Nara duduk termenung sambil memeluk lutut di sebuah batu karst datar dan besar di bawah pohon jati. Pemandangan di bawah sana adalah atap-atap rumah dan sisa-sisa bangunan permukiman yang terbengkalai. Sebagian bangunan itu digunakan kembali oleh anggota klan Sakheti sebagai tempat tinggal dan sisanya dibiarkan kosong dengan banyak tanaman liar menyelimutinya. Di kejauhan, Nara bisa melihat sisa-sisa papan reklame makanan cepat saji dengan gambar seorang pria tua berkacamata yang menggigit potongan paha ayam.
Gadis itu tak mampu membayangkan bagaimana kehidupan manusia pada zaman itu. Nara juga tak mampu memikirkan, kenapa mereka tak bisa membuat hal yang sama atau bahkan yang lebih maju dari sebelumnya? Bukankah mareka sama-sama manusia?
Gadis itu menggeleng lemah. Dia tahu jawabannya, tapi enggan untuk mengakui. Manusia saat ini disibukkan dengan upaya untuk mempertahankan kehidupan dari sisa-sisa kerusakan yang terjadi pasca kejatuhan jentera. Kemajuan teknologi buk
Sudah dua malam, Nara dan Aoi menginap di bekas pabrik semen yang menjadi permukiman keluarga ibunya dari klan Sakheti. Udara malam itu begitu dingin, sangat berbeda dari malam- malam sebelumnya yang terasa panas dan gerah. Angin berembus lebih kencang dari biasanya.Sejak sore, gadis itu merasa gelisah tanpa sebab yang jelas. Rupanya kegelisahan itu tak hanya dirasakan oleh Nara saja. Sudah berjam- jam dia berusaha tidur, tapi matanya tak kunjung terpejam. Saat dia keluar dari kamar dan mencoba untuk berjalan- jalan di halaman, ternyata sejumlah pemuda dan pria dewasa dari klan Sakheti terlihat sedang berjaga malam. Jumlah mereka terlihat lebih banyak dari malam sebelumnya. Mereka berjalan dan berkeliling bergantian untuk memastikan semuanya aman, seakan- akan ada sesuatu yang akan mengganggu mereka.Suasana malam itu terlalu sunyi. Langit kelam tanpa bulan maupun bintang. Suara- suara binatang malam pun tak terdengar. Pada saat seperti itu, Nara merasakan kerinduan y
Semaun menatap Auliyah dengan pandangan yang penuh kekhawatiran. “Lia, kami akan berjuang sampai akhir. Kami akan selalu bersamamu, apa pun keputusanmu. Jika memang harus bertempur melawan mereka, kami—““Kalian pasti akan berjuang dengan sekuat tenaga. Aku tahu....” Auliyah mengepalkan tangannya.“Bahkan rela mengorbankan nyawa, tapi aku tak ingin ada korban lagi dan lagi,” batinnya.“Nah, Mama, buat keputusanmu sekarang juga!” Kaien menatap Auliyah dengan senyum yang penuh misteri. “Kau tahu aku bukan orang yang penyabar.”Semaun maju dan mencengkeram kerah kimono Kaien. Seketika, pedang-pedang pasukan Kaien teracung pada pria itu. Kaien mengangkat tangannya untuk menghentikan anak buahnya.“Kau, sudah keterlaluan, Kai!” Semaun menyarangkan tinjunya ke wajah pemuda itu.Sepasang mata hazel Kaien memicing tajam saat dia memijit rahangnya. “Karena aku masih m
Setelah beberapa hari menempuh perjalanan bersama singa dan elangnya, Rion bisa tiba di Kalingga tanpa kurang satu apa pun. Alih-alih menyusul Karuna ke kota berikutnya, dia malah berbalik arah dan menuju ke permukiman suku Kalingga.“Jika Karuna menganggapku sebagai Panglima Burung, setidaknya aku akan memastikan dengan mendatangi suku pengendali burung!”“Kau berharap salah satu anggota suku itu kehilangan anaknya dan tiba-tiba kau muncul dengan sambutan hangat mereka?” tanya sang singa datar tapi terdengar sinis di telinga Rion. “Bagaimana kalau sebaliknya? Kau adalah musuh mereka?”Rion berdecak. Dia memasuki perbatasan kota yang ditandai dengan kemunculan patung Dewandaru yang menjulang tinggi di tengah alun-alun kota yang kini terlihat porak-poranda.Mantel hitam pemuda itu terlihat berdebu dan lusuh. Rambut panjang merahnya tergerai di punggung dengan topi jerami lebar menudungi puncak kepala. Sepasang mata pemud
Rion disambut hangat oleh seluruh anggota klan Kalingga yang masih tersisa. Harapan mereka selama puluhan tahun seakan menemukan labuhan, meski jawaban itu tidak datang dari suku mereka sendiri. Bagaspati Seno, adik mantan ketua suku Kalingga dan Kamatsura Taka, ketua suku Kalingga yang baru, bersama-sama membawa Rion untuk pergi ke kediaman Bagaspati Hara.“Bagaspati Hara adalah mantan ketua suku Kalingga sekaligus pengendali burung terakhir yang kami miliki,” tutur sang adik, Bagaspati Seno.“Apa yang terjadi padanya?” tanya Rion sambil terus mengikuti dua pria itu menapaki tangga bekas gedung perpustakaan yang kini difungsikan sebagai rumah susun anggota suku yang tersisa.Mereka melaju menuju ke lantai lima, lantai tertinggi dari bangunan bekas perpustakaan itu. Setiap anak tangga yang dipijak, Rion berharap bisa menemukan sedikit petunjuk tentang identitas dan masa lalunya.Beberapa orang yang merasa heran mendengar tapak sepa
Di sebuah altar pemujaan yang gelap dan pekat tanpa sumber pencahayaan buatan, seseorang bersembunyi di dalam bayang- bayang kegelapannya. Dia duduk di sebuah kursi bersandaran tinggi dan berlengan. Tak ada yang tahu bagaimana rupa dan sosoknya, bahkan juga suaranya, mereka menyebutnya Raja Ragnart.Kelima jenderal sekaligus penyihir terkuat berjulukan Mahapanca yang baru kembali dari misi masing-masing membuat laporan di Benteng Poral. Mereka berlutut di depan kursi singgasana dengan satu tangan terlipat ke dada dan kepala menunduk memberi hormat.“Waktu kita tidak banyak,” ujar sang juru bicara yang berdiri di samping Raja Ragnart di singgasana. “Bulan merah akan muncul tak lama lagi! Kenapa kalian belum juga berhasil membawa ketujuh batu Kalamantra dan menakhlukkan empat suku terkuat terakhir?”Kelima jenderal Mahapanca semakin menunduk dalam dengan wajah merah padam. Mereka merasa malu atas ke
Di malam yang terlalu tenang itu, Maitreya berjalan-jalan ke taman di paviliun tempatnya tinggal. Dia baru kembali dari penaklukkan bersama Jenderal Macan Kuning ke wilayah Kota Amber. Sesuatu yang terasa janggal, karena biasanya dia lebih suka mengunci diri di kamar tanpa membiarkan para budak yang terdiri dari gadis-gadis muda untuk melayani setiap kebutuhannya.Keberadaan gadis-gadis itu selalu membuat Maitreya resah. Dia tak bisa mengingat apa itu, tapi selalu ada perasaan sedih yang begitu kuat di dalam dadanya setiap kali melihat kemunculan gadis-gadis yang dua puluh empat jam siap melayaninya.Dari tiga gaun yang disiapkan para budak itu, Maitreya lebih memilih mengenakan gaun beledu berwarna hitam panjang sederhana dengan potongan sempurna yang membentuk lekuk pinggangnya dan melebar di bagian panggul ke bawah. Gaun hitam polos itu memiliki kerah tinggi dengan potongan rendah pada bagian dada, terlihat kontras dengan rambut putih puc
Rion berlutut dengan bertumpu pada satu kaki di kamar mandi. Kamar mandi itu berbatasan langsung dengan halaman belakang yang banyak ditumbuhi bebungaan. Pintu gesernya terbuat dari kaca buram yang tak tembus pandang. Rion mencengkeram pinggiran tempayan air dari tanah liat dengan kedua tangan sambil memikirkan Karuna yang dia tinggalkan tanpa pesan.“Apa dia akan baik-baik saja menungguku terlalu lama di Kota Bondowoso?”Di depannya, air hangat di dalam tempayan mengepulkan uap memberikan sedikit kehangatan di pagi yang dingin itu. Rambut panjangnya tersampir di bahu kanan dan menjulur hingga ujungnya menyentuh permukaan air. Pemuda itu menangkup air hangat dengan kedua tangan dan membilaskannya ke wajah. Kehangatan air itu begitu dia nikmati.“Indah sekali tubuhmu!” ujar suara seorang perempuan di luar pintu kamar mandi terdengar takjub dan tanpa malu-malu.Rion membeku di tempatnya. “Apa yang dia maksud adalah aku?”“Aku ingin sekali membelai tiap lekuk tubuhmu yang indah itu. Izin
Rion masih berada di atas tubuh Nara.“Jika aku boleh meminta satu hal dalam hidup ini, aku ingin perang ini segera berakhir. Aku ingin waktu berhenti pada saat ini juga. Aku ingin gadis ini selalu tersenyum dan ada selalu di dekatku,” batin Rion sambil menatap lekat pada bibir merah jambu Nara yang basah dan penuh.Pemuda itu menyusupkan wajah ke lekuk leher Nara dan menghidu aroma rambutnya, tubuhnya. Nara hanya diam tak bergerak, bahkan bernapas pun dia takut. Gadis itu takut jika semua itu hanya mimpi yang akan berakhir jika dia membuka mata.Di antara lekuk leher Nara, sepasang mata biru Rion menggelap. “Aku berkata jika boleh meminta satu hal, tapi yang aku minta bahkan lebih banyak dari yang mampu aku usahakan. Sungguh, aku serakah,” bisiknya lirih di telinga Nara.Gadis itu bersemu merah dan matanya membuka lebar.