“Tidak ... Marsha!” Lea terduduk di bawah ranjang besi yang di tempati Marsha.
Kain putih yang menutup sampai ke leher Marsha membuat tangis Lea semakin kencang. Dadanya sesak, padahal ia pernah membayangkan dengan senang kematian Marsha. Dengan begitu ia akan bisa memiliki Derren, namun apa yang terjadi? Dadanya sakit sampai membuat kepalanya terasa mau pecah.Ia marah. Sakit hati dan sedih. Tiga rasa yang hanya bisa di rasakan saat seseorang kehilangan orang yang ‘di pedulikan’ lalu, apakah selama ini Lea memedulikan Marsha? ... harusnya tidak, kan? Mereka hanya rival.“Sejak kapan ia seperti ini?” Lea menatap wajah Derren dan Syam yang melihatnya di ambang pintu masuk kamar mayat tersebut.Penampilan kacau Lea membuat kedua lelaki itu tak sampai hati memberitahu tanggal kematian Marsha.“Katakan!” Lea berteriak lantang. Ia marah karena mereka tak segera memberi tahu hal yang ia inginkan.Apa karena ia tak berhak tahu“Siapa yang bertugas memandikan Dokter Marsha?” Valerie menatap beberapa perawat yang menunduk dalam—sedih mengingat Marsha tak ada bersama dengan mereka lagi. Hati Valerie berat. Sudah 24 jam Marsha dinyatakan meninggal dunia. Namun sampai sekarang tak ada seorang pun yang tega memandikan dan menyiapkan peti matinya. Mengusap wajah kasar, Valerie tak akan meminta rekan kerjanya untuk melakukannya. Kali ini, dengan tekat bulat, ia akan melakukannya sendiri. Valerie mendekati ruang mayat. Semakin dekat dengan ruangan itu kakinya semakin gemetar dan tekatnya semakin pudar. “Aku tak bisa melakukannya.” Valerie berjongkok. Dia menangis dan menunduk dalam menahan isak tangisnya. Namun tak lama setelah itu ia bangun dari posisi dan masuk ke dalam ruang mayat. Dia membuka tempat penyimpanan mayat Marsha dan mengeluarkannya. Tubuhnya gemetar. Ia tak siap untuk benar-benar merelakan Marsha. Namun Tuhan seakan menjawab doan
“Di mana Marsha? Ia baik-baik saja, kan?” tanya Lea, begitu melihat Derren dan Daniel duduk di depan pintu tempat Marsha mendapat perawatan intensif. “Di dalam. Keadaannya semakin membaik dari sejam yang lalu. Kau tak perlu khawatir.” Derren menjelaskan. Matanya yang sembab dan sayu terlihat lega—senyum lembut pun terpatri di wajahnya. “Valeri menghela napas kasar. Ia terus melihat ke arah Syam yang mengomeli Lea karena terluka setelah memaksa keluar dengan percaya diri. “Kamu tidak berniat menghentikan omelan itu, Dokter Syam? Pasien yang sedang kamu omeli akan meledak jika kamu menambah durasi omelan kamu barang setengah jam saja,” celetuk Valerie, sekedar memperingatkan. Namun Syam malah berdecap alih-alih mendengarkan nasehatnya. Sementara Lea yang muak hanya bisa bergumam, mengeluarkan sumpah serapah yang membuat orang yang di hardik tepat di depan wajahnya semakin mengomelinya. “Valerie,” panggil Zahra dengan napas me
“Kau kira aku bercanda?” Marsha melipat kedua tangannya. Dia menatap tiga orang lelaki di depannya dengan sinis. “Kalau kamu tahu benda ini bisa melubang kepalamu, bagaimana kalau kamu singkirkan tangan itu dari pundak temanku?” Lelaki itu segera mengangkat tangan dan menjaga jarak beberapa langkah. Ia tak berani dekat dengan Marsha atau wanita incaran rencana busuk mereka. “Kalau sudah tidak ada yang mau di kataka atau di bicarakan, bisakah kalian bertiga keluar?” Sirena tersenyum iblis. “Wajah kalian yang jelek membuatku sangat tidak berselera.” Ketiga lelaki itu terlihat kesal dengan perkataan Marsha. Namun ketakutan dalam diri mereka lebih menonjol. “Ba-baiklah. Maafkan kami!” Setelah mengucapkan itu, ketiganya segera keluar meninggalkan ruangan kelas Marsha. Lea menghela napas lega. Tampaknya ia benar-benar tak suka dengan ketiga lelaki itu sampai membuatnya tegang selama ketiganya ada di dekat mereka. “Kamu
Gama menatap Marsha yang tertidur pulas dengan berbagai macam alat bantu. Banyak selang yang di pasang para dokter untuk mengetahui kestabilan tubuhnya. “Ia akan segera pulih.” Orlando mendorong Derren memasuki kamar Marsha. Mereka bertiga menggunakan pakaian pelindung sebelum masuk ruang isolasi. “Maaf.” Gama merasa bersalah karena tak bisa melindungi Marsha dengan baik. “Andai saja anak buahmu tidak datang tepat waktu, mungkin setelah aku menyebabkan kecelakaan helikopter, kami tak akan bisa selamat. Dan aku ... adalah orang yang akan menjadi tersangka pembunuhan mereka.” Gama tak berani menatap Derren. Ia hanya menggenggam erat tangan Marsha dan berharap gadis itu segera bangun. “Sudahlah. Wanita itu juga sudah pernah sadar sekali. Ia akan baik-baik saja. Kamu tahu Marsha adalah orang yang kuat. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan.” Derren berusaha mengembalikan semangat Gama. Namun nyatanya itu akan tetap sulit selama M
Crak ... crak .... Cairan berwarna merah pekat melekat di dinding, lantai, bahkan diri seorang lelaki yang tengah membersihkan mangsa besar. Memisahkan kulit, daging dan tulangnya dengan brutal. “Aku kira kamu akan melakukan hal yang lebih berbahaya dari memutilasi.” Salma menggeleng ampun. Ia sedang melihat kegilaan rekannya dengan santai. Seakan itu adalah hal yang sudah biasa. “Memang apa yang akan aku lakukan dengan senapan, pisau dan bom?” Daniel menatap wajah Salma di belakang punggungnya. “Kau kira aku akan membunuh seseorang dan memutilasinya?” Salma mengangguk dengan mudah. “Berdasarkan karakter psikopatmu, kau memang harusnya melakukan hal selevel itu kan saat kesal?” Daniel memutar bola matanya malas. “Itu akan terlalu banyak membuang tenagaku.” Ia membungkus daging di dalam wadah yang berbeda. Sementara memberikan kotak hitam yang telah dia bungkus dengan rapi pada Salma. “Kau ... kirim ini k
Marsha menguap. Wajah tak berdosa itu membuat 3 orang di depannya mengeluh dalam hati. Bahkan menghela napas kasar berulang kali untuk mengusiknya, namun Marsha malah kembali berbaring dan memejamkan matanya. “Marsha ....” Derren menatap tajam. Begitu pula dengan Gama dan Lea. “Tahukah apa yang membuat kami bertiga datang dengan wajah kesal begini?” Dengan enteng Marsha mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Aku tidak ingin tahu. Dan ... bisakah kalian keluar dari sini? Aku benar-benar butuh istirahat hari ini.” Lea memutar bola matanya malas. Ia mendekati Marsha, menunjukkan wajah babak-belurnya. Lea protes. “Jika bukan karena kamu mati, aku tidak akan mendapat banyak luka begini. Sekarang dengan santainya kamu mau tidur lagi tanpa menjelaskan apa pun?” Marsha menghela napas kasar. “Pasien memang harus banyak istirahat. Ia tak boleh banyak pikiran. Mengerti?” Lea menatap geram. “Jangan bersikap dingin begitu, Marsha.
Marsha diam sepanjang hari. Tak ada yang membuatnya melakukan aktivitas. Ia hanya diam di kamarnya dan menikmati waktu membacanya dengan santai. Ponselnya juga sudah di matikan karena bosan menjawab pertanyaan teman terdekatnya tentang bagaimana kondisinya saat ini. “Nona.” Daniel masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk pintu. Lelaki itu datang dengan Naya dan Salma—tampaknya setelah mereka selesai latihan. “Bagaimana keadaanmu, kak?” Naya bertanya. Gadis itu datang mendekat pada Marsha dan berdiri di sampingnya. “Tak ada yang istimewa. Aku hanya perlu beristirahat, menghabiskan waktu dengan santai selama satu minggu di sini. Setidaknya sampai lukaku tertutup.” Marsha menjelaskan dengan malas. Sepanjang hari hanya di habiskan dengan bersantai, makan dan tidur. Ia benar-benar tak pernah menjadi pemalas seperti ini sebelumnya. “Baguslah. Aku harap Anda bisa tenang berapa saat. Karena kami yang akan mengurus
“Aku tidak tahu ini sangat melelahkan, Nona,” gerutu Daniel saat perempuan berambut hitam panjang sepunggung melihatnya dengan senyum mengejek sejak 5 menit yang lalu. “Kau tahu sekarang?” cibir Marsha, seakan menertawakan ajudan terpercayanya. “Bagaimana kalau kau bekerja sama dengan Derren?” Daniel menaikkan sebelah alisnya. “Dengan Tuan pengusaha itu?” Daniel menggeleng. “Aku tidak siap bersanding dengan seorang tentara yang gila membunuh musuhnya seperti rombongannya. Tidak akan!” tegasnya. Marsha mengangkat pundaknya. “Ya, baiklah. Tinggal menunggu hingga Tuan berambut merah ini pulang dengan tangan kosong karena tak memanfaatkan koneksi dengan baik.” Daniel memberengut. Namun wanita cantik di depannya tampak tak memedulikannya. Ia lebih fokus membaca dari pada melihat wajah ajudannya yang kesal dengan hati senang. “Ada yang datang.” Daniel melihat ke arah pintu. Anak perempuan masuk dengan membawa rantang b
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat