Pagi masih cukup gelap saat Nara tersentak bangun dari tidur lelapnya. Di dada gadis itu terselimut mantel berat milik Rion. Pedang katana dan wakizashinya berada aman di ranjang di samping tempatnya terlelap. Lamat- lamat, gadis itu bisa mendengar kicauan sejumlah burung dan ringkikan kuda dari depan rumah. Dia melompat turun dari ranjang dan berlari setelah menyambar pedang katananya.
“Singa!” ujarnya.
Di pelataran yang gelap dengan latar langit biru pekat, Rion sedang mengusap surai singa jantannya. Tak jauh dari singa itu ada dua kuda mereka. Rion mengambil perbekalan saat Nara berdiri di undakan teras dengan napas tersengal- sengal.
“Kau ingin meninggalkanku, Panglima Burung?”
Rion menoleh ke arah Nara tanpa menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya. “Jangan memanggilku demikian. Aku bahkan tak tahu siapa diriku. Aku harus melanjutkan perjalananku. Karuna menunggu di kota berikutnya.”
“Bagaimana dengank
Tanpa semua orang sadari, ikatan pada tangan Rion yang sengaja dibuat kendur oleh Aoi terlepas dengan mudah. Para samurai yang ada di sana segera mengepung Aoi. Bersama- sama dengan Sabrang Wasa, mereka menyerang Aoi yang dianggap telah berkhianat pada perintah Ron sang direktur Selter Agung. Di teras rumah pertanian, Keiko dan Nara beradu senjata dan kemampuan berpedang dengan sengit.Rion mengayun- ayunkan tubuhnya yang tergantung di pohon agar bisa berbalik dan meraih kakinya yang terikat. Dia mengangkat kepala dan tangan untuk meraih tambang yang mengikat kakinya di pohon. Dia genggam simpul tali di kaki dan mulai memanjat sampai berhasil meraih batang pohon. Dia duduk di batang pohon itu dengan susah payah dan mulai melepas simpulnya. Setelahnya, Rion bersiul memanggil singanya.Kemunculan singa jantan besar itu membuat panik semua orang yang sedang bertarung di sana. Rion melompat ke punggung singa dan berlari mengejar kuda yang menggila untuk mengambil dua bilah
Tak tahan melihat sikap Nara yang kacau, Aoi menarik lengan gadis itu dan menamparnya. “Sakka Nara! Kuasai dirimu!”Nara merasakan denyutan dan rasa panas di pipinya. Dia menatap Aoi dengan muak dan perasaan jijik. “Biarkan aku mengejar Rion!”Sekali lagi, Aoi menarik pundak gadis itu dan mengancam dengan keras. “Bunuh aku dulu sebelum kau memburunya!”Nara tak segan- segan maladeni gertakan Aoi. Dia sedang kesal dan membutuhkan pelampiasan. Gadis itu menyabetkan pedangnya begitu saja hingga menggores pipi samurai muda itu. Tanpa rasa penyesalan atau bersalah, Nara mundur dan meninggalkan Aoi yang menahan luka di pipi.Di luar dugaan gadis itu, Aoi malah memburu dan memeluk pinggang Nara dengan sangat kuat dari belakang dengan satu tangan kanannya yang tersisa.“Aku tak ingin kehilangan kau lagi dan lagi!”“Lepaskan aku, Aoi! Bukankah kau ingin memburu dan membunuhku?” Nara membeku,
Kabut sedikit tersibak. Sekelompok laki- laki dan perempuan berkuda dan bersenjatakan panah mengelilingi Nara dan Aoi. Salah seorang dari kelompok koboi itu membidikkan anak panah ke arah Nara yang terjatuh ke tanah sedangkan kudanya sudah berlari entah ke mana. Aoi mencabut pedangnya dan empat koboi yang lain turut membidikkan panah pada samurai muda itu.Kabut semakin tersingkap. Di belakang kelompok berkuda itu terpampang pemandangan lautan kapur putih yang membentang. Warna putihnya terlihat lebih kelabu dalam selimut kabut tipis yang masih menggantung. Jauh di balik perbukitan yang masih menghijau, terlihat beberapa cerobong asap beton yang tinggi menjulang.“Inikah perbukitan kapur yang Aoi maksudkan?” batin Nara tercengang.Aoi menjatuhkan pedang dengan terpaksa yang segera diambil oleh salah satu anggota rombongan berkuda itu. Mereka juga memaksa Nara untuk menyerahkan pedangnya di bawah ancaman bidikan anak panah.Nara memperhatikan d
Nara mengerjap- ngerjap lemah. Saat mata sudah terbuka dan kesadaran gadis itu sepenuhnya kembali yang pertama dilihat adalah atap bangunan berwarna kelabu terbuat dari seng dengan beberapa karat di bagian- bagian tertentu. Sinar matahari menyorot masuk melalui celah- celah dinding yang juga terbuat dari seng dengan beberapa bagian berlubang dimakan karat.Keringat mulai menderas di tubuh gadis itu. Udara di ruangan tempatnya berbaring begitu panas dan pengap. Entah kapan seseorang memindahkannya ke sebuah kamar sederhana dengan satu tempat tidur. Tak banyak perabotan di sana, hanya ada lemari kayu tanpa pintu, sebuah meja polos dan satu kursi di kolongnya menghadap ke jendela. Nara bisa melihat puncak salah satu cerobong asap dari jendela itu. Dia yakin ruangan tempatnya tidur saat ini minimal berada di lantai dua.Kerongkongan Nara terasa begitu haus. Bibirnya juga pucat dan kering. Dia ingin bangkit, tapi kepalanya terasa begitu berat dan berdenyar. Tak ada siapa pu
