Semua Bab Panglima Kalamantra : Bab 11 - Bab 20

164 Bab

11: Pecahan Batu Milik Panglima Karang

Tali tambang terputus dan pria itu jatuh terjungkal ke tanah dengan suara debum yang menyakitkan. Tiba-tiba muncul dari balik semak-semak sebuah kusarigama—rantai panjang dengan arit sebagai pemberat di ujungnya. Kusarigama itu melayang ke arah Rion untuk menghalangi pemuda itu mendekati si pria yang akan bunuh diri. Seorang ninja berdiri di sana menggenggam ujung rantai kusarigama. Seluruh tubuhnya tertutup pakaian hitam dan hanya menyisakan sepasang mata yang sipit.“Pria itu milikku!” ujar si ninja.Rion hanya meneleng. Sudut matanya menangkap pergerakan pria yang baru dia selamatkan merangkak mengendap-endap untuk melarikan diri sambil membawa satu celuritnya. Sesaat, Rion terkejut mengenali wajah pria itu yang terlihat masih sangat muda.Pecahan batu yang terkalung di leher Rion terasa berdenyut. Refleks dia mengusapnya dan terasa panas. “Ada apa ini? Siapa di antara pria ini memiliki pecahan batu yang sama? Kata singa jantan itu, batu ini akan menuntunku pada pemilik yang lain.”
Baca selengkapnya

12: Sabrang Wasa Penyihir Gugur Raga

Rion dapat melihat pergerakan pemuda berpakaian jembel itu yang menyelinap pergi ketika dia sibuk mengendalikan burung-burung. Satu celuritnya masih dibawa kabur oleh pemuda itu. Selagi ada kesempatan, Rion memburu dan menyusul pemuda itu.“Kau mengikutiku, bukan? Sejak pertama aku menginjakkan kaki di hutan Lamma, kau terus mengikutiku sampai ke kota!” suara Rion menggema.Dia berdiri di bawah air terjun. Di puncak tebing tempat muasal air terjatuh, seekor elang bertengger di dahan pohon yang landai. Rion dan elang itu saling menatap.“Dan kau adalah Panglima Karang!“ Rion mencebik, “Ternyata, kau bahkan sudah mengawasiku sejak memasuki Kota Poral di utara Lamma!” Rion teringat pada pemuda itu yang berpura-pura menjadi pengemis. Dia pernah melihat pakaian yang sama saat tiba di Kota Poral sebelum memasuki hutan Lamma.Rion tak tahu pemuda jembel itu mendengar suaranya atau tidak. Dia tahu satu hal yang pasti, semakin mencari semakin banyak dia menemukan pertanyaan-pertanyaan yang tak
Baca selengkapnya

13: Karuna Si Rambut Emas

Jauh di luar Kota Lamma terdapat sebuah padepokan tua yang terlihat lama tak terurus. Rumput dan ilalang tumbuh tinggi menyelimuti di segala sisi. Padepokan itu dulunya adalah sebuah bangunan sekolah yang sudah tak digunakan. Sisa-sisa palang nama sekolah masih tertancap di depan gapura. Atapnya yang rusak sebagian sudah ditutup dengan welit dan dindingnya yang jebol sudah ditambal dengan papan kayu beraneka bentuk dan ukuran.Sejumlah anak-anak berusia tujuh sampai dua belas tahun terlihat sibuk berlarian, bermain sepak bola, dan berlatih pencak silat di sana. Mereka adalah anak-anak yatim korban perang dan perbudakan antar klan.Seorang pemuda berpakaian jembel baru tiba di sana dan melintasi gapura yang terbuat dari bambu setinggi pinggang pria dewasa sambil membawa sekantung roti. Anak-anak lebih muda yang sedang bermain sepak bola yang terbuat dari rotan itu segera berlari dan menghambur ke arah si pemuda.“Karuna, apa yang kau bawa itu?” teriak anak-anak yang semakin banyak berd
Baca selengkapnya

