Lahat ng Kabanata ng Ditalak 3 Lewat Telepon: Kabanata 1 - Kabanata 10

188 Kabanata

1. Talak

“Apa maksudnya, Mas?” tanya Atira saat mendengar ikrar talak dari suaminya melalui sambungan telepon. Ia berharap jika dirinya sedang mendapatkan prank saja tepat di hari ini, hari ulang tahunnya. “Kurang jelas? Selama hidup bersamamu Aku tak pernah bahagia. Oleh sebab itu aku memutuskan untuk mentalak kau detik ini juga,” jawab Bayu, lelaki yang telah membersamainya selama delapan tahun dan memberi Atira dua orang anak lelaki. “Mas, ikrar talak itu enggak bisa dipermainkan. Walaupun bercanda, tapi jika kata talak sudah diucapkan maka jatuhlah talak untuk istri. Apa kau sadar dengan ucapanmu, Mas?” cicit Atira dengan air mata yang telah menganak sungai. Ia pun menerima telepon dari suaminya dengan terduduk lemas di lantai rumah. “Saya enggak main-main, Tira. Saya tegaskan sekali lagi bahwa saya mentalakmu, bahkan... sekalian saja saya talak kau dengan talak tiga. Mulai detik ini kau bukan lagi istriku dan tak akan pernah lagi jadi istriku” jawab Bayu dengan suara yang lebih kencang.
Magbasa pa

2. kaget

“Bu, Mas Bayu menceraikan Atira.” Atira menatap kosong ke depan dengan tangan yang terus memukuli dada. Akhirnya, ia bisa mengungkapkan rasa sedihnya. “Maksudnya apa, Tira? Apa? Hah?” tanya bu Asih sambil menatap Atira dengan penuh tanya. “Sakit, Bu. Sakit banget!” Keluh Atira sambil menepuk-nepuk dadanya lagi. “Mas Bayu, ia talak Atira, Bu.” Atira kembali menitikkan air matanya, bahkan pukulan tangannya semakin kencang ke dada seolah ia menunjukkan rasa sakit yang sangat. “Enggak ada, Bayu enggak mungkin melakukan hal itu, Tira. Lagipula, kapan dia mengucapkan ikrar talak? Udah lama Bayu enggak ada kabar. Jangan ngada-ngada!” sanggah bu Asih yang tak mau percaya dengan ucapan Atira. Namun demikian, hati bu Asih merasakan denyut nyeri seolah ia percaya dengan ucapan Atira. “Barusan mas Bayu telpon dan bilang kalau dia ceraikan Atira dengan talak 3.” Atira menatap manik mata bu Asih yang sudah bersimbah air mata. Mendengar penuturan Atira itu, bu Asih segera mencari ponsel mi
Magbasa pa

3. Hilang

“Ah, baik saya ke sana sekarang!” ucap Atira sambil terus berpikir bagaimana dengan Davin. “Masuklah! Biar ibu hubungi Danu untuk jemputkan Davin.”Atira mengangguk tanpa menolak tawaran bantuan dari bu RT. Danu adalah anak pertama bu RT yang kini bekerja di balai desa. Saat memasuki ruangan penghubung, Atira diminta untuk mencuci tangan dan mengenakan pakaian khusus pengunjung pasien di ruang ICU. Setelah itu, Atira dibawa masuk ke tempat dimana brankar bu Asih diletakkan. “Mohon maaf, dari tadi pasien mengigau memanggil-manggil nama Bayu. Dokter menyarankan agar keluarga pasien diminta untuk menemani bu Asih guna memberikan rangsangan dengan harapan agar pasien segera sadar.” Perawat itu menjelaskan dengan cukup rinci, hanya saja hati Atira yang kini bertambah hancur saat mendengarkan penjelasannya. Ibu mertuanya terus memanggil nama Bayu. “Bagaimana, Bu? Bisa menghadirkan Bayu?” tanya perawat itu lagi. “Emmhh, gimana ya Sus? Dari tadi saya sudah coba hubungi mas Bayu t
Magbasa pa

4. Tak Mengenalnya

“Siapa yang jemput anak saya, Mang?” teriak Atira yang mulai histeris. “Kamu beneran lihat Davin dijemput pakai mobil, Rul? Kamu enggak salah ngenalin orang?” tanya pak Ari ingin memastikan. “Enggak atuh. Saya memang suka sama Davin, anaknya ganteng, ramah, sopan, pinter lagi. Jadi, saya suka nyapa kalau ketemu. Biasanya kan saya datang ke sekolah enggak telat kaya hari ini.” Mang Sahrul meyakinkan bahwa dirinya tak salah mengenali orang. “Tadi lihat orang yang bawa Davin nya siapa?” tanya pak Ari lagi. “Enggak, soalnya tadi Davin naik sendiri ke mobil. Enggak tahu orang yang bawanya udah masuk duluan pas saya belum lihat. Pokoknya, pas dia mau masuk mobil saya tanya, Davin pulang sama siapa? Dia jawab sama mamah. Tadi saya berdiri di agak jauh di belakang mobil, jadi enggak lihat ke dalam mobil.” Mang Sahrul terdiam untuk mengingat sesuatu. “Mang, saya belum jemput Davin. Saya baru dari rumah sakit.” Atira terduduk di atas trotoar. Dunianya serasa berhenti di detik ini juga
Magbasa pa

5. Belum Siap Berjumpa

Atira berbelok menuju rumah sakit kota. Ia pun segera mencari tempat parkir dan segera turun menuju ruang ICU. “Atira!” panggil bu RT yang melihat Atira meskipun dari kejauhan. “Bu, masih di sini? Ini udah mau malem!” ucap Atira yang merasa tak enak hati sudah merepotkan bu RT.“Enggak apa-apa. Habisnya kamu lama banget, mau ditinggal kasihan, daritadi bu Asih nangis terus.” Atira membulatkan matanya saat mendengar kabar bahwa bu Asih menangis. “Ibu nangis? Ibu sadar?” tanya Atira penuh harap. Bu RT menggelengkan kepalanya. “Bu Asih cuma ngigo, sama kaya tadi waktu kamu masuk. Tadi, karena saya bilang saya keluarga, jadi dibolehin masuk. Saya ngaji dekat bu Asih, dia nangis. Kata dokter, itu respon yang cukup baik.” Atira mendengarkan tanpa menanggapi ucapan bu RT. “Oya, tadi ada dokter. Katanya ada tindakan yang butuh persetujuan keluarga. Saya bilang harus rembukan dulu sama keluarga yang lain.” “Tindakan apa, Bu?” tanya Atira yang kini mengalihkan atensinya untuk bu
Magbasa pa

6. siapa dia?

Atira mengerjapkan matanya pelan. “Aww, sakit!” desisnya saat ada rasa nyeri di bagian punggung. Ia terbangun dengan suara adzan yang saling bersahutan. Atira pun berniat memeriksa pundak yang terasa sangat sakit, seperti habis tertimpa sesuatu. “Hah? Apaan ini?” ucap Atira saat ia tidak bisa menggerakkan tangannya sama sekali. Hal ini pun membuat kesadaran Atira pulih sepenuhnya. “Apaan ini?” lirih Atira saat ia mendapati tangan dan kakinya terikat. Ia yang terikat tangan dan kaki dalam keadaan tertidur miring ke kanan, langsung duduk dan bergeser secepat yang ia bisa ke arah pintu. Untung saja, kondisi luar yang terang dengan lampu memudahkan ia mengetahui dimana posisi pintu. Sesampainya di depan pintu, ia pun berusaha berdiri dan berhasil, meskipun sangat sulit. Ia khawatir orang yang mengikatnya adalah orang jahat dan nekad. Karena tangannya diikat ke belakang, ia pun memunggungi pintu dan meraih gagangnya. Atira memutar gagang pintu dan menariknya, namun usahanya gagal ka
Magbasa pa

7. Pertolongan

“Siapa dia?” gumam Atira pelan. Ia pun berusaha menoleh ke arah perempuan itu. Nihil. Selain gelap, perempuan itu melakukan panggilan di ruangan lain. Atira terdiam dan berpikir, dari cara perempuan itu berbicara, ia terdengar ketakutan dan kemungkinan nyawanya aman untuk sementara. “Ah ya, tadi kayanya adzan subuh. Biasanya bapak-bapak banyak yang ke Mesjid. Harusnya aku berteriak saat mereka bubar.” Atira menghembuskan nafas kesal karenanya. Tadi ia tak memperkirakan hal itu. Terdengar krasak krusuk suara langkah beberapa orang di depan rumahnya. Ceklek... Pintu rumah Atira terbuka dari luar dengan pelan-pelan. Atira langsung pura-pura tak sadarkan diri karena mengira bahwa yang datang adalah orang yang berada di sambungan telepon perempuan tadi. “Stop kontaknya sebelah kanan, Pah!” ucap seorang wanita dari luar rumah. Tentunya dengan setengah berbisik, namun Atira tetap mengenali suaranya. “Bu Retno!” ucapnya dalam hati. “Emmmmm...!” Dug... dug... dug.Atira berusaha berbi
Magbasa pa

8. Tertangkap

“Bu, ketemu pencurinya!” ucap Atira senang, seolah-olah ia lupa akan rasa sedihnya yang lain. “Iya.” Bu Retno terus berusaha menggunting tali rapia yang mengikat Atira, namun sayang guntingnya tumpul sehingga ia harus lebih berusaha lagi. “Mah, bisa enggak?” tanya pak Ramli sambil menghampiri mereka. “Ah, susah Pah. Harus pakai pisau kayanya.” Bu Retno segera meletakkan gunting di hadapan pak Ramli, sedangkan ia segera ke dapur. Pak Ramli meraih gunting itu dan segera mengakali untuk membuka tali yang mengikat Atira. “Perempuan!” ucap pak Ramli dengan tatapan tetap fokus pada usahanya memotong tali rapia. “Tuh kan. Tadi juga Tira dengar dia nelpon orang, emang suaranya suara perempuan,” cetus Atira membenarkan ucapan pak Ramli. “Sudah.” Pak Ramli segera memberikan gunting itu kepada Atira, tali pun terlepas semua. “Ayo, kita lihat ke depan!” ajaknya tanpa menunggu Atira. “Loh, kok udah lepas aja? Ini Ibu
Magbasa pa

9. Melawan

“Tunggu!” Semua orang langsung menoleh pada sumber suara. “Bayu!” “Untung kamu datang? Lihat, istrimu disekap sama pencuri wanita ini.” “Untung enggak sampai kenapa-napa, meskipun sempet pingsan dan diikat.” “Dasar!” “Syukurlah, Yu!” “Atira senang, setelah sedih langsung senang dan bulan madu.” “Bay, ibumu lagi sakit, istrimu disekap pencuri.” Beberapa orang menyalami Bayu yang masih terpaku di tempatnya. Langkahnya seolah terpaku setelah ia menerima pujian yang banyak. Atira yang melihat Bayu terdiam menatap dirinya, kemudian wanita itu dan kembali lagi menatapnya, ia paham bahwa wanita itu memang benar adalah istrinya. “Mas Bayu! Huhuhuhuhuhuhuhu... “ teriak wanita itu dengan menangis kencang. Ia pun berusaha melepaskan diri dari cengkeraman bapak-bapak yang menyeretnya. “Tolong lepas istri saya, Pak!” ucap Bayu yang akhirnya melangkahkan kakinya menuju wanita itu. “Bayu!” pak Ramli dan bapak-bapak lain yang berada di sana hampir serentak memanggil namanya. Mereka cukup
Magbasa pa

10. Mulai Ada Titik Terang

“Tira, kamu mau kemana sekarang?” tanya bu Retno sambil membantu Atira mengemasi baju-bajunya. “Entahlah, Bu!” jawab Atira sambil menarik nafas terdalamnya. “Kamu tinggal aja dulu di rumah Ibu,” tawar bu Retno. “Enggak enak ada pak Ramli. Belum lagi rumah Ibu berhadapan langsung dengan mas Bayu.” Atira kembali menarik nafasnya dalam-dalam. “Si Papah enggak bakalan protes. Dia pasti malah senang ada kamu karena kamu kan tahu sendiri kalau Ibu itu enggak punya anak.” Bu Retno berucap sambil membulatkan mulutnya. Ia benar-benar berharap kalau Atira mau tinggal dengannya. Namun tidak demikian dengan Atira, ia merasa bukan anak kecil yang bisa dengan mulusnya menjadi anak angkat pak Ramli. Dia khawatir malah menjadi fitnah di keluarga harmonis bu Retno. “Emmh, bu. Boleh Tira minta tolong lagi?” tanya Atira ragu. Ia meragu bukan karena takut ditolak, tapi ia malu karena terlalu banyak merepotkan. “Boleh. Apapun itu.” Kali ini manik mata bu Retno terfokus menatap Atira, menunggu
Magbasa pa
PREV
123456
...
19
DMCA.com Protection Status