Tak tahan melihat sikap Nara yang kacau, Aoi menarik lengan gadis itu dan menamparnya. “Sakka Nara! Kuasai dirimu!”
Nara merasakan denyutan dan rasa panas di pipinya. Dia menatap Aoi dengan muak dan perasaan jijik. “Biarkan aku mengejar Rion!”
Sekali lagi, Aoi menarik pundak gadis itu dan mengancam dengan keras. “Bunuh aku dulu sebelum kau memburunya!”
Nara tak segan- segan maladeni gertakan Aoi. Dia sedang kesal dan membutuhkan pelampiasan. Gadis itu menyabetkan pedangnya begitu saja hingga menggores pipi samurai muda itu. Tanpa rasa penyesalan atau bersalah, Nara mundur dan meninggalkan Aoi yang menahan luka di pipi.
Di luar dugaan gadis itu, Aoi malah memburu dan memeluk pinggang Nara dengan sangat kuat dari belakang dengan satu tangan kanannya yang tersisa.
“Aku tak ingin kehilangan kau lagi dan lagi!”
“Lepaskan aku, Aoi! Bukankah kau ingin memburu dan membunuhku?” Nara membeku,
Kabut sedikit tersibak. Sekelompok laki- laki dan perempuan berkuda dan bersenjatakan panah mengelilingi Nara dan Aoi. Salah seorang dari kelompok koboi itu membidikkan anak panah ke arah Nara yang terjatuh ke tanah sedangkan kudanya sudah berlari entah ke mana. Aoi mencabut pedangnya dan empat koboi yang lain turut membidikkan panah pada samurai muda itu.Kabut semakin tersingkap. Di belakang kelompok berkuda itu terpampang pemandangan lautan kapur putih yang membentang. Warna putihnya terlihat lebih kelabu dalam selimut kabut tipis yang masih menggantung. Jauh di balik perbukitan yang masih menghijau, terlihat beberapa cerobong asap beton yang tinggi menjulang.“Inikah perbukitan kapur yang Aoi maksudkan?” batin Nara tercengang.Aoi menjatuhkan pedang dengan terpaksa yang segera diambil oleh salah satu anggota rombongan berkuda itu. Mereka juga memaksa Nara untuk menyerahkan pedangnya di bawah ancaman bidikan anak panah.Nara memperhatikan d
Nara mengerjap- ngerjap lemah. Saat mata sudah terbuka dan kesadaran gadis itu sepenuhnya kembali yang pertama dilihat adalah atap bangunan berwarna kelabu terbuat dari seng dengan beberapa karat di bagian- bagian tertentu. Sinar matahari menyorot masuk melalui celah- celah dinding yang juga terbuat dari seng dengan beberapa bagian berlubang dimakan karat.Keringat mulai menderas di tubuh gadis itu. Udara di ruangan tempatnya berbaring begitu panas dan pengap. Entah kapan seseorang memindahkannya ke sebuah kamar sederhana dengan satu tempat tidur. Tak banyak perabotan di sana, hanya ada lemari kayu tanpa pintu, sebuah meja polos dan satu kursi di kolongnya menghadap ke jendela. Nara bisa melihat puncak salah satu cerobong asap dari jendela itu. Dia yakin ruangan tempatnya tidur saat ini minimal berada di lantai dua.Kerongkongan Nara terasa begitu haus. Bibirnya juga pucat dan kering. Dia ingin bangkit, tapi kepalanya terasa begitu berat dan berdenyar. Tak ada siapa pu
Aoi duduk di tepi ranjang tanpa pakaian. Rambut hitam panjangnya terurai hingga ke dada dan paha. Tangan kanan pemuda itu mengusap-usap lengan kiri atasnya yang buntung. Bekas luka tebasan pedang dari lawannya masih membekas, seumur hidup tak akan bisa hilang, terlebih luka batin yang harus diterimanya karena kehilangan satu lengan.Di belakangnya, Nara meringkuk di balik selimut memunggungi Aoi. Bahu putih gadis itu sedikit tersibak saat rambutnya terjatuh ke sprei yang kusut. Dia menggigit ibu jari sambil meringkuk lebih dalam dengan mata terpejam. “Apa aku sudah berbuat kesalahan?” batinnya meronta.“Di Jepang terjadi peperangan sengit yang berdarah-darah, pun di negeri-negeri lainnya. Aku bahkan tidak ingat pernah memiliki kehidupan yang layak dan bahagia di sana. Dari ingatan terjauhku yang masih tertanam, kami sudah berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain hanya untuk bertahan hidup sehari lebih lama. Ayahku adalah seorang samurai. Ibuk
