“Kau kira aku bercanda?” Marsha melipat kedua tangannya. Dia menatap tiga orang lelaki di depannya dengan sinis. “Kalau kamu tahu benda ini bisa melubang kepalamu, bagaimana kalau kamu singkirkan tangan itu dari pundak temanku?”
Lelaki itu segera mengangkat tangan dan menjaga jarak beberapa langkah. Ia tak berani dekat dengan Marsha atau wanita incaran rencana busuk mereka.“Kalau sudah tidak ada yang mau di kataka atau di bicarakan, bisakah kalian bertiga keluar?” Sirena tersenyum iblis. “Wajah kalian yang jelek membuatku sangat tidak berselera.”Ketiga lelaki itu terlihat kesal dengan perkataan Marsha. Namun ketakutan dalam diri mereka lebih menonjol.“Ba-baiklah. Maafkan kami!”Setelah mengucapkan itu, ketiganya segera keluar meninggalkan ruangan kelas Marsha.Lea menghela napas lega. Tampaknya ia benar-benar tak suka dengan ketiga lelaki itu sampai membuatnya tegang selama ketiganya ada di dekat mereka.“KamuGama menatap Marsha yang tertidur pulas dengan berbagai macam alat bantu. Banyak selang yang di pasang para dokter untuk mengetahui kestabilan tubuhnya. “Ia akan segera pulih.” Orlando mendorong Derren memasuki kamar Marsha. Mereka bertiga menggunakan pakaian pelindung sebelum masuk ruang isolasi. “Maaf.” Gama merasa bersalah karena tak bisa melindungi Marsha dengan baik. “Andai saja anak buahmu tidak datang tepat waktu, mungkin setelah aku menyebabkan kecelakaan helikopter, kami tak akan bisa selamat. Dan aku ... adalah orang yang akan menjadi tersangka pembunuhan mereka.” Gama tak berani menatap Derren. Ia hanya menggenggam erat tangan Marsha dan berharap gadis itu segera bangun. “Sudahlah. Wanita itu juga sudah pernah sadar sekali. Ia akan baik-baik saja. Kamu tahu Marsha adalah orang yang kuat. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan.” Derren berusaha mengembalikan semangat Gama. Namun nyatanya itu akan tetap sulit selama M
Crak ... crak .... Cairan berwarna merah pekat melekat di dinding, lantai, bahkan diri seorang lelaki yang tengah membersihkan mangsa besar. Memisahkan kulit, daging dan tulangnya dengan brutal. “Aku kira kamu akan melakukan hal yang lebih berbahaya dari memutilasi.” Salma menggeleng ampun. Ia sedang melihat kegilaan rekannya dengan santai. Seakan itu adalah hal yang sudah biasa. “Memang apa yang akan aku lakukan dengan senapan, pisau dan bom?” Daniel menatap wajah Salma di belakang punggungnya. “Kau kira aku akan membunuh seseorang dan memutilasinya?” Salma mengangguk dengan mudah. “Berdasarkan karakter psikopatmu, kau memang harusnya melakukan hal selevel itu kan saat kesal?” Daniel memutar bola matanya malas. “Itu akan terlalu banyak membuang tenagaku.” Ia membungkus daging di dalam wadah yang berbeda. Sementara memberikan kotak hitam yang telah dia bungkus dengan rapi pada Salma. “Kau ... kirim ini k
Marsha menguap. Wajah tak berdosa itu membuat 3 orang di depannya mengeluh dalam hati. Bahkan menghela napas kasar berulang kali untuk mengusiknya, namun Marsha malah kembali berbaring dan memejamkan matanya. “Marsha ....” Derren menatap tajam. Begitu pula dengan Gama dan Lea. “Tahukah apa yang membuat kami bertiga datang dengan wajah kesal begini?” Dengan enteng Marsha mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Aku tidak ingin tahu. Dan ... bisakah kalian keluar dari sini? Aku benar-benar butuh istirahat hari ini.” Lea memutar bola matanya malas. Ia mendekati Marsha, menunjukkan wajah babak-belurnya. Lea protes. “Jika bukan karena kamu mati, aku tidak akan mendapat banyak luka begini. Sekarang dengan santainya kamu mau tidur lagi tanpa menjelaskan apa pun?” Marsha menghela napas kasar. “Pasien memang harus banyak istirahat. Ia tak boleh banyak pikiran. Mengerti?” Lea menatap geram. “Jangan bersikap dingin begitu, Marsha.
Marsha diam sepanjang hari. Tak ada yang membuatnya melakukan aktivitas. Ia hanya diam di kamarnya dan menikmati waktu membacanya dengan santai. Ponselnya juga sudah di matikan karena bosan menjawab pertanyaan teman terdekatnya tentang bagaimana kondisinya saat ini. “Nona.” Daniel masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk pintu. Lelaki itu datang dengan Naya dan Salma—tampaknya setelah mereka selesai latihan. “Bagaimana keadaanmu, kak?” Naya bertanya. Gadis itu datang mendekat pada Marsha dan berdiri di sampingnya. “Tak ada yang istimewa. Aku hanya perlu beristirahat, menghabiskan waktu dengan santai selama satu minggu di sini. Setidaknya sampai lukaku tertutup.” Marsha menjelaskan dengan malas. Sepanjang hari hanya di habiskan dengan bersantai, makan dan tidur. Ia benar-benar tak pernah menjadi pemalas seperti ini sebelumnya. “Baguslah. Aku harap Anda bisa tenang berapa saat. Karena kami yang akan mengurus
“Aku tidak tahu ini sangat melelahkan, Nona,” gerutu Daniel saat perempuan berambut hitam panjang sepunggung melihatnya dengan senyum mengejek sejak 5 menit yang lalu. “Kau tahu sekarang?” cibir Marsha, seakan menertawakan ajudan terpercayanya. “Bagaimana kalau kau bekerja sama dengan Derren?” Daniel menaikkan sebelah alisnya. “Dengan Tuan pengusaha itu?” Daniel menggeleng. “Aku tidak siap bersanding dengan seorang tentara yang gila membunuh musuhnya seperti rombongannya. Tidak akan!” tegasnya. Marsha mengangkat pundaknya. “Ya, baiklah. Tinggal menunggu hingga Tuan berambut merah ini pulang dengan tangan kosong karena tak memanfaatkan koneksi dengan baik.” Daniel memberengut. Namun wanita cantik di depannya tampak tak memedulikannya. Ia lebih fokus membaca dari pada melihat wajah ajudannya yang kesal dengan hati senang. “Ada yang datang.” Daniel melihat ke arah pintu. Anak perempuan masuk dengan membawa rantang b
Marsha kembali ke kamar. Langkahnya terhenti di depan pintu saat ia melihat dua orang lelaki berdiri di sana—menjaga pintu. “Selamat siang, Nyonya Marsha.” Kedua lelaki itu menunduk hormat. “Kami akan mengawal Anda mulai sekarang.” Marsha menaikkan sebelah alisnya. Ia melihat Daniel keluar kamarnya dengan menguap lebar sambil merenggangkan tubuh. “Kau yang mengirim mereka?” tanya Marsha. Daniel mengerjapkan mata, menatap kedua orang pengawal di samping kanan dan kirinya. “Ah, Tuan Derren yang meminta mereka ke sini. Tadi saat tidur, aku dengar suaranya di depan pintu,” jelas Daniel. Marsha menghela napas panjang. Ia masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponsel, lalu pergi ke kamar Derren yang masih satu lorong dengannya. “Saya akan mengantar Anda, Nyonya.” Salah seorang pengawal mengikutinya dengan patuh seperti anjing penurut yang besar. “Aku hanya ke ujung sana. Bertemu Tuanmu.” Marsha menatap lelaki be
Brak! Lea membanting tas koper terakhirnya ke atas lantai. Dua koper besar telah ia angkut seorang diri ke dalam rumah barunya. Rumah ini tepat di samping Marsha. Mulai hari ini mereka akan bertetangga ... selamanya! Lea tak pernah merasa sesenang ini bisa dekat dengan Marsha. Bisa di sebut ia kembali nyaman berada dekat dengan Marsha seperti saat SMP dulu. Marsha kembali melindunginya, menjadi teman dalam diam yang tak banyak berinteraksi tapi selalu ada tiap kali Lea ada dalam kesulitan. “Kau sangat bahagia, ya?” Syam tersenyum simpul, mengejek, melihat Lea yang terus tersenyum senang melihat rumah barunya. Bahkan kedua mata coklat gelap itu tak berhenti melihat sekeliling ruangan di depannya sambil tersenyum. “Ya, nilai saja sesuka kamu.” Lea menatap Syam dan terus tersenyum cantik. “Karena hari ini adalah hari pertamaku tinggal sendiri, aku akan memaafkan semua kesalahan!” serunya bertekat. Syam hany
Gama terlihat santai di depan Marsha yang tengah sibuk bekerja dengan laptopnya. Sepanjang hari Gama hanya rebahan dan makan di dalam kamar rawat inap Marsha sambil sesekali membantu Marsha mengerjakan beberapa tugas kecil seperti mengupas buah atau memesan makanan ringan untuk mereka. “Tentang masalah kemarin, yang kita bicarakan tentang Ibu suamimu ... bagaimana perkembangannya?” Gama bertanya. Marsha menatap lelaki itu beberapa saat dalam diam. “Kau sangat memerhatikan Derren beberapa waktu terakhir ini. Ada apa? Sekarang kamu lebih suka suamiku dari pada aku?” Gama mengerucutkan bibir. Dagunya sedikit terangkat dan terlihat seperti kulit kenari. “Aku hanya menganggapnya sebagai teman. Apa menurutmu itu berlebihan?” Marsha menggeleng. “Aku hanya heran. Bukan menganggapnya aneh. Paham?” Gama mengangguk. “Lalu tentang Ibu Mertua, Daniel masih berusaha mencari cara untuk membawanya kabur dengan aman.” Marsha menat