Home / Pendekar / Panglima Kalamantra / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Panglima Kalamantra : Chapter 31 - Chapter 40

164 Chapters

31: Persimpangan Tiga Kekuatan

Maitreya masih dalam keadaan lemah. Tubuhnya belum pulih pasca mengalami perubahan yang sangat drastis. Warna merah pada rambut gadis itu memudar dan berganti menjadi putih keperakan. Kekuatannya juga berkurang. Semua itu akibat dari kutukan karena melanggar pantangan terbesar yang telah diwejangkan oleh maha gurunya, Otisa.Sebagai pemimpin klan Angin Selatan, sekaligus pewaris kekuatan Panglima Perang Kalamantra, Maitreya dilarang jatuh cinta. Dia juga menolak takdirnya untuk mengabdi bersama panglima perang yang lain. Tanpa Maitreya kehendaki, kemunculan  Rion di tempat pengasingannya menimbulkan kembali getaran-getaran cinta di dalam dadanya, juga membuatnya melanggar sumpah.Untuk mendapatkan kembali kekuatannya secara utuh, Maitreya harus menempuh jalan meditasi dan mengambil sumpah setia bersama pemilik batu Kalamantra yang lain sebagai pewaris Panglima Perang Kalamantra. Akan tetapi, kondisi terbaru dari klan Angin di kaki Gunung Angin memaksanya untuk seg
Read more

32: Serangan Pagi di Kaki Gunung Angin

Pagi- pagi sekali tenda- tenda sementara yang didirikan oleh pasukan naga merah yang dipimpin Draken di padang rumput dipugar dan dibersihkan. Seluruh anggota pasukannya telah bersiap untuk melakukan penyerangan ke permukiman klan Angin Selatan. Selama beberapa malam, mereka tinggal di kawasan yang berbatasan langsung dengan permukiman klan Angin untuk menakut- nakuti mereka agar pemimpinnya mau menyerah sehingga tak perlu ada penyerangan. Akan tetapi, para pengendali angin itu selalu bersikap keras kepala dan menolak tunduk.Beberapa anak buah Draken menilai pria itu terlalu lunak. Dia terlihat sedikit berbeda dari biasanya yang selalu menyerang secara langsung dan brutal. Kali ini, Draken seakan- akan hanya bermain- main dengan target sasarannya dan mengamati situasi yang ada.Beberapa hari yang lalu, dia masih sempat membawa sepasukan kecil untuk memburu sang pimpinan klan Angin yang menurut hasil penyelidikan anak buahnya, perempuan itu mengasingkan diri di gunung.
Read more

33: Badai Burung

Sepasukan besar bandit dan penyihir dari kelompok naga merah yang dipimpin oleh Draken tiba di batas kota tempat tinggal klan Angin Selatan di kaki Gunung Angin. Para pria dan pemuda klan Angin sudah siap bertempur dan mengadang mereka di batas kota. Jumlah dan kekuatan mereka memang tak sebanding dengan jumlah dan kekuatan pasukan naga merah yang dipimpin oleh Draken. Dengan mudah, pasukan naga merah menghabisi mereka dan mulai memasuki kota.Para perempuan dan anak-anak klan Angin tak kalah keras kepala. Mereka ikut berjuang dengan cara masing-masing. Mulai dari membuat jebakan sampai melempari pasukan dengan buah- buahan busuk dan kotoran.“Di mana Panglima Angin?” teriak Draken. “Tidakkah ini memalukan kalau sang pimpinan bersembunyi di balik ketiak warganya yang lemah? Cuih!”Ucapan Draken disambung dengan gelak tawa yang berderai- derai dari anak buahnya.Seorang pemuda yang usianya sekitar dua puluhan datang dengan berkuda.
Read more

