Hari sudah gelap ketika pintu kereta dibuka oleh seorang perempuan dengan rajah bergambar naga di tengkuknya. Rambut perempuan itu pirang panjang tapi dikuncir tinggi sehingga mendukung untuk menampakkan tato pada lehernya.
“Keluar!” bentaknya pada Nara.
Gadis samurai itu masih meringkuk di sudut kereta dengan posisi rebah ke lantai. Tubuhnya lemah tak berdaya.
“Merepotkan sekali!” Perempuan pirang itu memijakkan satu kaki ke lantai kereta dan menarik kedua kaki Nara dengan kasar hingga sebagian tubuhnya keluar dari badan kereta.
Tanpa terduga, Nara malah menjepit leher perempuan pirang itu dengan kedua kakinya yang disilangkan. Perempuan pirang itu memberontak, tapi Nara semakin kuat menjepitnya sampai pingsan. Nara berjalan mengendap-endap di balik kereta dan di antara jajaran kuda-kuda yang sedang istirahat.
Langit malam cukup cerah dengan banyak
Sakka Nara melepaskan diri dari pelukan Draken dan mencoba berlari menerobos keluar tenda utama milik pria itu.“Ha Na—segel!” ucap Draken tegas dengan sepasang mata merahnya menyorot tajam ke punggung Nara.Gadis itu seketika menjadi kaku tak bisa bergerak. Seakan-akan ada tali tak kasatmata yang membelenggu sekujur tubuhnya. Nara tak bisa berbuat apa-apa. “Apa yang kau lakukan padaku?”Dia berdiri di tengah-tengah ruangan dengan posisi satu kaki melangkah di depan kaki lainnya. Sedangkan kedua tangan gadis itu di depan tubuh seakan-akan dia hendak meraih sesuatu dan berlari, tapi yang terjadi malah mematung di sana.Sepasang mata merah Draken berbinar pekat dengan tatapan dingin. Dari sepasang mata iblisnya, dia bisa melihat banyak jerat sihir yang membelit tubuh Nara. Sebuah simbol mantra dalam aksara Kalamantra lama yang terdiri dari huruf Ha dan Na tergambar di bawa
Kicauan beragam jenis burung bersahutan menggema hingga ke rumah-rumah terjauh dari hutan. Pendar cahaya mentari pagi yang menyelinap di antara celah- celah dahan dan pepohonan lebat menyorot tepat ke sepasang mata Rion yang memicing. Sepasang bulu mata lebatnya mengerjap- ngerjap dengan malas. Satu telinga pemuda itu bergerak samar karena terhibur oleh nyanyian burung- burung pagi yang terus bersahutan mengucapkan selamat pagi padanya dari jauh dan dekat.Rion menoleh ke sekitar. Dia mendengarkan suara-suara orang berbicara. Tapi, tak ada siapa pun di sana. Dia kembali memusatkan perhatian dan menajamkan pendengaran. Suara-suara itu jauh dan dekat. Dari bingkai jendela, Rion mendongak ke arah dahan pohon terdekat.Pemuda itu mundur hingga beberapa langkah menjauhi jendela. Dia kini sadar dari mana suara-suara itu berasal. “Burung-burung itu bisa berbicara?”Samar-samar di antara beraneka jenis kicauan burung dan kaokan kera-kera di hutan yang berbat
Maitreya masih dalam keadaan lemah. Tubuhnya belum pulih pasca mengalami perubahan yang sangat drastis. Warna merah pada rambut gadis itu memudar dan berganti menjadi putih keperakan. Kekuatannya juga berkurang. Semua itu akibat dari kutukan karena melanggar pantangan terbesar yang telah diwejangkan oleh maha gurunya, Otisa.Sebagai pemimpin klan Angin Selatan, sekaligus pewaris kekuatan Panglima Perang Kalamantra, Maitreya dilarang jatuh cinta. Dia juga menolak takdirnya untuk mengabdi bersama panglima perang yang lain. Tanpa Maitreya kehendaki, kemunculan Rion di tempat pengasingannya menimbulkan kembali getaran-getaran cinta di dalam dadanya, juga membuatnya melanggar sumpah.Untuk mendapatkan kembali kekuatannya secara utuh, Maitreya harus menempuh jalan meditasi dan mengambil sumpah setia bersama pemilik batu Kalamantra yang lain sebagai pewaris Panglima Perang Kalamantra. Akan tetapi, kondisi terbaru dari klan Angin di kaki Gunung Angin memaksanya untuk seg
Pagi- pagi sekali tenda- tenda sementara yang didirikan oleh pasukan naga merah yang dipimpin Draken di padang rumput dipugar dan dibersihkan. Seluruh anggota pasukannya telah bersiap untuk melakukan penyerangan ke permukiman klan Angin Selatan. Selama beberapa malam, mereka tinggal di kawasan yang berbatasan langsung dengan permukiman klan Angin untuk menakut- nakuti mereka agar pemimpinnya mau menyerah sehingga tak perlu ada penyerangan. Akan tetapi, para pengendali angin itu selalu bersikap keras kepala dan menolak tunduk.Beberapa anak buah Draken menilai pria itu terlalu lunak. Dia terlihat sedikit berbeda dari biasanya yang selalu menyerang secara langsung dan brutal. Kali ini, Draken seakan- akan hanya bermain- main dengan target sasarannya dan mengamati situasi yang ada.Beberapa hari yang lalu, dia masih sempat membawa sepasukan kecil untuk memburu sang pimpinan klan Angin yang menurut hasil penyelidikan anak buahnya, perempuan itu mengasingkan diri di gunung.
Sepasukan besar bandit dan penyihir dari kelompok naga merah yang dipimpin oleh Draken tiba di batas kota tempat tinggal klan Angin Selatan di kaki Gunung Angin. Para pria dan pemuda klan Angin sudah siap bertempur dan mengadang mereka di batas kota. Jumlah dan kekuatan mereka memang tak sebanding dengan jumlah dan kekuatan pasukan naga merah yang dipimpin oleh Draken. Dengan mudah, pasukan naga merah menghabisi mereka dan mulai memasuki kota.Para perempuan dan anak-anak klan Angin tak kalah keras kepala. Mereka ikut berjuang dengan cara masing-masing. Mulai dari membuat jebakan sampai melempari pasukan dengan buah- buahan busuk dan kotoran.“Di mana Panglima Angin?” teriak Draken. “Tidakkah ini memalukan kalau sang pimpinan bersembunyi di balik ketiak warganya yang lemah? Cuih!”Ucapan Draken disambung dengan gelak tawa yang berderai- derai dari anak buahnya.Seorang pemuda yang usianya sekitar dua puluhan datang dengan berkuda.
Pasca melihat visualisasi dari elang pancasona dan tak bisa menemukan Karuna, Enzi berlari- lari menuruni Gunung Angin seperti orang gila. Dia ingin segera tiba di selatan Gunung Angin tempat permukiman klan Saifi Angin berada. Napasnya merengap dengan dada panas yang berdentam- dentam.Kaki pemuda itu mulai tak terkendali. Tubuhnya serasa melayang karena kelelahan. Ujung sepatu botnya tersangkut akar pepohonan yang membuat dia jatuh tersungkur. Dalam posisi telungkup, Enzi marah dan terus memukul- mukuli tanah dengan putus asa.“Sialan! Sialan!” Air matanya mulai berderai. Pemuda itu begitu putus asa dan menderita.Sebuah suara seakan berdengung di telinganya. “Percuma kau cepat-cepat datang ke sana. Mungkin mereka semua sudah mati! Kau lemah. Kau tak akan bisa menolong mereka. Kau bahkan tak bisa melindungi klanmu sendiri!”Enzi menangis tanpa suara. Air matanya bercam
Bagaspati Enzi dan Sakka Nara berkuda sehari penuh tanpa banyak berhenti menuju ke arah selatan meninggalkan Kota Angin yang menjadi lokasi permukiman klan Saifi Angin selatan. Karuna memisahkan diri untuk pergi ke Kota Banyu. Dia tak begitu suka dengan Sakka Nara. Pemuda itu berjanji akan menemui Enzi di perbatasan antara Kota Banyu dan Kota Bondowoso. Karuna akan mencoba untuk mencari Panglima Bandung Bondowoso di Kota Banyu.Enzi dan Nara tak banyak berbicara selama dalam perjalanan. Masing- masing sibuk dengan rencana- rencana dan pemikirannya tentang serangan dari pasukan Omkara di hampir setiap kota yang mereka temui maupun kondisi Maitreya yang mereka tinggalkan.Tiba-tiba, Nara menarik kekang kudanya hingga berhenti dan membiarkan Enzi melaju. Gadis itu menatap nanar punggung Enzi dengan rambut putih susu kebiruannya yang tergerai dan mantel hitamnya yang berkibar diterpa angin. Nara masih bisa mengingat jelas bagaimana tatapan Enzi
Di sebuah ruangan luas dengan atap kubah yang menjulang tinggi, sudah berkumpul sejumlah laki- laki dan perempuan yang mengenakan berbagai macam bentuk dan warna topeng. Topeng- topeng itu dibedakan sesuai dengan ciri khas suku dan klan masing-masing. Ruangan besar itu remang- remang bahkan cenderung gelap karena penerangan sengaja diredupkan begitu Raja Ragnart datang.Satu- satunya sumber pencahayaan datang dari pantulan cahaya bulan dan bintang di langit yang menembus masuk melalui puncak kubah yang terbuat dari kaca. Pilar- pilar besar dan lebar yang menjadi penyangga atap tersebar di penjuru ruangan sebanyak enam tegakan. Pada pusat ruangan terdapat sebuah undakan yang tidak terlalu tinggi. Di puncak undakan terletak sebuah kursi singgasana berlengan dengan sandaran tinggi yang terbuat dari beledu dan bersepuh emas.Kursi singgasana itu diduduki oleh seseorang yang tubuh dan wajahnya tersembunyi di balik sisi gelap ruangan. Tak jauh dari kursi singgasana tersebut,