Nara terbangun karena guncangan pada tubuhnya. Sekujur badan gadis itu terasa sakit dan pegal-pegal. Seberkas sinar menyelinap melalui sebuah celah kecil yang menyorot langsung ke matanya. Gadis itu terlonjak bangkit dan mencari-cari pedangnya.“Di mana? Di mana aku?” Dia berteriak- teriak dengan panik.Nara meraba-raba ruang sempit yang membatasi gerakannya. Dia terkurung di dalam ruangan berbentuk persegi sempit dengan papan-papan kayu sebagai dinding. Nara mencoba merangkak dan mengintip melalui celah kecil itu sambil mencari jalan keluar.Dia paham tengah berada di dalam sebuah kereta yang ditarik oleh kuda. Kereta berjalan melintasi sebuah jalanan tanah berkerikil dengan pemandangan berupa hamparan tanah kering sampai sejauh yang bisa Nara jangkau.Gadis itu mulai panik dan mencari-cari pintu. “Siapa yang mengurung? Siapa membawaku? Ke mana kereta ini akan pergi?”Dia goyang-goyang dan tendang satu-satunya pintu yang ada di sana dengan kedua kaki dalam posisi duduk, tapi sama sek
Pria bermantel merah itu duduk termangu di atas kuda tunggangannya sambil memperhatikan rombongan pasukan berkuda dari Selter Agung yang baru saja melewati mereka. Topi jerami lebarnya menutupi sebagian wajah dengan rambut putih pendek yang tersamarkan. Raut mukanya begitu dingin dan datar dengan sorot mata penuh kobar permusuhan begitu melihat sosok yang sangat dikenalinya, Kamiya Aoi.“Dia bahkan tidak mengenaliku. Cih, orang-orang itu hanya sekumpulan sampah! Seharusnya kubiarkan dia mati di jembatan waktu itu.”Salah satu anak buahnya mendekat. “Cepat atau lambat mereka akan sadar kita yang telah membuat kekacauan di penginapan itu!”Pria bermantel merah itu memutar kudanya. “Sayangnya, saat mereka sadar kita sudah tak terkejar!” Dia mulai menghela kekang kuda agar melaju sedikit lebih cepat.Anak buahnya turut menyejajari. “Bos, kenapa kita harus membawa
Hutan AnginRion merintih kesakitan sambil mencengkeram dadanya yang serasa terbakar, tapi tak ada luka di sana selain lagi-lagi pakaiannya yang robek. Dia masih berbaring di permukaan tanah hutan yang lembap sambil mengerjap-ngerjap. Matahari menyorot ke matanya melalui celah-celah kanopi pepohonan.“Kau sudah bangun?” ujar sebuah suara.Rion mendongakkan kepala ke belakang sambil mencengkeram dada dengan susah payah dalam posisi masih telentang di tanah. Dari matanya, terlihat sosok Panglima Karang tengah duduk di sebatang pohon yang tumbang sambil mengunyah burung bakar.“Kau, Panglima Karang?” kejut Rion. “Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran dan datang ke sini, Panglima Karang? Apa kau ingin balas dendam padaku?” Rion mulai ketakutan teringat pada pertemuan terakhir mereka.“Karuna, namaku Karuna!” teriak pria yang masih mengge
Puri Poral di Kota PoralSebuah puri dan benteng besar baru saja dibangun di Kota Poral yang menjadi pusat pemerintahan klan Karang selama ini. Kota itu sudah ditakhlukkan dan dikuasai oleh Raja Ragnart bersama pasukannya yang berjuluk penyihir utara. Setiap kota yang berhasil mereka takhlukkan, akan didirikan benteng sebagai pusat komando dan kontrol wilayah di sekitarnya.Di dalam benteng baru itu sedang diadakan sebuah pertemuan. Empat orang pria dalam pakaian perang dan senjata lengkap berjalan dengan langkah tegap dan mantap menuju sebuah ruangan. Keempat pria itu adalah para penyihir terkuat yang menjadi orang kepercayaan Raja Ragnart. Masing-masing dari mereka ditugaskan untuk menduduki puri dan benteng yang sudah dibangun di penjuru negeri Jawa Dwipa.Pada helm perang yang mereka kenakan ada hiasan khas pasukan Ragnart berupa matahari terbakar di bagian kening. Para jenderal perang sekaligus penyihir muda itu ter
