Pria bermantel merah itu duduk termangu di atas kuda tunggangannya sambil memperhatikan rombongan pasukan berkuda dari Selter Agung yang baru saja melewati mereka. Topi jerami lebarnya menutupi sebagian wajah dengan rambut putih pendek yang tersamarkan. Raut mukanya begitu dingin dan datar dengan sorot mata penuh kobar permusuhan begitu melihat sosok yang sangat dikenalinya, Kamiya Aoi.“Dia bahkan tidak mengenaliku. Cih, orang-orang itu hanya sekumpulan sampah! Seharusnya kubiarkan dia mati di jembatan waktu itu.”Salah satu anak buahnya mendekat. “Cepat atau lambat mereka akan sadar kita yang telah membuat kekacauan di penginapan itu!”Pria bermantel merah itu memutar kudanya. “Sayangnya, saat mereka sadar kita sudah tak terkejar!” Dia mulai menghela kekang kuda agar melaju sedikit lebih cepat.Anak buahnya turut menyejajari. “Bos, kenapa kita harus membawa
Hutan AnginRion merintih kesakitan sambil mencengkeram dadanya yang serasa terbakar, tapi tak ada luka di sana selain lagi-lagi pakaiannya yang robek. Dia masih berbaring di permukaan tanah hutan yang lembap sambil mengerjap-ngerjap. Matahari menyorot ke matanya melalui celah-celah kanopi pepohonan.“Kau sudah bangun?” ujar sebuah suara.Rion mendongakkan kepala ke belakang sambil mencengkeram dada dengan susah payah dalam posisi masih telentang di tanah. Dari matanya, terlihat sosok Panglima Karang tengah duduk di sebatang pohon yang tumbang sambil mengunyah burung bakar.“Kau, Panglima Karang?” kejut Rion. “Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran dan datang ke sini, Panglima Karang? Apa kau ingin balas dendam padaku?” Rion mulai ketakutan teringat pada pertemuan terakhir mereka.“Karuna, namaku Karuna!” teriak pria yang masih mengge
Puri Poral di Kota PoralSebuah puri dan benteng besar baru saja dibangun di Kota Poral yang menjadi pusat pemerintahan klan Karang selama ini. Kota itu sudah ditakhlukkan dan dikuasai oleh Raja Ragnart bersama pasukannya yang berjuluk penyihir utara. Setiap kota yang berhasil mereka takhlukkan, akan didirikan benteng sebagai pusat komando dan kontrol wilayah di sekitarnya.Di dalam benteng baru itu sedang diadakan sebuah pertemuan. Empat orang pria dalam pakaian perang dan senjata lengkap berjalan dengan langkah tegap dan mantap menuju sebuah ruangan. Keempat pria itu adalah para penyihir terkuat yang menjadi orang kepercayaan Raja Ragnart. Masing-masing dari mereka ditugaskan untuk menduduki puri dan benteng yang sudah dibangun di penjuru negeri Jawa Dwipa.Pada helm perang yang mereka kenakan ada hiasan khas pasukan Ragnart berupa matahari terbakar di bagian kening. Para jenderal perang sekaligus penyihir muda itu ter
Hari sudah gelap ketika pintu kereta dibuka oleh seorang perempuan dengan rajah bergambar naga di tengkuknya. Rambut perempuan itu pirang panjang tapi dikuncir tinggi sehingga mendukung untuk menampakkan tato pada lehernya.“Keluar!” bentaknya pada Nara.Gadis samurai itu masih meringkuk di sudut kereta dengan posisi rebah ke lantai. Tubuhnya lemah tak berdaya.“Merepotkan sekali!” Perempuan pirang itu memijakkan satu kaki ke lantai kereta dan menarik kedua kaki Nara dengan kasar hingga sebagian tubuhnya keluar dari badan kereta.Tanpa terduga, Nara malah menjepit leher perempuan pirang itu dengan kedua kakinya yang disilangkan. Perempuan pirang itu memberontak, tapi Nara semakin kuat menjepitnya sampai pingsan. Nara berjalan mengendap-endap di balik kereta dan di antara jajaran kuda-kuda yang sedang istirahat.Langit malam cukup cerah dengan banyak
Sakka Nara melepaskan diri dari pelukan Draken dan mencoba berlari menerobos keluar tenda utama milik pria itu.“Ha Na—segel!” ucap Draken tegas dengan sepasang mata merahnya menyorot tajam ke punggung Nara.Gadis itu seketika menjadi kaku tak bisa bergerak. Seakan-akan ada tali tak kasatmata yang membelenggu sekujur tubuhnya. Nara tak bisa berbuat apa-apa. “Apa yang kau lakukan padaku?”Dia berdiri di tengah-tengah ruangan dengan posisi satu kaki melangkah di depan kaki lainnya. Sedangkan kedua tangan gadis itu di depan tubuh seakan-akan dia hendak meraih sesuatu dan berlari, tapi yang terjadi malah mematung di sana.Sepasang mata merah Draken berbinar pekat dengan tatapan dingin. Dari sepasang mata iblisnya, dia bisa melihat banyak jerat sihir yang membelit tubuh Nara. Sebuah simbol mantra dalam aksara Kalamantra lama yang terdiri dari huruf Ha dan Na tergambar di bawa
Kicauan beragam jenis burung bersahutan menggema hingga ke rumah-rumah terjauh dari hutan. Pendar cahaya mentari pagi yang menyelinap di antara celah- celah dahan dan pepohonan lebat menyorot tepat ke sepasang mata Rion yang memicing. Sepasang bulu mata lebatnya mengerjap- ngerjap dengan malas. Satu telinga pemuda itu bergerak samar karena terhibur oleh nyanyian burung- burung pagi yang terus bersahutan mengucapkan selamat pagi padanya dari jauh dan dekat.Rion menoleh ke sekitar. Dia mendengarkan suara-suara orang berbicara. Tapi, tak ada siapa pun di sana. Dia kembali memusatkan perhatian dan menajamkan pendengaran. Suara-suara itu jauh dan dekat. Dari bingkai jendela, Rion mendongak ke arah dahan pohon terdekat.Pemuda itu mundur hingga beberapa langkah menjauhi jendela. Dia kini sadar dari mana suara-suara itu berasal. “Burung-burung itu bisa berbicara?”Samar-samar di antara beraneka jenis kicauan burung dan kaokan kera-kera di hutan yang berbat
Maitreya masih dalam keadaan lemah. Tubuhnya belum pulih pasca mengalami perubahan yang sangat drastis. Warna merah pada rambut gadis itu memudar dan berganti menjadi putih keperakan. Kekuatannya juga berkurang. Semua itu akibat dari kutukan karena melanggar pantangan terbesar yang telah diwejangkan oleh maha gurunya, Otisa.Sebagai pemimpin klan Angin Selatan, sekaligus pewaris kekuatan Panglima Perang Kalamantra, Maitreya dilarang jatuh cinta. Dia juga menolak takdirnya untuk mengabdi bersama panglima perang yang lain. Tanpa Maitreya kehendaki, kemunculan Rion di tempat pengasingannya menimbulkan kembali getaran-getaran cinta di dalam dadanya, juga membuatnya melanggar sumpah.Untuk mendapatkan kembali kekuatannya secara utuh, Maitreya harus menempuh jalan meditasi dan mengambil sumpah setia bersama pemilik batu Kalamantra yang lain sebagai pewaris Panglima Perang Kalamantra. Akan tetapi, kondisi terbaru dari klan Angin di kaki Gunung Angin memaksanya untuk seg
Pagi- pagi sekali tenda- tenda sementara yang didirikan oleh pasukan naga merah yang dipimpin Draken di padang rumput dipugar dan dibersihkan. Seluruh anggota pasukannya telah bersiap untuk melakukan penyerangan ke permukiman klan Angin Selatan. Selama beberapa malam, mereka tinggal di kawasan yang berbatasan langsung dengan permukiman klan Angin untuk menakut- nakuti mereka agar pemimpinnya mau menyerah sehingga tak perlu ada penyerangan. Akan tetapi, para pengendali angin itu selalu bersikap keras kepala dan menolak tunduk.Beberapa anak buah Draken menilai pria itu terlalu lunak. Dia terlihat sedikit berbeda dari biasanya yang selalu menyerang secara langsung dan brutal. Kali ini, Draken seakan- akan hanya bermain- main dengan target sasarannya dan mengamati situasi yang ada.Beberapa hari yang lalu, dia masih sempat membawa sepasukan kecil untuk memburu sang pimpinan klan Angin yang menurut hasil penyelidikan anak buahnya, perempuan itu mengasingkan diri di gunung.
“Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan
Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.
“Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka
Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem
Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam
Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me
“Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!
Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L
“Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany