Beranda / Pendekar / Panglima Kalamantra / 13: Karuna Si Rambut Emas

Share

13: Karuna Si Rambut Emas

Penulis: Roe_Roe
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-06 14:06:58

Jauh di luar Kota Lamma terdapat sebuah padepokan tua yang terlihat lama tak terurus. Rumput dan ilalang tumbuh tinggi menyelimuti di segala sisi. Padepokan itu dulunya adalah sebuah bangunan sekolah yang sudah tak digunakan. Sisa-sisa palang nama sekolah masih tertancap di depan gapura. Atapnya yang rusak sebagian sudah ditutup dengan welit dan dindingnya yang jebol sudah ditambal dengan papan kayu beraneka bentuk dan ukuran.

Sejumlah anak-anak berusia tujuh sampai dua belas tahun terlihat sibuk berlarian, bermain sepak bola, dan berlatih pencak silat di sana. Mereka adalah anak-anak yatim korban perang dan perbudakan antar klan.

Seorang pemuda berpakaian jembel baru tiba di sana dan melintasi gapura yang terbuat dari bambu setinggi pinggang pria dewasa sambil membawa sekantung roti. Anak-anak lebih muda yang sedang bermain sepak bola yang terbuat dari rotan itu segera berlari dan menghambur ke arah si pemuda.

“Karuna, apa yang kau bawa itu?” teriak anak-anak yang semakin banyak berd
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Panglima Kalamantra    14: Niat yang Tak Tulus

    Karuna berdiri di depan pintu sambil mengawasi anak-anak masuk ke ruangan satu persatu. Dia bantu naikkan anak yang lebih kecil dengan mengangkatnya menggunakan satu tangan. Tiba-tiba gerakannya terhenti dan berdiri tegak. “Berhentilah memaksaku. Aku tak ada urusan dengan kalian!” ujarnya sambil menginjakkan satu kaki di undakan dan bersiap masuk.Rion berdiri tak jauh di belakangnya.“Kau egois, Panglima Karang! Kau ingin bunuh diri dan meninggalkan anak-anak ini sendirian di sini?” ungkap Rion berapi-api.Pemuda berpakaian jembel itu urung masuk. Dia turunkan kaki kembali dan berbalik menatap Rion. “Aku bukan Panglima Karang. Aku hanya seorang pemuda miskin yang sudah lelah dengan kehidupan ini.” Dia berbalik dan menaiki undakan.“Penolakan dan penyangkalan tak akan mengubahmu menjadi orang lain!” ujar Rion.Tangan Karuna memegangi erat pintu papan yang hendak dia tutup. Sepasang matanya menyipit menembusi Rion yang berdiri tegang di halaman.“Pemuda yang naif!” desis Karuna. “Jika

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-06
  • Panglima Kalamantra    15: Samurai Berhati Biru

    Darda memperhatikan keponakannya yang sedari tadi terus mengawasi jalan di depan penginapan dari balik jendela. Dia mencoba menarik perhatian Anila dengan memukul-mukulkan alu ke mangkuk keramik yang digunakan untuk menumbuk obat hingga cukup berisik, tapi gadis itu seakan tak mendengarkan apalagi terganggu. “Ke mana pikiranmu itu pergi, Anila?” Darda terus sibuk menumbuk ramuan obatnya. “Kenapa dia belum juga kembali, Paman? Apa sesuatu terjadi padanya?” Anila menggigit bibir sambil mengusap-usap lengan kirinya yang diperban. Darda akhirnya mengalah. Dia singkirkan tumbukan obatnya dan berjalan mendekati gadis itu. Pria paruh baya itu melepas ikatan setangan pada kepala dan menyeduh dua cangkir teh hijau. Dia sodorkan satu pada Anila yang diterima masih dengan pandangan menatap jalan setapak di depan penginapan mereka. “Sudah kukatakan, bukan? Jangan menaruh hati pada para pujangga. Karena mereka akan mel

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-06
  • Panglima Kalamantra    16: Kecupan Perpisahan

    Dada Rion berdentam-dentam. Rasa panas menjalar dari bibir yang dikecup Nara ke sekujur tubuhnya. Nara mundur tanpa berkata-kata dan berjalan meninggalkan Rion dengan kepala menunduk menahan malu.“Nara!” Rion mencoba memburu gadis itu.“Berhenti di sana!” Nara berdiri membelakangi Rion. “Itu hanya ucapan terima kasih, tak lebih. Mungkin kita harus berpisah di sini. Aku harus melanjutkan perjalanan untuk menyelesaikan misiku.” Tanpa menoleh lagi, gadis itu berlari meninggalkan Rion dan menghilang ditelan kegelapan malam.“Bagaimana dengan aku sendiri? Tujuanku sampai ke sini untuk menemukan dan membawa panglima karang?” tangan pemuda itu terkepal di samping tubuhnya.***“Aaarrggh!” pekik Keiko sambil memukulkan tinju ke meja hingga urat-urat di lehernya saling bertonjolan. Wajah putih perempuan itu menjadi merah padam. Dia dorong sekuat tenaga meja yang ada di depannya hingga terjungkal bersama seluruh isinya. Sejumlah samurai yang menjadi anak buahnya mundur untuk menghindar.Merasa

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-06
  • Panglima Kalamantra    17: Sabetan Kapak Raksasa

    Para pria bertopeng merah itu tengah duduk-duduk di serambi dan halaman padepokan. Salah satu pria yang di dadanya tertoreh rajah matahari terbakar memukulkan tongkat panjang ke kerangkeng kayu dan mengancam anak-anak itu hingga mereka terdiam.Karuna merasa terusik dan tak terima. Dia berlari ke gapura padepokan seperti menantang singa yang sedang lapar. Pemuda itu sangat marah begitu melihat anak-anak asuhnya dimasukkan ke kandang seperti binatang yang akan diperjual-belikan. Dia menghampiri sang pimpinan bandit yang duduk tak jauh dari pohon ketapang.“Tarik!” perintah sang pimpinan bandit.Sejumlah bandit bertopeng merah itu menarik sebuah tali tambang yang tersembunyi di antara dedaunan kering. Karuna terjebak. Satu kakinya terjerat tali tambang hingga dia terseret dan tergantung secara terbalik di dahan pohon ketapang. Pemuda itu berayun-ayun dengan mulut yang tak henti mengumpat.Pimpinan bandit bertopeng merah mendekat. Pria itu berkacak pinggang sambil mendongak ke arah Karun

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-06
  • Panglima Kalamantra    18: Penyihir Angin Merah

    Rion berbaring telungkup di atas punggung kuda. Pemuda itu tak membuka mata sejak dibawa Nara meninggalkan padepokan yang diserang oleh para bandit dari utara dan samurai dari Selter Agung. Nara berjalan sambil menuntun kuda yang mengangkut tubuh Rion melintasi padang savana dan hutan belantara selama seharian penuh. Sesekali, Nara berhenti kala kaki dan tubuhnya lagi tak mampu menahan lelah dan sakit yang mendera.Denyut nadi Rion semakin melemah. Pemuda itu terluka cukup parah. Nara pun tak lebih baik darinya. Hanya saja, potensi kekuatan dari Ausiyah—ibunya—membuat Nara mampu bertahan sedikit lebih lama. Dia juga mempelajari tenaga dalam dan sihir pengobatan dari ibunya. Akan tetapi, kemampuannya tak cukup baik untuk meringankan luka Rion.Nara menggenggam tangan dingin pemuda itu. “Bersabarlah sedikit lagi!”“Si-nga...,” bisik Rion.“Apa? Kau mengatakan sesuatu?”Hawa dingin datang menyelimuti mereka seiring turunnya kabut senja. Hal itu membuat Nara semakin gelisah. Dia rapatkan

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-06
  • Panglima Kalamantra    19: Kuil Batu di Tengah Hutan Angin

    Mereka tiba di sebuah puri kecil yang tersembunyi di tengah-tengah hutan mahoni dan bambu. Puri itu lebih menyerupai sebuah kuil dengan bangunan tambahan di belakangnya. Para perempuan cantik itu membawa Rion ke sebuah kamar dan menggiring Nara ke kamar yang berbeda.Nara berkeras hati ingin menemani Rion. Dia masih belum bisa mempercayai para perempuan yang menurutnya seperti siluman itu.“Perempuan dan laki-laki tak boleh bercampur menjadi satu!” ujar salah satu dari perempuan berambut hitam pengawal Maitreya. Nara tak tahu nama mereka satu persatu. Meski sudah disebutkan, dia tetap kesulitan mengingat karena wajah dan gaya berpakaian mereka yang terlalu serupa.Gadis itu sungguh kelelahan. Dia tak lagi mampu berpikir tentang hal-hal buruk yang mungkin bisa menimpa mereka. Dia berendam di sebuah kolam air panas alami yang cukup besar. Kolam itu berada di dalam puri utama di belakang bangunan kuil. Sedangkan Rion, dia dibawa ke kuil depan yang menyerupai bangunan batu berwarna kelabu

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-06
  • Panglima Kalamantra    20: Kekuatan Iblis yang Tersembunyi

    Sepasukan besar pria bertopeng iblis merah datang dengan berkuda dan berjalan kaki. Mereka berjajar panjang dan rapi mengepung sebuah perkampungan. Seorang pria yang wajahnya tertutup topeng gagak hitam dengan seringai licik pada bibirnya berteriak lantang sambil mengacungkan pedang. “Tembak!”Pasukan pemanah mulai mencelup bilah panahnya ke minyak, menyambarkan ke api, dan menembakkannya ke arah perkampungan itu. Dengan sangat cepat, api melahap seluruh pepohonan, atap-atap rumah kayu, dan bangunan-bangunan yang ada di sana. Terdengar jeritan dan teriakan dari anak-anak dan para perempuan yang ketakutan. Mereka terkurung di kampungnya tanpa bisa berbuat apa-apa. Para pria dan pemuda berjuang sekuat tenaga melawan pasukan yang datang dari berbagai arah untuk mengepung perkampungan mereka.Jenderal gagak hitam menghunuskan pedang pada sang ketua suku hingga pria itu jatuh terkulai dengan sepasang mata membeliak menatap Rion. Tubuh Rion terikat dengan mantra sihir yang sangat kuat. Dia

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-06
  • Panglima Kalamantra    21: Pria Misterius Bermantel Merah

    Sakka Nara tersenyum mengejek setiap kali mengingat bagaimana perlakuan para perempuan klan Saifi Angin selatan terhadap Rion. Meskipun Maitreya berulang kali menjelaskan pada Nara bahwa klan Saifi Angin dari selatan berbeda dengan yang di utara, gadis itu masih tak percaya.Menurut Maitreya, klan Saifi Angin selatan dipimpin oleh para perempuan-perempuan muda dengan kekuatan khusus untuk mengendalikan angin. Para pria dan tetua yang lain, mereka hidup membaur di kaki-kaki gunung. Sedangkan para gadis berkekuatan khusus ini harus diungsikan dan dilindungi di kuil Saifi Angin yang terlindung mantra untuk mencegah dari kepunahan dan kerusakan akibat serangan oleh para musuh yang terus berdatangan.Nara juga sempat bertanya tentang Anila yang terlihat berbeda dari Maitreya. Menurut Maitreya, Anila datang dari klan Saifi Angin di utara. Klan mereka dipimpin oleh seorang pria yang menjadi pengendali angin. Dahulu, mereka bersatu dalam satu klan besar. Pasca jentera dan peperangan antar kla

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-06

Bab terbaru

  • Panglima Kalamantra    25: Segel Kutukan

    “Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan

  • Panglima Kalamantra    24: Terkuaknya Sosok Berkecapi

    Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.

  • Panglima Kalamantra    23: Pasukan Iblis Kabut

    “Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka

  • Panglima Kalamantra    22: Pasukan Ngengat

    Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem

  • Panglima Kalamantra    21: Penjaga yang Mati

    Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam

  • Panglima Kalamantra    20: Mantra Pengundang Iblis

    Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me

  • Panglima Kalamantra    19: Kehancuran Misterius di Kota

    “Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!

  • Panglima Kalamantra    18: Merangkak Menuju Harapan

    Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L

  • Panglima Kalamantra    17: Tiga Kekalahan

    “Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany

DMCA.com Protection Status