“Apa sebenarnya yang kau rencanakan, Ron?” Ausiyah berlari dengan tangan dan kaki yang terbelenggu rantai menuju pintu jeruji yang tertutup.Di luar pintu, Ron—Direktur Selter Agung—tengah mengirimkan makanan untuk perempuan itu. “Simpan energimu untuk hal yang lebih besar, Ausy.”Setelan putih yang Ron kenakan meyakinkan Ausiyah bahwa pria itu yang memukulnya dari belakang menggunakan tongkat sampai pingsan belum lama ini.“Kenapa? Kenapa kau melakukan semua ini?” Perempuan itu memukul-mukulkan gelang besinya ke pintu jeruji hingga terdengar gema logam yang nyaring ke penjuru ruangan.Ron berkacak pinggang sambil menyugar rambutnya. “Ah, kenapa sulit sekali untuk menjinakkanmu, Ausy!” Ron berteriak lantang di depan pintu jeruji tempat Ausiyah dikurung dan menendangnya dengan sangat kasar. “Pikirkan nasibmu sendiri! Jika kau masih keras kepala seperti ini, terpaksa kau yang akan menjadi san
Nara duduk termenung sambil memeluk lutut di sebuah batu karst datar dan besar di bawah pohon jati. Pemandangan di bawah sana adalah atap-atap rumah dan sisa-sisa bangunan permukiman yang terbengkalai. Sebagian bangunan itu digunakan kembali oleh anggota klan Sakheti sebagai tempat tinggal dan sisanya dibiarkan kosong dengan banyak tanaman liar menyelimutinya. Di kejauhan, Nara bisa melihat sisa-sisa papan reklame makanan cepat saji dengan gambar seorang pria tua berkacamata yang menggigit potongan paha ayam.Gadis itu tak mampu membayangkan bagaimana kehidupan manusia pada zaman itu. Nara juga tak mampu memikirkan, kenapa mereka tak bisa membuat hal yang sama atau bahkan yang lebih maju dari sebelumnya? Bukankah mareka sama-sama manusia?Gadis itu menggeleng lemah. Dia tahu jawabannya, tapi enggan untuk mengakui. Manusia saat ini disibukkan dengan upaya untuk mempertahankan kehidupan dari sisa-sisa kerusakan yang terjadi pasca kejatuhan jentera. Kemajuan teknologi buk
Sudah dua malam, Nara dan Aoi menginap di bekas pabrik semen yang menjadi permukiman keluarga ibunya dari klan Sakheti. Udara malam itu begitu dingin, sangat berbeda dari malam- malam sebelumnya yang terasa panas dan gerah. Angin berembus lebih kencang dari biasanya.Sejak sore, gadis itu merasa gelisah tanpa sebab yang jelas. Rupanya kegelisahan itu tak hanya dirasakan oleh Nara saja. Sudah berjam- jam dia berusaha tidur, tapi matanya tak kunjung terpejam. Saat dia keluar dari kamar dan mencoba untuk berjalan- jalan di halaman, ternyata sejumlah pemuda dan pria dewasa dari klan Sakheti terlihat sedang berjaga malam. Jumlah mereka terlihat lebih banyak dari malam sebelumnya. Mereka berjalan dan berkeliling bergantian untuk memastikan semuanya aman, seakan- akan ada sesuatu yang akan mengganggu mereka.Suasana malam itu terlalu sunyi. Langit kelam tanpa bulan maupun bintang. Suara- suara binatang malam pun tak terdengar. Pada saat seperti itu, Nara merasakan kerinduan y
Semaun menatap Auliyah dengan pandangan yang penuh kekhawatiran. “Lia, kami akan berjuang sampai akhir. Kami akan selalu bersamamu, apa pun keputusanmu. Jika memang harus bertempur melawan mereka, kami—““Kalian pasti akan berjuang dengan sekuat tenaga. Aku tahu....” Auliyah mengepalkan tangannya.“Bahkan rela mengorbankan nyawa, tapi aku tak ingin ada korban lagi dan lagi,” batinnya.“Nah, Mama, buat keputusanmu sekarang juga!” Kaien menatap Auliyah dengan senyum yang penuh misteri. “Kau tahu aku bukan orang yang penyabar.”Semaun maju dan mencengkeram kerah kimono Kaien. Seketika, pedang-pedang pasukan Kaien teracung pada pria itu. Kaien mengangkat tangannya untuk menghentikan anak buahnya.“Kau, sudah keterlaluan, Kai!” Semaun menyarangkan tinjunya ke wajah pemuda itu.Sepasang mata hazel Kaien memicing tajam saat dia memijit rahangnya. “Karena aku masih m
Setelah beberapa hari menempuh perjalanan bersama singa dan elangnya, Rion bisa tiba di Kalingga tanpa kurang satu apa pun. Alih-alih menyusul Karuna ke kota berikutnya, dia malah berbalik arah dan menuju ke permukiman suku Kalingga.“Jika Karuna menganggapku sebagai Panglima Burung, setidaknya aku akan memastikan dengan mendatangi suku pengendali burung!”“Kau berharap salah satu anggota suku itu kehilangan anaknya dan tiba-tiba kau muncul dengan sambutan hangat mereka?” tanya sang singa datar tapi terdengar sinis di telinga Rion. “Bagaimana kalau sebaliknya? Kau adalah musuh mereka?”Rion berdecak. Dia memasuki perbatasan kota yang ditandai dengan kemunculan patung Dewandaru yang menjulang tinggi di tengah alun-alun kota yang kini terlihat porak-poranda.Mantel hitam pemuda itu terlihat berdebu dan lusuh. Rambut panjang merahnya tergerai di punggung dengan topi jerami lebar menudungi puncak kepala. Sepasang mata pemud