All Chapters of Suami Kontrakku Ternyata Dewa Perang: Chapter 151 - Chapter 160
173 Chapters
151. Tak Bernapas
Marsha .... Marsha .... Sampai kapan kamu menutup matamu? Gama terlihat kalut. Ia menangis sambil memeluk Marsha dengan erat. Sementara dua dokter yang mengupayakan pertolongan pertama untungnya. Napas Marsha masih teras, namun sangat lemah. Mereka membutuhkan peralatan yang lebih memadai untuk menolongnya. Namun mereka sudah terimpit dalam situasi yang tak memungkinkan. “Kita harus segera keluar dari tempat ini.” Gama menatap Syam yang berusaha kuat untuk membantu Lea. Mereka akan terus melakukan CPR. Setidaknya sampai kesadaran Marsha mulai pulih. “Dokter Syam ....” Gama menatap tegas. “Aku akan menyusup masuk ke atas—helikopter itu, harusku jarah!” Syam terdiam beberapa saat. Sesekali ia melihat wajah Gama yang terlihat serius, namun ia tak memiliki waktu untuk melakukan diskusi lebih lanjut—bahkan sekedar mengkhawatirkannya, Syam tak memiliki waktu. “Jika kamu bisa mengatasinya, aku tak akan membuatm
Read more
152. Kenyataan Yang Sulit
“Semuanya akan baik-baik saja. Jangan terlalu memikirkannya ... keadaanmu juga belum sepenuhnya pulih.” Syam hanya mengangguk. Melihat banyak dari rekan kerjanya yang menunjukkan kepedulian padanya, membuat Syam sadar jika masalah yang menimpa mereka memang masuk dalam kategori besar. Rumah sakit Zahara memiliki banyak saingan, namun tak pernah ada kejadian seekstrem ini selama bertahun-tahun. “Pihak atas juga sudah membuat tim penyelidikan khusus untuk mengali masalah ini.” Tomo menghela napas kasar. Kini lelaki itu tampak lebih tulus memperlihatkan kekhawatirannya. Ya, ini pasti karena masalah yang di ikut campuri Marsha beberapa hari yang lalu. Tomo jelas tahu antara siapa orang yang benar-benar melindunginya dan orang yang melindunginya hanya untuk memanfaatkan dirinya. “Semoga saja.” Syam menghela napas lelah. Ia mengalihkan pandangannya pada Lea dan Gama yang tertidur di ranjang sisi kanannya. “Entah sampai kapan mere
Read more
153. Apa Yang Terjadi?
“Tidak ... Marsha!” Lea terduduk di bawah ranjang besi yang di tempati Marsha. Kain putih yang menutup sampai ke leher Marsha membuat tangis Lea semakin kencang. Dadanya sesak, padahal ia pernah membayangkan dengan senang kematian Marsha. Dengan begitu ia akan bisa memiliki Derren, namun apa yang terjadi? Dadanya sakit sampai membuat kepalanya terasa mau pecah. Ia marah. Sakit hati dan sedih. Tiga rasa yang hanya bisa di rasakan saat seseorang kehilangan orang yang ‘di pedulikan’ lalu, apakah selama ini Lea memedulikan Marsha? ... harusnya tidak, kan? Mereka hanya rival. “Sejak kapan ia seperti ini?” Lea menatap wajah Derren dan Syam yang melihatnya di ambang pintu masuk kamar mayat tersebut. Penampilan kacau Lea membuat kedua lelaki itu tak sampai hati memberitahu tanggal kematian Marsha. “Katakan!” Lea berteriak lantang. Ia marah karena mereka tak segera memberi tahu hal yang ia inginkan. Apa karena ia tak berhak tahu
Read more
154. Kabar Mendebarkan
