Rion berbaring telungkup di atas punggung kuda. Pemuda itu tak membuka mata sejak dibawa Nara meninggalkan padepokan yang diserang oleh para bandit dari utara dan samurai dari Selter Agung. Nara berjalan sambil menuntun kuda yang mengangkut tubuh Rion melintasi padang savana dan hutan belantara selama seharian penuh. Sesekali, Nara berhenti kala kaki dan tubuhnya lagi tak mampu menahan lelah dan sakit yang mendera.Denyut nadi Rion semakin melemah. Pemuda itu terluka cukup parah. Nara pun tak lebih baik darinya. Hanya saja, potensi kekuatan dari Ausiyah—ibunya—membuat Nara mampu bertahan sedikit lebih lama. Dia juga mempelajari tenaga dalam dan sihir pengobatan dari ibunya. Akan tetapi, kemampuannya tak cukup baik untuk meringankan luka Rion.Nara menggenggam tangan dingin pemuda itu. “Bersabarlah sedikit lagi!”“Si-nga...,” bisik Rion.“Apa? Kau mengatakan sesuatu?”Hawa dingin datang menyelimuti mereka seiring turunnya kabut senja. Hal itu membuat Nara semakin gelisah. Dia rapatkan
Mereka tiba di sebuah puri kecil yang tersembunyi di tengah-tengah hutan mahoni dan bambu. Puri itu lebih menyerupai sebuah kuil dengan bangunan tambahan di belakangnya. Para perempuan cantik itu membawa Rion ke sebuah kamar dan menggiring Nara ke kamar yang berbeda.Nara berkeras hati ingin menemani Rion. Dia masih belum bisa mempercayai para perempuan yang menurutnya seperti siluman itu.“Perempuan dan laki-laki tak boleh bercampur menjadi satu!” ujar salah satu dari perempuan berambut hitam pengawal Maitreya. Nara tak tahu nama mereka satu persatu. Meski sudah disebutkan, dia tetap kesulitan mengingat karena wajah dan gaya berpakaian mereka yang terlalu serupa.Gadis itu sungguh kelelahan. Dia tak lagi mampu berpikir tentang hal-hal buruk yang mungkin bisa menimpa mereka. Dia berendam di sebuah kolam air panas alami yang cukup besar. Kolam itu berada di dalam puri utama di belakang bangunan kuil. Sedangkan Rion, dia dibawa ke kuil depan yang menyerupai bangunan batu berwarna kelabu
Sepasukan besar pria bertopeng iblis merah datang dengan berkuda dan berjalan kaki. Mereka berjajar panjang dan rapi mengepung sebuah perkampungan. Seorang pria yang wajahnya tertutup topeng gagak hitam dengan seringai licik pada bibirnya berteriak lantang sambil mengacungkan pedang. “Tembak!”Pasukan pemanah mulai mencelup bilah panahnya ke minyak, menyambarkan ke api, dan menembakkannya ke arah perkampungan itu. Dengan sangat cepat, api melahap seluruh pepohonan, atap-atap rumah kayu, dan bangunan-bangunan yang ada di sana. Terdengar jeritan dan teriakan dari anak-anak dan para perempuan yang ketakutan. Mereka terkurung di kampungnya tanpa bisa berbuat apa-apa. Para pria dan pemuda berjuang sekuat tenaga melawan pasukan yang datang dari berbagai arah untuk mengepung perkampungan mereka.Jenderal gagak hitam menghunuskan pedang pada sang ketua suku hingga pria itu jatuh terkulai dengan sepasang mata membeliak menatap Rion. Tubuh Rion terikat dengan mantra sihir yang sangat kuat. Dia
Sakka Nara tersenyum mengejek setiap kali mengingat bagaimana perlakuan para perempuan klan Saifi Angin selatan terhadap Rion. Meskipun Maitreya berulang kali menjelaskan pada Nara bahwa klan Saifi Angin dari selatan berbeda dengan yang di utara, gadis itu masih tak percaya.Menurut Maitreya, klan Saifi Angin selatan dipimpin oleh para perempuan-perempuan muda dengan kekuatan khusus untuk mengendalikan angin. Para pria dan tetua yang lain, mereka hidup membaur di kaki-kaki gunung. Sedangkan para gadis berkekuatan khusus ini harus diungsikan dan dilindungi di kuil Saifi Angin yang terlindung mantra untuk mencegah dari kepunahan dan kerusakan akibat serangan oleh para musuh yang terus berdatangan.Nara juga sempat bertanya tentang Anila yang terlihat berbeda dari Maitreya. Menurut Maitreya, Anila datang dari klan Saifi Angin di utara. Klan mereka dipimpin oleh seorang pria yang menjadi pengendali angin. Dahulu, mereka bersatu dalam satu klan besar. Pasca jentera dan peperangan antar kla
