protes pemuda itu dan menarik kepalanya dengan candaan. “Ayo, kita berburu!”Silver tak punya pilihan lain. Meski kesal, dia menurut juga pada Karuna yang mem
Di sisi hutan Sonyu yang berbeda, Karuna dan Silver berlarian memburu seekor rubah berbulu emas yang sangat lincah. Rubah itu sulit sekali untuk ditangkap. Mereka cerdas dan juga gesit.“Hosh... Hosh... A-apa k-kau punya i-ide?” Karuna membungkuk di depan sebuah tumpukan bebatuan vulkanik yang berat dan besar dengan napas terengah-engah.Silver berdiri di sisi yang berbeda sambil menungging untuk mengintip sang rubah yang masuk ke dalam celah bebatuan.“Dia terjebak di sana!” ujar Silver.“Bagaimana kau tahu?”“Lihatlah! Dia tak bisa bergerak. Kita harus menolongnya!” rengek Silver pada Karuna.Karuna berdiri tegak dan merentangkan tangan kanannya. “KAPARA!” Asap hitam pekat datang menyelubungi tubuh Karuna dan sebuah kapak raksasa muncul di genggaman tangan kanannya.Silver terk
“Energi!” ujar Karuna berhati-hati. “Mereka mengeluarkan gelombang energi yang cukup kuat karena berada dalam jumlah besar. Dari tadi aku kesulitan mengikutinya karena energi yang dikeluarkan satu rubah sangat samar. Aku sempat ragu. Sekarang aku yakin bahwa ini adalah energi para rubah.”Di tengah padang bunga itu, matahari sedikit menyinari meski tetap terasa pekat karena kabut yang tebal. Mereka kehilangan orientasi waktu, tak bisa membedakan kapan siang dan kapan malam. Bunga-bunga yang tumbuh di sana juga pucat dan berwarna gelap. Di beberapa sisi yang tak mendapat sinar matahari, warna bunganya bahkan sampai menghitam.“Silver, hatimu terlalu lembut, tapi kita tak akan bisa mendapatkan rubah-rubah itu jika terus seperti ini,” Karuna berujar.Silver menunduk.“Apa sebenarnya tujuanmu ikut dalam kompetisi ini?” desak Karuna.Sil