14: Niat yang Tak Tulus

Karuna berdiri di depan pintu sambil mengawasi anak-anak masuk ke ruangan satu persatu. Dia bantu naikkan anak yang lebih kecil dengan mengangkatnya menggunakan satu tangan. Tiba-tiba gerakannya terhenti dan berdiri tegak. “Berhentilah memaksaku. Aku tak ada urusan dengan kalian!” ujarnya sambil menginjakkan satu kaki di undakan dan bersiap masuk.Rion berdiri tak jauh di belakangnya.“Kau egois, Panglima Karang! Kau ingin bunuh diri dan meninggalkan anak-anak ini sendirian di sini?” ungkap Rion berapi-api.Pemuda berpakaian jembel itu urung masuk. Dia turunkan kaki kembali dan berbalik menatap Rion. “Aku bukan Panglima Karang. Aku hanya seorang pemuda miskin yang sudah lelah dengan kehidupan ini.” Dia berbalik dan menaiki undakan.“Penolakan dan penyangkalan tak akan mengubahmu menjadi orang lain!” ujar Rion.Tangan Karuna memegangi erat pintu papan yang hendak dia tutup. Sepasang matanya menyipit menembusi Rion yang berdiri tegang di halaman.“Pemuda yang naif!” desis Karuna. “Jika
Baca selengkapnya

15: Samurai Berhati Biru

Darda memperhatikan keponakannya yang sedari tadi terus mengawasi jalan di depan penginapan dari balik jendela. Dia mencoba menarik perhatian Anila dengan memukul-mukulkan alu ke mangkuk keramik yang digunakan untuk menumbuk obat hingga cukup berisik, tapi gadis itu seakan tak mendengarkan apalagi terganggu. “Ke mana pikiranmu itu pergi, Anila?” Darda terus sibuk menumbuk ramuan obatnya. “Kenapa dia belum juga kembali, Paman? Apa sesuatu terjadi padanya?” Anila menggigit bibir sambil mengusap-usap lengan kirinya yang diperban. Darda akhirnya mengalah. Dia singkirkan tumbukan obatnya dan berjalan mendekati gadis itu. Pria paruh baya itu melepas ikatan setangan pada kepala dan menyeduh dua cangkir teh hijau. Dia sodorkan satu pada Anila yang diterima masih dengan pandangan menatap jalan setapak di depan penginapan mereka. “Sudah kukatakan, bukan? Jangan menaruh hati pada para pujangga. Karena mereka akan mel
Baca selengkapnya

16: Kecupan Perpisahan

Dada Rion berdentam-dentam. Rasa panas menjalar dari bibir yang dikecup Nara ke sekujur tubuhnya. Nara mundur tanpa berkata-kata dan berjalan meninggalkan Rion dengan kepala menunduk menahan malu.“Nara!” Rion mencoba memburu gadis itu.“Berhenti di sana!” Nara berdiri membelakangi Rion. “Itu hanya ucapan terima kasih, tak lebih. Mungkin kita harus berpisah di sini. Aku harus melanjutkan perjalanan untuk menyelesaikan misiku.” Tanpa menoleh lagi, gadis itu berlari meninggalkan Rion dan menghilang ditelan kegelapan malam.“Bagaimana dengan aku sendiri? Tujuanku sampai ke sini untuk menemukan dan membawa panglima karang?” tangan pemuda itu terkepal di samping tubuhnya.***“Aaarrggh!” pekik Keiko sambil memukulkan tinju ke meja hingga urat-urat di lehernya saling bertonjolan. Wajah putih perempuan itu menjadi merah padam. Dia dorong sekuat tenaga meja yang ada di depannya hingga terjungkal bersama seluruh isinya. Sejumlah samurai yang menjadi anak buahnya mundur untuk menghindar.Merasa
Baca selengkapnya

17: Sabetan Kapak Raksasa

Para pria bertopeng merah itu tengah duduk-duduk di serambi dan halaman padepokan. Salah satu pria yang di dadanya tertoreh rajah matahari terbakar memukulkan tongkat panjang ke kerangkeng kayu dan mengancam anak-anak itu hingga mereka terdiam.Karuna merasa terusik dan tak terima. Dia berlari ke gapura padepokan seperti menantang singa yang sedang lapar. Pemuda itu sangat marah begitu melihat anak-anak asuhnya dimasukkan ke kandang seperti binatang yang akan diperjual-belikan. Dia menghampiri sang pimpinan bandit yang duduk tak jauh dari pohon ketapang.“Tarik!” perintah sang pimpinan bandit.Sejumlah bandit bertopeng merah itu menarik sebuah tali tambang yang tersembunyi di antara dedaunan kering. Karuna terjebak. Satu kakinya terjerat tali tambang hingga dia terseret dan tergantung secara terbalik di dahan pohon ketapang. Pemuda itu berayun-ayun dengan mulut yang tak henti mengumpat.Pimpinan bandit bertopeng merah mendekat. Pria itu berkacak pinggang sambil mendongak ke arah Karun
Baca selengkapnya

18: Penyihir Angin Merah

Rion berbaring telungkup di atas punggung kuda. Pemuda itu tak membuka mata sejak dibawa Nara meninggalkan padepokan yang diserang oleh para bandit dari utara dan samurai dari Selter Agung. Nara berjalan sambil menuntun kuda yang mengangkut tubuh Rion melintasi padang savana dan hutan belantara selama seharian penuh. Sesekali, Nara berhenti kala kaki dan tubuhnya lagi tak mampu menahan lelah dan sakit yang mendera.Denyut nadi Rion semakin melemah. Pemuda itu terluka cukup parah. Nara pun tak lebih baik darinya. Hanya saja, potensi kekuatan dari Ausiyah—ibunya—membuat Nara mampu bertahan sedikit lebih lama. Dia juga mempelajari tenaga dalam dan sihir pengobatan dari ibunya. Akan tetapi, kemampuannya tak cukup baik untuk meringankan luka Rion.Nara menggenggam tangan dingin pemuda itu. “Bersabarlah sedikit lagi!”“Si-nga...,” bisik Rion.“Apa? Kau mengatakan sesuatu?”Hawa dingin datang menyelimuti mereka seiring turunnya kabut senja. Hal itu membuat Nara semakin gelisah. Dia rapatkan
Baca selengkapnya

19: Kuil Batu di Tengah Hutan Angin

Mereka tiba di sebuah puri kecil yang tersembunyi di tengah-tengah hutan mahoni dan bambu. Puri itu lebih menyerupai sebuah kuil dengan bangunan tambahan di belakangnya. Para perempuan cantik itu membawa Rion ke sebuah kamar dan menggiring Nara ke kamar yang berbeda.Nara berkeras hati ingin menemani Rion. Dia masih belum bisa mempercayai para perempuan yang menurutnya seperti siluman itu.“Perempuan dan laki-laki tak boleh bercampur menjadi satu!” ujar salah satu dari perempuan berambut hitam pengawal Maitreya. Nara tak tahu nama mereka satu persatu. Meski sudah disebutkan, dia tetap kesulitan mengingat karena wajah dan gaya berpakaian mereka yang terlalu serupa.Gadis itu sungguh kelelahan. Dia tak lagi mampu berpikir tentang hal-hal buruk yang mungkin bisa menimpa mereka. Dia berendam di sebuah kolam air panas alami yang cukup besar. Kolam itu berada di dalam puri utama di belakang bangunan kuil. Sedangkan Rion, dia dibawa ke kuil depan yang menyerupai bangunan batu berwarna kelabu
Baca selengkapnya

20: Kekuatan Iblis yang Tersembunyi

Sepasukan besar pria bertopeng iblis merah datang dengan berkuda dan berjalan kaki. Mereka berjajar panjang dan rapi mengepung sebuah perkampungan. Seorang pria yang wajahnya tertutup topeng gagak hitam dengan seringai licik pada bibirnya berteriak lantang sambil mengacungkan pedang. “Tembak!”Pasukan pemanah mulai mencelup bilah panahnya ke minyak, menyambarkan ke api, dan menembakkannya ke arah perkampungan itu. Dengan sangat cepat, api melahap seluruh pepohonan, atap-atap rumah kayu, dan bangunan-bangunan yang ada di sana. Terdengar jeritan dan teriakan dari anak-anak dan para perempuan yang ketakutan. Mereka terkurung di kampungnya tanpa bisa berbuat apa-apa. Para pria dan pemuda berjuang sekuat tenaga melawan pasukan yang datang dari berbagai arah untuk mengepung perkampungan mereka.Jenderal gagak hitam menghunuskan pedang pada sang ketua suku hingga pria itu jatuh terkulai dengan sepasang mata membeliak menatap Rion. Tubuh Rion terikat dengan mantra sihir yang sangat kuat. Dia
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
17
DMCA.com Protection Status