34: Menolak Pertolongan

Pasca melihat visualisasi dari elang pancasona dan tak bisa menemukan Karuna,  Enzi berlari- lari menuruni Gunung Angin seperti orang gila. Dia ingin segera tiba di selatan Gunung Angin tempat permukiman klan Saifi Angin berada. Napasnya merengap dengan dada panas yang berdentam- dentam. Kaki pemuda itu mulai tak terkendali. Tubuhnya serasa melayang karena kelelahan. Ujung sepatu botnya tersangkut akar pepohonan yang membuat dia jatuh tersungkur. Dalam posisi telungkup, Enzi marah dan terus memukul- mukuli tanah dengan putus asa. “Sialan! Sialan!” Air matanya mulai berderai. Pemuda itu begitu putus asa dan menderita. Sebuah suara seakan berdengung di telinganya. “Percuma kau cepat-cepat datang ke sana. Mungkin mereka semua sudah mati! Kau lemah. Kau tak akan bisa menolong mereka. Kau bahkan tak bisa melindungi klanmu sendiri!” Enzi menangis tanpa suara. Air matanya bercam
Read more

35: Rumah Batu di Padang Gelagah

Bagaspati Enzi dan Sakka Nara berkuda sehari penuh tanpa banyak berhenti menuju ke arah selatan meninggalkan Kota Angin yang menjadi lokasi permukiman klan Saifi Angin selatan. Karuna memisahkan diri untuk pergi ke Kota Banyu. Dia tak begitu suka dengan Sakka Nara. Pemuda itu berjanji akan menemui Enzi di perbatasan antara Kota Banyu dan Kota Bondowoso. Karuna akan mencoba untuk mencari Panglima Bandung Bondowoso di Kota Banyu. Enzi dan Nara tak banyak berbicara selama dalam perjalanan. Masing- masing sibuk dengan rencana- rencana dan pemikirannya tentang serangan dari pasukan Omkara di hampir setiap kota yang mereka temui maupun kondisi Maitreya yang mereka tinggalkan. Tiba-tiba, Nara menarik kekang kudanya hingga berhenti dan membiarkan Enzi melaju. Gadis itu menatap nanar punggung Enzi dengan rambut putih susu kebiruannya yang tergerai dan mantel hitamnya yang berkibar diterpa angin. Nara masih bisa mengingat jelas bagaimana tatapan Enzi
Read more

36: Xavier Si Rubah Putih

Di sebuah ruangan luas dengan atap kubah yang menjulang tinggi, sudah berkumpul sejumlah laki- laki dan perempuan yang mengenakan berbagai macam bentuk dan warna topeng. Topeng- topeng itu dibedakan sesuai dengan ciri khas suku dan klan masing-masing. Ruangan besar itu remang- remang bahkan cenderung gelap karena penerangan sengaja diredupkan begitu Raja Ragnart datang.Satu- satunya sumber pencahayaan datang dari pantulan cahaya bulan dan bintang di langit yang menembus masuk melalui puncak kubah yang terbuat dari kaca. Pilar- pilar besar dan lebar yang menjadi penyangga atap tersebar di penjuru ruangan sebanyak enam tegakan. Pada pusat ruangan terdapat sebuah undakan yang tidak terlalu tinggi. Di puncak undakan terletak sebuah kursi singgasana berlengan dengan sandaran tinggi yang terbuat dari beledu dan bersepuh emas.Kursi singgasana itu diduduki oleh seseorang yang tubuh dan wajahnya tersembunyi di balik sisi gelap ruangan. Tak jauh dari kursi singgasana tersebut,
Read more

37: Pertukaran dan Drama Keluarga Samurai

Pagi masih cukup gelap saat Nara tersentak bangun dari tidur lelapnya. Di dada gadis itu terselimut mantel berat milik Rion. Pedang katana dan wakizashinya berada aman di ranjang di samping tempatnya terlelap. Lamat- lamat, gadis itu bisa mendengar kicauan sejumlah burung dan ringkikan kuda dari depan rumah. Dia melompat turun dari ranjang dan berlari setelah menyambar pedang katananya.“Singa!” ujarnya.Di pelataran yang gelap dengan latar langit biru pekat, Rion sedang mengusap surai singa jantannya. Tak jauh dari singa itu ada dua kuda mereka. Rion mengambil perbekalan saat Nara berdiri di undakan teras dengan napas tersengal- sengal.“Kau ingin meninggalkanku, Panglima Burung?”Rion menoleh ke arah Nara tanpa menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya. “Jangan memanggilku demikian. Aku bahkan tak tahu siapa diriku. Aku harus melanjutkan perjalananku. Karuna menunggu di kota berikutnya.”“Bagaimana dengank
Read more

38: Payung Tajam Beracun

Tanpa semua orang sadari, ikatan pada tangan Rion yang sengaja dibuat kendur oleh Aoi terlepas dengan mudah. Para samurai yang ada di sana segera mengepung Aoi. Bersama- sama dengan Sabrang Wasa, mereka menyerang Aoi yang dianggap telah berkhianat pada perintah Ron sang direktur Selter Agung. Di teras rumah pertanian, Keiko dan Nara beradu senjata dan kemampuan berpedang dengan sengit.Rion mengayun- ayunkan tubuhnya yang tergantung di pohon agar bisa berbalik dan meraih kakinya yang terikat. Dia mengangkat kepala dan tangan untuk meraih tambang yang mengikat kakinya di pohon. Dia genggam simpul tali di kaki dan mulai memanjat sampai berhasil meraih batang pohon. Dia duduk di batang pohon itu dengan susah payah dan mulai melepas simpulnya. Setelahnya, Rion bersiul memanggil singanya.Kemunculan singa jantan besar itu membuat panik semua orang yang sedang bertarung di sana. Rion melompat ke punggung singa dan berlari mengejar kuda yang menggila untuk mengambil dua bilah
Read more

39: Mencari Masa Lalu yang Tersembunyi

Tak tahan melihat sikap Nara yang kacau, Aoi menarik lengan gadis itu dan menamparnya. “Sakka Nara! Kuasai dirimu!”Nara merasakan denyutan dan rasa panas di pipinya. Dia menatap Aoi dengan muak dan perasaan jijik. “Biarkan aku mengejar Rion!”Sekali lagi, Aoi menarik pundak gadis itu dan mengancam dengan keras. “Bunuh aku dulu sebelum kau memburunya!”Nara tak segan- segan maladeni gertakan Aoi. Dia sedang kesal dan membutuhkan pelampiasan. Gadis itu menyabetkan pedangnya begitu saja hingga menggores pipi samurai muda itu. Tanpa rasa penyesalan atau bersalah, Nara mundur dan meninggalkan Aoi yang menahan luka di pipi.Di luar dugaan gadis itu, Aoi malah memburu dan memeluk pinggang Nara dengan sangat kuat dari belakang dengan satu tangan kanannya yang tersisa.“Aku tak ingin kehilangan kau lagi dan lagi!”“Lepaskan aku, Aoi! Bukankah kau ingin memburu dan membunuhku?” Nara membeku,
Read more

40: Klan Sakheti di Kota Pasur

Kabut sedikit tersibak. Sekelompok laki- laki dan perempuan berkuda dan bersenjatakan panah mengelilingi Nara dan Aoi. Salah seorang dari kelompok koboi itu membidikkan anak panah ke arah Nara yang terjatuh ke tanah sedangkan kudanya sudah berlari entah ke mana. Aoi mencabut pedangnya dan empat koboi yang lain turut membidikkan panah pada samurai muda itu.Kabut semakin tersingkap. Di belakang kelompok berkuda itu terpampang pemandangan lautan kapur putih yang membentang. Warna putihnya terlihat lebih kelabu dalam selimut kabut tipis yang masih menggantung. Jauh di balik perbukitan yang masih menghijau, terlihat beberapa cerobong asap beton yang tinggi menjulang.“Inikah perbukitan kapur yang Aoi maksudkan?” batin Nara tercengang.Aoi menjatuhkan pedang dengan terpaksa yang segera diambil oleh salah satu anggota rombongan berkuda itu. Mereka juga memaksa Nara untuk menyerahkan pedangnya di bawah ancaman bidikan anak panah.Nara memperhatikan d
Read more
PREV
123456
...
17
DMCA.com Protection Status