Kepala Maitreya menyembul dari dalam air. Rambut panjang merahnya mengambang dan beriak di permukaan air kolam yang tenang. Cahaya bulan memantul menerangi puncak kepalanya. Rambut merah terang Maitreya perlahan-lahan berubah menjadi putih kekuningan sewarna cahaya bulan.Maitreya menengadah, menatap langit tanpa bintang dengan bulan purnama di sana. Dia usapkan kedua telapak tangannya yang basah ke wajah dan terpejam. Tangan itu meraba kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut putih kekuningan, meski warna merah terang masih melekat di bagian tengah hingga ke ujung rambut.Dia bisa merasakan kekuatannya mulai berubah. Maitreya terkena kutukan setelah dipertemukan dengan pemilik pecahan batu yang lain. Seperti yang diriwayatkan oleh pendahulunya, takdir pemimpin klan Saifi Angin adalah untuk tunduk dan setia pada pemilik pecahan batu. Takdirnya sebagai Panglima Saifi Angin tak dapat dia hindari. Akan tetapi, Maitreya berusaha menolak takdir itu.Dia menolak menyerahkan janji dan sumpahnya
Badai masih terus menampar-nampar. Seluruh jendela dan pintu di penginapan tempat Nara singgah menjadi berderak-derak karena hantaman angin dan pasir. Lampu gas di penginapan itu padam. Seluruh ruangan menjadi pekat. Nara yang tanpa sadar terlelap di ranjangnya seketika terbangun.“Berapa lama aku tertidur?”Dia duduk di ranjang dengan gelisah dan menatap ke arah jendela yang terus berisik. Perasaannya tak tenang dengan keadaan yang tak pernah ditemuinya selama tinggal di selter agung.“Kota apa ini sebenarnya?”Karena tak tahan dengan kegelapan kamar dan udara yang sesak, Nara bangkit dari pembaringan. Dia selipkan wakizashi ke ikat pinggang dan mulai berjalan menuju lorong. Sepanjang lorong pun juga gelap. Seluruh kamar pada penginapan itu tertutup. Tak ada suara atau tanda-tanda kehidupan di sana. Nara menuruni tangga dan menuju ke kedai yang terletak di lantai bawah.“Tak ada orang sama sekali. Ke mana para koboi tadi pergi?”Nara memperhatikan meja-meja yang sudah tertata rapi de
Nara terbangun karena guncangan pada tubuhnya. Sekujur badan gadis itu terasa sakit dan pegal-pegal. Seberkas sinar menyelinap melalui sebuah celah kecil yang menyorot langsung ke matanya. Gadis itu terlonjak bangkit dan mencari-cari pedangnya.“Di mana? Di mana aku?” Dia berteriak- teriak dengan panik.Nara meraba-raba ruang sempit yang membatasi gerakannya. Dia terkurung di dalam ruangan berbentuk persegi sempit dengan papan-papan kayu sebagai dinding. Nara mencoba merangkak dan mengintip melalui celah kecil itu sambil mencari jalan keluar.Dia paham tengah berada di dalam sebuah kereta yang ditarik oleh kuda. Kereta berjalan melintasi sebuah jalanan tanah berkerikil dengan pemandangan berupa hamparan tanah kering sampai sejauh yang bisa Nara jangkau.Gadis itu mulai panik dan mencari-cari pintu. “Siapa yang mengurung? Siapa membawaku? Ke mana kereta ini akan pergi?”Dia goyang-goyang dan tendang satu-satunya pintu yang ada di sana dengan kedua kaki dalam posisi duduk, tapi sama sek
Pria bermantel merah itu duduk termangu di atas kuda tunggangannya sambil memperhatikan rombongan pasukan berkuda dari Selter Agung yang baru saja melewati mereka. Topi jerami lebarnya menutupi sebagian wajah dengan rambut putih pendek yang tersamarkan. Raut mukanya begitu dingin dan datar dengan sorot mata penuh kobar permusuhan begitu melihat sosok yang sangat dikenalinya, Kamiya Aoi.“Dia bahkan tidak mengenaliku. Cih, orang-orang itu hanya sekumpulan sampah! Seharusnya kubiarkan dia mati di jembatan waktu itu.”Salah satu anak buahnya mendekat. “Cepat atau lambat mereka akan sadar kita yang telah membuat kekacauan di penginapan itu!”Pria bermantel merah itu memutar kudanya. “Sayangnya, saat mereka sadar kita sudah tak terkejar!” Dia mulai menghela kekang kuda agar melaju sedikit lebih cepat.Anak buahnya turut menyejajari. “Bos, kenapa kita harus membawa
“Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan
Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.
“Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka
Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem
Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam
Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me
“Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!
Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L
“Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany