Pasca melihat visualisasi dari elang pancasona dan tak bisa menemukan Karuna, Enzi berlari- lari menuruni Gunung Angin seperti orang gila. Dia ingin segera tiba di selatan Gunung Angin tempat permukiman klan Saifi Angin berada. Napasnya merengap dengan dada panas yang berdentam- dentam.
Kaki pemuda itu mulai tak terkendali. Tubuhnya serasa melayang karena kelelahan. Ujung sepatu botnya tersangkut akar pepohonan yang membuat dia jatuh tersungkur. Dalam posisi telungkup, Enzi marah dan terus memukul- mukuli tanah dengan putus asa.
“Sialan! Sialan!” Air matanya mulai berderai. Pemuda itu begitu putus asa dan menderita.
Sebuah suara seakan berdengung di telinganya. “Percuma kau cepat-cepat datang ke sana. Mungkin mereka semua sudah mati! Kau lemah. Kau tak akan bisa menolong mereka. Kau bahkan tak bisa melindungi klanmu sendiri!”
Enzi menangis tanpa suara. Air matanya bercam
Bagaspati Enzi dan Sakka Nara berkuda sehari penuh tanpa banyak berhenti menuju ke arah selatan meninggalkan Kota Angin yang menjadi lokasi permukiman klan Saifi Angin selatan. Karuna memisahkan diri untuk pergi ke Kota Banyu. Dia tak begitu suka dengan Sakka Nara. Pemuda itu berjanji akan menemui Enzi di perbatasan antara Kota Banyu dan Kota Bondowoso. Karuna akan mencoba untuk mencari Panglima Bandung Bondowoso di Kota Banyu.Enzi dan Nara tak banyak berbicara selama dalam perjalanan. Masing- masing sibuk dengan rencana- rencana dan pemikirannya tentang serangan dari pasukan Omkara di hampir setiap kota yang mereka temui maupun kondisi Maitreya yang mereka tinggalkan.Tiba-tiba, Nara menarik kekang kudanya hingga berhenti dan membiarkan Enzi melaju. Gadis itu menatap nanar punggung Enzi dengan rambut putih susu kebiruannya yang tergerai dan mantel hitamnya yang berkibar diterpa angin. Nara masih bisa mengingat jelas bagaimana tatapan Enzi
Di sebuah ruangan luas dengan atap kubah yang menjulang tinggi, sudah berkumpul sejumlah laki- laki dan perempuan yang mengenakan berbagai macam bentuk dan warna topeng. Topeng- topeng itu dibedakan sesuai dengan ciri khas suku dan klan masing-masing. Ruangan besar itu remang- remang bahkan cenderung gelap karena penerangan sengaja diredupkan begitu Raja Ragnart datang.Satu- satunya sumber pencahayaan datang dari pantulan cahaya bulan dan bintang di langit yang menembus masuk melalui puncak kubah yang terbuat dari kaca. Pilar- pilar besar dan lebar yang menjadi penyangga atap tersebar di penjuru ruangan sebanyak enam tegakan. Pada pusat ruangan terdapat sebuah undakan yang tidak terlalu tinggi. Di puncak undakan terletak sebuah kursi singgasana berlengan dengan sandaran tinggi yang terbuat dari beledu dan bersepuh emas.Kursi singgasana itu diduduki oleh seseorang yang tubuh dan wajahnya tersembunyi di balik sisi gelap ruangan. Tak jauh dari kursi singgasana tersebut,
Pagi masih cukup gelap saat Nara tersentak bangun dari tidur lelapnya. Di dada gadis itu terselimut mantel berat milik Rion. Pedang katana dan wakizashinya berada aman di ranjang di samping tempatnya terlelap. Lamat- lamat, gadis itu bisa mendengar kicauan sejumlah burung dan ringkikan kuda dari depan rumah. Dia melompat turun dari ranjang dan berlari setelah menyambar pedang katananya.“Singa!” ujarnya.Di pelataran yang gelap dengan latar langit biru pekat, Rion sedang mengusap surai singa jantannya. Tak jauh dari singa itu ada dua kuda mereka. Rion mengambil perbekalan saat Nara berdiri di undakan teras dengan napas tersengal- sengal.“Kau ingin meninggalkanku, Panglima Burung?”Rion menoleh ke arah Nara tanpa menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya. “Jangan memanggilku demikian. Aku bahkan tak tahu siapa diriku. Aku harus melanjutkan perjalananku. Karuna menunggu di kota berikutnya.”“Bagaimana dengank
Tanpa semua orang sadari, ikatan pada tangan Rion yang sengaja dibuat kendur oleh Aoi terlepas dengan mudah. Para samurai yang ada di sana segera mengepung Aoi. Bersama- sama dengan Sabrang Wasa, mereka menyerang Aoi yang dianggap telah berkhianat pada perintah Ron sang direktur Selter Agung. Di teras rumah pertanian, Keiko dan Nara beradu senjata dan kemampuan berpedang dengan sengit.Rion mengayun- ayunkan tubuhnya yang tergantung di pohon agar bisa berbalik dan meraih kakinya yang terikat. Dia mengangkat kepala dan tangan untuk meraih tambang yang mengikat kakinya di pohon. Dia genggam simpul tali di kaki dan mulai memanjat sampai berhasil meraih batang pohon. Dia duduk di batang pohon itu dengan susah payah dan mulai melepas simpulnya. Setelahnya, Rion bersiul memanggil singanya.Kemunculan singa jantan besar itu membuat panik semua orang yang sedang bertarung di sana. Rion melompat ke punggung singa dan berlari mengejar kuda yang menggila untuk mengambil dua bilah