Hari sudah gelap ketika pintu kereta dibuka oleh seorang perempuan dengan rajah bergambar naga di tengkuknya. Rambut perempuan itu pirang panjang tapi dikuncir tinggi sehingga mendukung untuk menampakkan tato pada lehernya.“Keluar!” bentaknya pada Nara.Gadis samurai itu masih meringkuk di sudut kereta dengan posisi rebah ke lantai. Tubuhnya lemah tak berdaya.“Merepotkan sekali!” Perempuan pirang itu memijakkan satu kaki ke lantai kereta dan menarik kedua kaki Nara dengan kasar hingga sebagian tubuhnya keluar dari badan kereta.Tanpa terduga, Nara malah menjepit leher perempuan pirang itu dengan kedua kakinya yang disilangkan. Perempuan pirang itu memberontak, tapi Nara semakin kuat menjepitnya sampai pingsan. Nara berjalan mengendap-endap di balik kereta dan di antara jajaran kuda-kuda yang sedang istirahat.Langit malam cukup cerah dengan banyak
Sakka Nara melepaskan diri dari pelukan Draken dan mencoba berlari menerobos keluar tenda utama milik pria itu.“Ha Na—segel!” ucap Draken tegas dengan sepasang mata merahnya menyorot tajam ke punggung Nara.Gadis itu seketika menjadi kaku tak bisa bergerak. Seakan-akan ada tali tak kasatmata yang membelenggu sekujur tubuhnya. Nara tak bisa berbuat apa-apa. “Apa yang kau lakukan padaku?”Dia berdiri di tengah-tengah ruangan dengan posisi satu kaki melangkah di depan kaki lainnya. Sedangkan kedua tangan gadis itu di depan tubuh seakan-akan dia hendak meraih sesuatu dan berlari, tapi yang terjadi malah mematung di sana.Sepasang mata merah Draken berbinar pekat dengan tatapan dingin. Dari sepasang mata iblisnya, dia bisa melihat banyak jerat sihir yang membelit tubuh Nara. Sebuah simbol mantra dalam aksara Kalamantra lama yang terdiri dari huruf Ha dan Na tergambar di bawa
Kicauan beragam jenis burung bersahutan menggema hingga ke rumah-rumah terjauh dari hutan. Pendar cahaya mentari pagi yang menyelinap di antara celah- celah dahan dan pepohonan lebat menyorot tepat ke sepasang mata Rion yang memicing. Sepasang bulu mata lebatnya mengerjap- ngerjap dengan malas. Satu telinga pemuda itu bergerak samar karena terhibur oleh nyanyian burung- burung pagi yang terus bersahutan mengucapkan selamat pagi padanya dari jauh dan dekat.Rion menoleh ke sekitar. Dia mendengarkan suara-suara orang berbicara. Tapi, tak ada siapa pun di sana. Dia kembali memusatkan perhatian dan menajamkan pendengaran. Suara-suara itu jauh dan dekat. Dari bingkai jendela, Rion mendongak ke arah dahan pohon terdekat.Pemuda itu mundur hingga beberapa langkah menjauhi jendela. Dia kini sadar dari mana suara-suara itu berasal. “Burung-burung itu bisa berbicara?”Samar-samar di antara beraneka jenis kicauan burung dan kaokan kera-kera di hutan yang berbat
Maitreya masih dalam keadaan lemah. Tubuhnya belum pulih pasca mengalami perubahan yang sangat drastis. Warna merah pada rambut gadis itu memudar dan berganti menjadi putih keperakan. Kekuatannya juga berkurang. Semua itu akibat dari kutukan karena melanggar pantangan terbesar yang telah diwejangkan oleh maha gurunya, Otisa.Sebagai pemimpin klan Angin Selatan, sekaligus pewaris kekuatan Panglima Perang Kalamantra, Maitreya dilarang jatuh cinta. Dia juga menolak takdirnya untuk mengabdi bersama panglima perang yang lain. Tanpa Maitreya kehendaki, kemunculan Rion di tempat pengasingannya menimbulkan kembali getaran-getaran cinta di dalam dadanya, juga membuatnya melanggar sumpah.Untuk mendapatkan kembali kekuatannya secara utuh, Maitreya harus menempuh jalan meditasi dan mengambil sumpah setia bersama pemilik batu Kalamantra yang lain sebagai pewaris Panglima Perang Kalamantra. Akan tetapi, kondisi terbaru dari klan Angin di kaki Gunung Angin memaksanya untuk seg