“Siapa yang bertugas memandikan Dokter Marsha?” Valerie menatap beberapa perawat yang menunduk dalam—sedih mengingat Marsha tak ada bersama dengan mereka lagi. Hati Valerie berat. Sudah 24 jam Marsha dinyatakan meninggal dunia. Namun sampai sekarang tak ada seorang pun yang tega memandikan dan menyiapkan peti matinya. Mengusap wajah kasar, Valerie tak akan meminta rekan kerjanya untuk melakukannya. Kali ini, dengan tekat bulat, ia akan melakukannya sendiri. Valerie mendekati ruang mayat. Semakin dekat dengan ruangan itu kakinya semakin gemetar dan tekatnya semakin pudar. “Aku tak bisa melakukannya.” Valerie berjongkok. Dia menangis dan menunduk dalam menahan isak tangisnya. Namun tak lama setelah itu ia bangun dari posisi dan masuk ke dalam ruang mayat. Dia membuka tempat penyimpanan mayat Marsha dan mengeluarkannya. Tubuhnya gemetar. Ia tak siap untuk benar-benar merelakan Marsha. Namun Tuhan seakan menjawab doan
Read more
155. Senjata Nyata
“Di mana Marsha? Ia baik-baik saja, kan?” tanya Lea, begitu melihat Derren dan Daniel duduk di depan pintu tempat Marsha mendapat perawatan intensif. “Di dalam. Keadaannya semakin membaik dari sejam yang lalu. Kau tak perlu khawatir.” Derren menjelaskan. Matanya yang sembab dan sayu terlihat lega—senyum lembut pun terpatri di wajahnya. “Valeri menghela napas kasar. Ia terus melihat ke arah Syam yang mengomeli Lea karena terluka setelah memaksa keluar dengan percaya diri. “Kamu tidak berniat menghentikan omelan itu, Dokter Syam? Pasien yang sedang kamu omeli akan meledak jika kamu menambah durasi omelan kamu barang setengah jam saja,” celetuk Valerie, sekedar memperingatkan. Namun Syam malah berdecap alih-alih mendengarkan nasehatnya. Sementara Lea yang muak hanya bisa bergumam, mengeluarkan sumpah serapah yang membuat orang yang di hardik tepat di depan wajahnya semakin mengomelinya. “Valerie,” panggil Zahra dengan napas me
Read more
156. Niat Melompat
“Kau kira aku bercanda?” Marsha melipat kedua tangannya. Dia menatap tiga orang lelaki di depannya dengan sinis. “Kalau kamu tahu benda ini bisa melubang kepalamu, bagaimana kalau kamu singkirkan tangan itu dari pundak temanku?” Lelaki itu segera mengangkat tangan dan menjaga jarak beberapa langkah. Ia tak berani dekat dengan Marsha atau wanita incaran rencana busuk mereka. “Kalau sudah tidak ada yang mau di kataka atau di bicarakan, bisakah kalian bertiga keluar?” Sirena tersenyum iblis. “Wajah kalian yang jelek membuatku sangat tidak berselera.” Ketiga lelaki itu terlihat kesal dengan perkataan Marsha. Namun ketakutan dalam diri mereka lebih menonjol. “Ba-baiklah. Maafkan kami!” Setelah mengucapkan itu, ketiganya segera keluar meninggalkan ruangan kelas Marsha. Lea menghela napas lega. Tampaknya ia benar-benar tak suka dengan ketiga lelaki itu sampai membuatnya tegang selama ketiganya ada di dekat mereka. “Kamu
Read more
157. Hukuman
Gama menatap Marsha yang tertidur pulas dengan berbagai macam alat bantu. Banyak selang yang di pasang para dokter untuk mengetahui kestabilan tubuhnya. “Ia akan segera pulih.” Orlando mendorong Derren memasuki kamar Marsha. Mereka bertiga menggunakan pakaian pelindung sebelum masuk ruang isolasi. “Maaf.” Gama merasa bersalah karena tak bisa melindungi Marsha dengan baik. “Andai saja anak buahmu tidak datang tepat waktu, mungkin setelah aku menyebabkan kecelakaan helikopter, kami tak akan bisa selamat. Dan aku ... adalah orang yang akan menjadi tersangka pembunuhan mereka.” Gama tak berani menatap Derren. Ia hanya menggenggam erat tangan Marsha dan berharap gadis itu segera bangun. “Sudahlah. Wanita itu juga sudah pernah sadar sekali. Ia akan baik-baik saja. Kamu tahu Marsha adalah orang yang kuat. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan.” Derren berusaha mengembalikan semangat Gama. Namun nyatanya itu akan tetap sulit selama M
Read more
158. Crazy
Crak ... crak .... Cairan berwarna merah pekat melekat di dinding, lantai, bahkan diri seorang lelaki yang tengah membersihkan mangsa besar. Memisahkan kulit, daging dan tulangnya dengan brutal. “Aku kira kamu akan melakukan hal yang lebih berbahaya dari memutilasi.” Salma menggeleng ampun. Ia sedang melihat kegilaan rekannya dengan santai. Seakan itu adalah hal yang sudah biasa. “Memang apa yang akan aku lakukan dengan senapan, pisau dan bom?” Daniel menatap wajah Salma di belakang punggungnya. “Kau kira aku akan membunuh seseorang dan memutilasinya?” Salma mengangguk dengan mudah. “Berdasarkan karakter psikopatmu, kau memang harusnya melakukan hal selevel itu kan saat kesal?” Daniel memutar bola matanya malas. “Itu akan terlalu banyak membuang tenagaku.” Ia membungkus daging di dalam wadah yang berbeda. Sementara memberikan kotak hitam yang telah dia bungkus dengan rapi pada Salma. “Kau ... kirim ini k
Read more
159. I Hate You, Marsha
Marsha menguap. Wajah tak berdosa itu membuat 3 orang di depannya mengeluh dalam hati. Bahkan menghela napas kasar berulang kali untuk mengusiknya, namun Marsha malah kembali berbaring dan memejamkan matanya. “Marsha ....” Derren menatap tajam. Begitu pula dengan Gama dan Lea. “Tahukah apa yang membuat kami bertiga datang dengan wajah kesal begini?” Dengan enteng Marsha mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Aku tidak ingin tahu. Dan ... bisakah kalian keluar dari sini? Aku benar-benar butuh istirahat hari ini.” Lea memutar bola matanya malas. Ia mendekati Marsha, menunjukkan wajah babak-belurnya. Lea protes. “Jika bukan karena kamu mati, aku tidak akan mendapat banyak luka begini. Sekarang dengan santainya kamu mau tidur lagi tanpa menjelaskan apa pun?” Marsha menghela napas kasar. “Pasien memang harus banyak istirahat. Ia tak boleh banyak pikiran. Mengerti?” Lea menatap geram. “Jangan bersikap dingin begitu, Marsha.
Read more
160. Misi Mandiri
Marsha diam sepanjang hari. Tak ada yang membuatnya melakukan aktivitas. Ia hanya diam di kamarnya dan menikmati waktu membacanya dengan santai. Ponselnya juga sudah di matikan karena bosan menjawab pertanyaan teman terdekatnya tentang bagaimana kondisinya saat ini. “Nona.” Daniel masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk pintu. Lelaki itu datang dengan Naya dan Salma—tampaknya setelah mereka selesai latihan. “Bagaimana keadaanmu, kak?” Naya bertanya. Gadis itu datang mendekat pada Marsha dan berdiri di sampingnya. “Tak ada yang istimewa. Aku hanya perlu beristirahat, menghabiskan waktu dengan santai selama satu minggu di sini. Setidaknya sampai lukaku tertutup.” Marsha menjelaskan dengan malas. Sepanjang hari hanya di habiskan dengan bersantai, makan dan tidur. Ia benar-benar tak pernah menjadi pemalas seperti ini sebelumnya. “Baguslah. Aku harap Anda bisa tenang berapa saat. Karena kami yang akan mengurus
Read more
PREV
1
...
131415161718
DMCA.com Protection Status