Tak tahan melihat sikap Nara yang kacau, Aoi menarik lengan gadis itu dan menamparnya. “Sakka Nara! Kuasai dirimu!”Nara merasakan denyutan dan rasa panas di pipinya. Dia menatap Aoi dengan muak dan perasaan jijik. “Biarkan aku mengejar Rion!”Sekali lagi, Aoi menarik pundak gadis itu dan mengancam dengan keras. “Bunuh aku dulu sebelum kau memburunya!”Nara tak segan- segan maladeni gertakan Aoi. Dia sedang kesal dan membutuhkan pelampiasan. Gadis itu menyabetkan pedangnya begitu saja hingga menggores pipi samurai muda itu. Tanpa rasa penyesalan atau bersalah, Nara mundur dan meninggalkan Aoi yang menahan luka di pipi.Di luar dugaan gadis itu, Aoi malah memburu dan memeluk pinggang Nara dengan sangat kuat dari belakang dengan satu tangan kanannya yang tersisa.“Aku tak ingin kehilangan kau lagi dan lagi!”“Lepaskan aku, Aoi! Bukankah kau ingin memburu dan membunuhku?” Nara membeku,
Kabut sedikit tersibak. Sekelompok laki- laki dan perempuan berkuda dan bersenjatakan panah mengelilingi Nara dan Aoi. Salah seorang dari kelompok koboi itu membidikkan anak panah ke arah Nara yang terjatuh ke tanah sedangkan kudanya sudah berlari entah ke mana. Aoi mencabut pedangnya dan empat koboi yang lain turut membidikkan panah pada samurai muda itu.Kabut semakin tersingkap. Di belakang kelompok berkuda itu terpampang pemandangan lautan kapur putih yang membentang. Warna putihnya terlihat lebih kelabu dalam selimut kabut tipis yang masih menggantung. Jauh di balik perbukitan yang masih menghijau, terlihat beberapa cerobong asap beton yang tinggi menjulang.“Inikah perbukitan kapur yang Aoi maksudkan?” batin Nara tercengang.Aoi menjatuhkan pedang dengan terpaksa yang segera diambil oleh salah satu anggota rombongan berkuda itu. Mereka juga memaksa Nara untuk menyerahkan pedangnya di bawah ancaman bidikan anak panah.Nara memperhatikan d
Nara mengerjap- ngerjap lemah. Saat mata sudah terbuka dan kesadaran gadis itu sepenuhnya kembali yang pertama dilihat adalah atap bangunan berwarna kelabu terbuat dari seng dengan beberapa karat di bagian- bagian tertentu. Sinar matahari menyorot masuk melalui celah- celah dinding yang juga terbuat dari seng dengan beberapa bagian berlubang dimakan karat.Keringat mulai menderas di tubuh gadis itu. Udara di ruangan tempatnya berbaring begitu panas dan pengap. Entah kapan seseorang memindahkannya ke sebuah kamar sederhana dengan satu tempat tidur. Tak banyak perabotan di sana, hanya ada lemari kayu tanpa pintu, sebuah meja polos dan satu kursi di kolongnya menghadap ke jendela. Nara bisa melihat puncak salah satu cerobong asap dari jendela itu. Dia yakin ruangan tempatnya tidur saat ini minimal berada di lantai dua.Kerongkongan Nara terasa begitu haus. Bibirnya juga pucat dan kering. Dia ingin bangkit, tapi kepalanya terasa begitu berat dan berdenyar. Tak ada siapa pu
Aoi duduk di tepi ranjang tanpa pakaian. Rambut hitam panjangnya terurai hingga ke dada dan paha. Tangan kanan pemuda itu mengusap-usap lengan kiri atasnya yang buntung. Bekas luka tebasan pedang dari lawannya masih membekas, seumur hidup tak akan bisa hilang, terlebih luka batin yang harus diterimanya karena kehilangan satu lengan.Di belakangnya, Nara meringkuk di balik selimut memunggungi Aoi. Bahu putih gadis itu sedikit tersibak saat rambutnya terjatuh ke sprei yang kusut. Dia menggigit ibu jari sambil meringkuk lebih dalam dengan mata terpejam. “Apa aku sudah berbuat kesalahan?” batinnya meronta.“Di Jepang terjadi peperangan sengit yang berdarah-darah, pun di negeri-negeri lainnya. Aku bahkan tidak ingat pernah memiliki kehidupan yang layak dan bahagia di sana. Dari ingatan terjauhku yang masih tertanam, kami sudah berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain hanya untuk bertahan hidup sehari lebih lama. Ayahku adalah seorang samurai. Ibuk