Aoi duduk di tepi ranjang tanpa pakaian. Rambut hitam panjangnya terurai hingga ke dada dan paha. Tangan kanan pemuda itu mengusap-usap lengan kiri atasnya yang buntung. Bekas luka tebasan pedang dari lawannya masih membekas, seumur hidup tak akan bisa hilang, terlebih luka batin yang harus diterimanya karena kehilangan satu lengan.Di belakangnya, Nara meringkuk di balik selimut memunggungi Aoi. Bahu putih gadis itu sedikit tersibak saat rambutnya terjatuh ke sprei yang kusut. Dia menggigit ibu jari sambil meringkuk lebih dalam dengan mata terpejam. “Apa aku sudah berbuat kesalahan?” batinnya meronta.“Di Jepang terjadi peperangan sengit yang berdarah-darah, pun di negeri-negeri lainnya. Aku bahkan tidak ingat pernah memiliki kehidupan yang layak dan bahagia di sana. Dari ingatan terjauhku yang masih tertanam, kami sudah berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain hanya untuk bertahan hidup sehari lebih lama. Ayahku adalah seorang samurai. Ibuk
“Apa sebenarnya yang kau rencanakan, Ron?” Ausiyah berlari dengan tangan dan kaki yang terbelenggu rantai menuju pintu jeruji yang tertutup.Di luar pintu, Ron—Direktur Selter Agung—tengah mengirimkan makanan untuk perempuan itu. “Simpan energimu untuk hal yang lebih besar, Ausy.”Setelan putih yang Ron kenakan meyakinkan Ausiyah bahwa pria itu yang memukulnya dari belakang menggunakan tongkat sampai pingsan belum lama ini.“Kenapa? Kenapa kau melakukan semua ini?” Perempuan itu memukul-mukulkan gelang besinya ke pintu jeruji hingga terdengar gema logam yang nyaring ke penjuru ruangan.Ron berkacak pinggang sambil menyugar rambutnya. “Ah, kenapa sulit sekali untuk menjinakkanmu, Ausy!” Ron berteriak lantang di depan pintu jeruji tempat Ausiyah dikurung dan menendangnya dengan sangat kasar. “Pikirkan nasibmu sendiri! Jika kau masih keras kepala seperti ini, terpaksa kau yang akan menjadi san
Nara duduk termenung sambil memeluk lutut di sebuah batu karst datar dan besar di bawah pohon jati. Pemandangan di bawah sana adalah atap-atap rumah dan sisa-sisa bangunan permukiman yang terbengkalai. Sebagian bangunan itu digunakan kembali oleh anggota klan Sakheti sebagai tempat tinggal dan sisanya dibiarkan kosong dengan banyak tanaman liar menyelimutinya. Di kejauhan, Nara bisa melihat sisa-sisa papan reklame makanan cepat saji dengan gambar seorang pria tua berkacamata yang menggigit potongan paha ayam.Gadis itu tak mampu membayangkan bagaimana kehidupan manusia pada zaman itu. Nara juga tak mampu memikirkan, kenapa mereka tak bisa membuat hal yang sama atau bahkan yang lebih maju dari sebelumnya? Bukankah mareka sama-sama manusia?Gadis itu menggeleng lemah. Dia tahu jawabannya, tapi enggan untuk mengakui. Manusia saat ini disibukkan dengan upaya untuk mempertahankan kehidupan dari sisa-sisa kerusakan yang terjadi pasca kejatuhan jentera. Kemajuan teknologi buk
Sudah dua malam, Nara dan Aoi menginap di bekas pabrik semen yang menjadi permukiman keluarga ibunya dari klan Sakheti. Udara malam itu begitu dingin, sangat berbeda dari malam- malam sebelumnya yang terasa panas dan gerah. Angin berembus lebih kencang dari biasanya.Sejak sore, gadis itu merasa gelisah tanpa sebab yang jelas. Rupanya kegelisahan itu tak hanya dirasakan oleh Nara saja. Sudah berjam- jam dia berusaha tidur, tapi matanya tak kunjung terpejam. Saat dia keluar dari kamar dan mencoba untuk berjalan- jalan di halaman, ternyata sejumlah pemuda dan pria dewasa dari klan Sakheti terlihat sedang berjaga malam. Jumlah mereka terlihat lebih banyak dari malam sebelumnya. Mereka berjalan dan berkeliling bergantian untuk memastikan semuanya aman, seakan- akan ada sesuatu yang akan mengganggu mereka.Suasana malam itu terlalu sunyi. Langit kelam tanpa bulan maupun bintang. Suara- suara binatang malam pun tak terdengar. Pada saat seperti itu, Nara merasakan kerinduan y
“Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan
Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.
“Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka
Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem
Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam
Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me
“Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!
Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L
“Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany