Sakka Nara melepaskan diri dari pelukan Draken dan mencoba berlari menerobos keluar tenda utama milik pria itu.
“Ha Na—segel!” ucap Draken tegas dengan sepasang mata merahnya menyorot tajam ke punggung Nara.
Gadis itu seketika menjadi kaku tak bisa bergerak. Seakan-akan ada tali tak kasatmata yang membelenggu sekujur tubuhnya. Nara tak bisa berbuat apa-apa. “Apa yang kau lakukan padaku?”
Dia berdiri di tengah-tengah ruangan dengan posisi satu kaki melangkah di depan kaki lainnya. Sedangkan kedua tangan gadis itu di depan tubuh seakan-akan dia hendak meraih sesuatu dan berlari, tapi yang terjadi malah mematung di sana.
Sepasang mata merah Draken berbinar pekat dengan tatapan dingin. Dari sepasang mata iblisnya, dia bisa melihat banyak jerat sihir yang membelit tubuh Nara. Sebuah simbol mantra dalam aksara Kalamantra lama yang terdiri dari huruf Ha dan Na tergambar di bawa
Kicauan beragam jenis burung bersahutan menggema hingga ke rumah-rumah terjauh dari hutan. Pendar cahaya mentari pagi yang menyelinap di antara celah- celah dahan dan pepohonan lebat menyorot tepat ke sepasang mata Rion yang memicing. Sepasang bulu mata lebatnya mengerjap- ngerjap dengan malas. Satu telinga pemuda itu bergerak samar karena terhibur oleh nyanyian burung- burung pagi yang terus bersahutan mengucapkan selamat pagi padanya dari jauh dan dekat.Rion menoleh ke sekitar. Dia mendengarkan suara-suara orang berbicara. Tapi, tak ada siapa pun di sana. Dia kembali memusatkan perhatian dan menajamkan pendengaran. Suara-suara itu jauh dan dekat. Dari bingkai jendela, Rion mendongak ke arah dahan pohon terdekat.Pemuda itu mundur hingga beberapa langkah menjauhi jendela. Dia kini sadar dari mana suara-suara itu berasal. “Burung-burung itu bisa berbicara?”Samar-samar di antara beraneka jenis kicauan burung dan kaokan kera-kera di hutan yang berbat
Maitreya masih dalam keadaan lemah. Tubuhnya belum pulih pasca mengalami perubahan yang sangat drastis. Warna merah pada rambut gadis itu memudar dan berganti menjadi putih keperakan. Kekuatannya juga berkurang. Semua itu akibat dari kutukan karena melanggar pantangan terbesar yang telah diwejangkan oleh maha gurunya, Otisa.Sebagai pemimpin klan Angin Selatan, sekaligus pewaris kekuatan Panglima Perang Kalamantra, Maitreya dilarang jatuh cinta. Dia juga menolak takdirnya untuk mengabdi bersama panglima perang yang lain. Tanpa Maitreya kehendaki, kemunculan Rion di tempat pengasingannya menimbulkan kembali getaran-getaran cinta di dalam dadanya, juga membuatnya melanggar sumpah.Untuk mendapatkan kembali kekuatannya secara utuh, Maitreya harus menempuh jalan meditasi dan mengambil sumpah setia bersama pemilik batu Kalamantra yang lain sebagai pewaris Panglima Perang Kalamantra. Akan tetapi, kondisi terbaru dari klan Angin di kaki Gunung Angin memaksanya untuk seg
Pagi- pagi sekali tenda- tenda sementara yang didirikan oleh pasukan naga merah yang dipimpin Draken di padang rumput dipugar dan dibersihkan. Seluruh anggota pasukannya telah bersiap untuk melakukan penyerangan ke permukiman klan Angin Selatan. Selama beberapa malam, mereka tinggal di kawasan yang berbatasan langsung dengan permukiman klan Angin untuk menakut- nakuti mereka agar pemimpinnya mau menyerah sehingga tak perlu ada penyerangan. Akan tetapi, para pengendali angin itu selalu bersikap keras kepala dan menolak tunduk.Beberapa anak buah Draken menilai pria itu terlalu lunak. Dia terlihat sedikit berbeda dari biasanya yang selalu menyerang secara langsung dan brutal. Kali ini, Draken seakan- akan hanya bermain- main dengan target sasarannya dan mengamati situasi yang ada.Beberapa hari yang lalu, dia masih sempat membawa sepasukan kecil untuk memburu sang pimpinan klan Angin yang menurut hasil penyelidikan anak buahnya, perempuan itu mengasingkan diri di gunung.
Sepasukan besar bandit dan penyihir dari kelompok naga merah yang dipimpin oleh Draken tiba di batas kota tempat tinggal klan Angin Selatan di kaki Gunung Angin. Para pria dan pemuda klan Angin sudah siap bertempur dan mengadang mereka di batas kota. Jumlah dan kekuatan mereka memang tak sebanding dengan jumlah dan kekuatan pasukan naga merah yang dipimpin oleh Draken. Dengan mudah, pasukan naga merah menghabisi mereka dan mulai memasuki kota.Para perempuan dan anak-anak klan Angin tak kalah keras kepala. Mereka ikut berjuang dengan cara masing-masing. Mulai dari membuat jebakan sampai melempari pasukan dengan buah- buahan busuk dan kotoran.“Di mana Panglima Angin?” teriak Draken. “Tidakkah ini memalukan kalau sang pimpinan bersembunyi di balik ketiak warganya yang lemah? Cuih!”Ucapan Draken disambung dengan gelak tawa yang berderai- derai dari anak buahnya.Seorang pemuda yang usianya sekitar dua puluhan datang dengan berkuda.
Pasca melihat visualisasi dari elang pancasona dan tak bisa menemukan Karuna, Enzi berlari- lari menuruni Gunung Angin seperti orang gila. Dia ingin segera tiba di selatan Gunung Angin tempat permukiman klan Saifi Angin berada. Napasnya merengap dengan dada panas yang berdentam- dentam.Kaki pemuda itu mulai tak terkendali. Tubuhnya serasa melayang karena kelelahan. Ujung sepatu botnya tersangkut akar pepohonan yang membuat dia jatuh tersungkur. Dalam posisi telungkup, Enzi marah dan terus memukul- mukuli tanah dengan putus asa.“Sialan! Sialan!” Air matanya mulai berderai. Pemuda itu begitu putus asa dan menderita.Sebuah suara seakan berdengung di telinganya. “Percuma kau cepat-cepat datang ke sana. Mungkin mereka semua sudah mati! Kau lemah. Kau tak akan bisa menolong mereka. Kau bahkan tak bisa melindungi klanmu sendiri!”Enzi menangis tanpa suara. Air matanya bercam
Bagaspati Enzi dan Sakka Nara berkuda sehari penuh tanpa banyak berhenti menuju ke arah selatan meninggalkan Kota Angin yang menjadi lokasi permukiman klan Saifi Angin selatan. Karuna memisahkan diri untuk pergi ke Kota Banyu. Dia tak begitu suka dengan Sakka Nara. Pemuda itu berjanji akan menemui Enzi di perbatasan antara Kota Banyu dan Kota Bondowoso. Karuna akan mencoba untuk mencari Panglima Bandung Bondowoso di Kota Banyu.Enzi dan Nara tak banyak berbicara selama dalam perjalanan. Masing- masing sibuk dengan rencana- rencana dan pemikirannya tentang serangan dari pasukan Omkara di hampir setiap kota yang mereka temui maupun kondisi Maitreya yang mereka tinggalkan.Tiba-tiba, Nara menarik kekang kudanya hingga berhenti dan membiarkan Enzi melaju. Gadis itu menatap nanar punggung Enzi dengan rambut putih susu kebiruannya yang tergerai dan mantel hitamnya yang berkibar diterpa angin. Nara masih bisa mengingat jelas bagaimana tatapan Enzi
Di sebuah ruangan luas dengan atap kubah yang menjulang tinggi, sudah berkumpul sejumlah laki- laki dan perempuan yang mengenakan berbagai macam bentuk dan warna topeng. Topeng- topeng itu dibedakan sesuai dengan ciri khas suku dan klan masing-masing. Ruangan besar itu remang- remang bahkan cenderung gelap karena penerangan sengaja diredupkan begitu Raja Ragnart datang.Satu- satunya sumber pencahayaan datang dari pantulan cahaya bulan dan bintang di langit yang menembus masuk melalui puncak kubah yang terbuat dari kaca. Pilar- pilar besar dan lebar yang menjadi penyangga atap tersebar di penjuru ruangan sebanyak enam tegakan. Pada pusat ruangan terdapat sebuah undakan yang tidak terlalu tinggi. Di puncak undakan terletak sebuah kursi singgasana berlengan dengan sandaran tinggi yang terbuat dari beledu dan bersepuh emas.Kursi singgasana itu diduduki oleh seseorang yang tubuh dan wajahnya tersembunyi di balik sisi gelap ruangan. Tak jauh dari kursi singgasana tersebut,
Pagi masih cukup gelap saat Nara tersentak bangun dari tidur lelapnya. Di dada gadis itu terselimut mantel berat milik Rion. Pedang katana dan wakizashinya berada aman di ranjang di samping tempatnya terlelap. Lamat- lamat, gadis itu bisa mendengar kicauan sejumlah burung dan ringkikan kuda dari depan rumah. Dia melompat turun dari ranjang dan berlari setelah menyambar pedang katananya.“Singa!” ujarnya.Di pelataran yang gelap dengan latar langit biru pekat, Rion sedang mengusap surai singa jantannya. Tak jauh dari singa itu ada dua kuda mereka. Rion mengambil perbekalan saat Nara berdiri di undakan teras dengan napas tersengal- sengal.“Kau ingin meninggalkanku, Panglima Burung?”Rion menoleh ke arah Nara tanpa menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya. “Jangan memanggilku demikian. Aku bahkan tak tahu siapa diriku. Aku harus melanjutkan perjalananku. Karuna menunggu di kota berikutnya.”“Bagaimana dengank
“Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan
Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.
“Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka
Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem
Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam
Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me
“Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!
Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L
“Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany