“Tunggu!”
Semua orang langsung menoleh pada sumber suara.“Bayu!”“Untung kamu datang? Lihat, istrimu disekap sama pencuri wanita ini.”“Untung enggak sampai kenapa-napa, meskipun sempet pingsan dan diikat.”“Dasar!”“Syukurlah, Yu!”“Atira senang, setelah sedih langsung senang dan bulan madu.”“Bay, ibumu lagi sakit, istrimu disekap pencuri.”Beberapa orang menyalami Bayu yang masih terpaku di tempatnya. Langkahnya seolah terpaku setelah ia menerima pujian yang banyak.Atira yang melihat Bayu terdiam menatap dirinya, kemudian wanita itu dan kembali lagi menatapnya, ia paham bahwa wanita itu memang benar adalah istrinya.“Mas Bayu! Huhuhuhuhuhuhuhu... “ teriak wanita itu dengan menangis kencang. Ia pun berusaha melepaskan diri dari cengkeraman bapak-bapak yang menyeretnya.“Tolong lepas istri saya, Pak!” ucap Bayu yang akhirnya melangkahkan kakinya menuju wanita itu.“Bayu!” pak Ramli dan bapak-bapak lain yang berada di sana hampir serentak memanggil namanya. Mereka cukup kaget dengan ucapan Bayu.“Tolong, Pak. Tolong lepasin istri saya!” pintanya lagi sambil mencengkeram tangan bapak-bapak yang menyeret wanita yang disebut istrinya. Matanya tajam seolah ia tak ingin dibantah sama sekali.“Atira?” tanya pak Ramli seolah meminta penjelasan.“Oh, perempuan itu Cuma mantan. Dia bukan perempuan baik-baik sehingga saya tinggalkan. Buktinya, ngapain dia masuk ke rumah saya padahal sudah jelas tahu bahwa saya sudah mentalaknya dengan talak tiga,” ucap Bayu dengan mata mengejek. Sudut bibirnya terangkat satu sebagai bentuk penghinaan terbesar.“Kamu jangan asal jeblak, Bay. Kita semua tahu bagaimana Atira selama kau pergi ke negara orang.” Salah seorang tetangga Atira membelanya.“Halah, buktinya dia tidak bisa mengatur keuangan selama aku kirim uang. Dia selalu boros. Beli ini lah, beli itu lah,” ucap Bayu yang merasa yakin jika Atira tidak akan pernah membantahnya, ataupun mengumbar aibnya. Ya, Bayu sangat tahu jika Atira tak pernah sekalipun mengimbar aibnya.Hanya satu hal yang tak disadari Bayu, sikap lemah lembut, penurut dan selalu menutup aib suami adalah bagian dari Atira yang berperan sebagai istri Bayu. Lelaki itu tak pernah tahu dengan tekad Atira yang akan melawan apapun kedzaliman yang timbul dari diri mantan suaminya itu. Dia lupa, jiwa petarung Atira masih mengakar kuat. Apalagi untuk menghadapi Bayu yang bukan suaminya lagi, bukan orang yang harus ia junjung lagi.“Maaf Mas Bayu, anda lupa atau pura-pura lupa kalau selama setahun ini anda tidak memberikan nafkah untuk saya, Anak-anak dan juga ibu. Mas Bayu lupa kalau 3 bulan ini anda tidak memberi kabar apapun kepada kami? Mas Bayu lupa, apa penyebab ibu koma? Apakah karena mendengar kabar baik dari anda kemarin? Maaf, awalnya saya tak pernah berniat membuka aib anda, tapi anda yang mulai. Terimakasih, rasa sakit ini menjadi obat kuat bagi saya. Satu lagi, saya datang ke rumah ini karena mau bawa baju-baju saya dan anak-anak. Lagipula, siapa yang tahu kalau anda membawa perempuan ke dalam rumah Ibu.”Bayu menganga mendapatkan perlawanan yang cukup sengit dari Atira, bahkan tak ada air mata yang mengalir dari kedua sudut matanya.“Bu Retno, boleh saya minta tolong temani masuk ke rumah Ibu? Saya mau ambil baju-baju saya!” ucap Atira dengan wajah tegas.“Iya, Nak. Ibu bantu.” Bu Retno segera mengebor Atira yang berjalan lebih dulu. Mereka berdua meninggalkan tatapan tajam warga dan cemoohan untuk Bayu dan wanita barunya.“Tira, kamu mau kemana sekarang?” tanya bu Retno sambil membantu Atira mengemasi baju-bajunya. “Entahlah, Bu!” jawab Atira sambil menarik nafas terdalamnya. “Kamu tinggal aja dulu di rumah Ibu,” tawar bu Retno. “Enggak enak ada pak Ramli. Belum lagi rumah Ibu berhadapan langsung dengan mas Bayu.” Atira kembali menarik nafasnya dalam-dalam. “Si Papah enggak bakalan protes. Dia pasti malah senang ada kamu karena kamu kan tahu sendiri kalau Ibu itu enggak punya anak.” Bu Retno berucap sambil membulatkan mulutnya. Ia benar-benar berharap kalau Atira mau tinggal dengannya. Namun tidak demikian dengan Atira, ia merasa bukan anak kecil yang bisa dengan mulusnya menjadi anak angkat pak Ramli. Dia khawatir malah menjadi fitnah di keluarga harmonis bu Retno. “Emmh, bu. Boleh Tira minta tolong lagi?” tanya Atira ragu. Ia meragu bukan karena takut ditolak, tapi ia malu karena terlalu banyak merepotkan. “Boleh. Apapun itu.” Kali ini manik mata bu Retno terfokus menatap Atira, menunggu
“Atira!” Zafran menangkap tubuh Atira yang limbung. Wanita itu ada diantara sadar dan tak sadar. Zafran membawanya ke atas sofa di ruang kerja pak Syamsul dan memberinya bantal sebagai senderan. “Om!” panggil Zafran pada pak Salman. Ia meminta penjelasan yang lebih. Kring... kring... Pak Syamsul langsung mengangkat telepon yang berada di meja kerjanya. “Ya.” Beberapa detik pak Syamsul terdiam mendengarkan pembicaraan orang lain yang tak terdengar oleh Zafran dan Atira. “Oke. Kita berangkat sekarang juga.” Dengan segera, pak Syamsul menutup sambungan telepon dan mengambil barang-barang pentingnya. “Zafran, kamu kalau mau nyusul boleh saja, tapi dengan mobil anti pelurumu. Om khawatir ada baku tembak karena sindikat ini bukan sindikat biasa. Lebih aman kalau kamu tunggu di sini!” jelas pak Syamsul. “Om ngejar mereka kemana?” tanya Zafran sambil mengejar pak Syamsul yang telah berjalan keluar ruangannya. “Ke perbatasan kota.” Pak Syamsul pun langsung memberikan atensiny
“Maaf, apa kita saling mengenal sebelum ini?” tanya Atira sambil mengalihkan atensinya ke wajah tampan Zafran. Ia hanya mengira bahwa kepala sekolah ini sangat bertanggung jawab atas tugasnya, namun rupanya ada hal lain yang tak diketahui oleh Atira. Tut... “Hallo!” ucap Zafran saat ia mengangkat telepon yang tersambung ke Bluetooth mobil. Ia tak sempat menjawab pertanyaan Atira. “Bos, kontainer pengangkut anak-anak sudah dilumpuhkan. Tapi paman anda... “Zafran langsung memutus sambungan telepon dan menancap gas, melupakan obrolan tadi dengan Atira. Atira yang jelas mendengar percakapan mereka, tak sampai hati untuk mengusik pikiran Zafran. Ia pun hanya menahan nafas sebisanya, ia merasa sangat menakutkan berada di dalam mobil sport dalam keadaan ngebut. Atira menutup matanya, seperti dejavu ia pernah mengalami hal ini tapi entah kapan dan dimana. Roni, asisten pribadi Zafran berulang kali mencoba menghubungi Zafran lagi tapi tak sekalipun diangkat oleh lelaki tampan itu.
“Tira, ayo kita ke rumah sakit dulu aja. Kita pastiin dulu di sana. Nanti kita juga masih bisa bertemu mereka di rumah sakit.”Tiba-tiba Zafran ada di belakang Atira dan langsung menarik tangannya menuju mobil. Tak ada penolakan apapun dari Atira. Otaknya masih harus mencerna apa dan bagaimana takdir tengah menghampirinya. Zafran membukakan pintu mobil untuk Atira. Wanita yang tengah dilanda bingung itu hanya masuk dan duduk dengan tenang. Bahkan, kali ini Atira langsung memasang sabuk pengamannyapengamannya karena khawatir akan berada di dalam mobil dengan kecepatan tinggi seperti tadi. Selama di perjalanan, tak ada obrolan apapun. Bahkan, untuk air matapun rasanya tak ada yang mau menampakkan diri di pipinya. Sesampainya di rumah sakit, Atira langsung berlari mengekori Zafran yang telah mengetahui dimana ruangan yang mereka tuju dari Roni. “Maaf Pak, ini salah satu ibu korban dan mau cari anaknya.” Zafran langsung berbicara dengan petugas yang sedang berjaga. “Oh, baik.
“Hallo, siapa ini? Hallo!” Atira ingin memastikan siapa yang sedang meneleponnya, meskipun sebenarnya ia mengenali suara bariton yang sudah membersamainya selama delapan tahun. “Saya bapak nya Davin dan Daffa. Temukan Davin dan jangan pernah berharap bertemu lagi dengan Daffa!” ancam Bayu lewat sambungan telepon itu. “Heh, anda yang merasa paling punya hak dan paling benar, anda enggak ingat kan kapan kali terakhir anda berbicara dengan kedua anak anda? Anda masih ingatkah, kapan terakhir memberi mereka sesuap nasi? Anda tahu kapan Daffa berhenti ngompol di kasur? Apakah saat pulang Anda menanyakan kabar anak-anak Anda? Apakah anda tahu mengapa Davin bisa hilang? Kalau kepulangan Anda tidak untuk membantuku untuk menemukan Davin, maka saya peringatkan anda, jangan pernah menyentuh anak saya!” ucap Atira dengan menggebu-gebu. Bahkan, ia bangun dari duduknya dan menunjuk-nunjuk seolah ia sedang marah dengan orang yang berada di hadapannya. Zafran yang melihat Atira mencak-mencak d
“Uhuk... uhuk...!” Atira tersedak dengan minumannya sendiri. Ia kaget karena mendengarkan pengakuan Zafran. Zafran mau mengelus-elus tengkuk Atira demi membantunya saat ia tersedak, tapi gerakan tangan Atira yang melarang Zafran untuk tidak melakukan hal itu, membuat lelaki tampan itu menarik kembali tangannya. Setelah ia merasa jauh lebih baik, Atira menegakkan punggungnya dan menatap tajam Zafran. “Sebenarnya kamu siapa?” tanya Atira dengan tatapan yang sangat tajam, yang bisa membuat lawan bicaranya gagu. Tapi tidak dengan Zafran, kepercayaan dirinya sangat tinggi. “Kamu ingat Adit?” tanya Zafran sambil tersenyum. Atira memutar memorinya saat ia berkuliah dulu. Dulu, ia hanya memiliki satu teman yang bernama Adit. “Enggak mungkin,” ucap Atira yang memang merasa sering menolong Adit saat lelaki itu terkena bully. “Ya, itu aku. Makasih banyak ya!” ucap Zafran tulus. “Enggak mungkin, kamu dulu...” Atira menggantungkan ucapannya. “Gendut banget?” tanya Zafran yang sebenarnya
“Tapi, terpaan masalah yang kualami, membuatku menyadari betapa selama ini aku lupa untuk menuruti perintah Tuhan. Aku sudah memutuskan untuk mengenakan jilbab, sudah saatnya aku menutup aurat. Aku takut ini semacam godaan agar aku tak melaksanakan niatku ini.” Air mata Atira semakin deras mengalir. Bagaimana tidak, ia sangat membutuhkan uang saat ini. Haruskah ia membatalkan niat sucinya? “Tapi, saat ini kamu tidak berjilbab?” tanya Zafran agak heran karena selama bersamanya Atira tidak mengenakan jilbab. “Iya, belum ada. Sebenarnya ada satu di rumah mas Bayu, kemarin rusak karena dijadikan sumpalan mulut,” kekeh Atira yangyang merasa malu karena ucapannya tak sejalan dengan kenyataan. “Kebetulan sekali, pemeran utamanya ceritanya berjilbab, jadi istri Gus gitu. Kalau diangkat juga cerita kamu yang memang awal-awal berjilbab, pasti mendapatkan dukungan netizen. Jadi, tetap film itu akan laku. Ditambah, kamu bisa berdakwah juga dengan apa yang kamu alami. Kamu cantik Tira, cantik lu
Atira dan Zafran tiba di depan IGD Rumah Sakit Polisi, karena sebenarnya mereka tinggal menyebrang dari kafe milik Zafran. “Bos, korban sebelah sini. Mari Bu!” ucap Roni yang segera menghampiri mereka. Lelaki berkulit sawo matang itu pun menganggukkan kepalanya kepada Atira. “Pak, ini ibu korban. Mau lihat apa benar korban merupakan anak dari bu Atira,” ucap Roni pada salah satu petugas kepolisian yang berada di sekitar IGD. “Oh, tunggu dulu sebentar! Dokter minta untuk tidak diganggu terlebih dahulu karena sedang melakukan penanganan yang cukup kritis pada pasien,” jelas petugas polisi. Atira pun mengangguk tanpa mendebat apapun. Ia tahu betapa pentingnya penanganan dokter kali ini. “Lapor Pak! Korban yang ditemukan di markas sindikat itu hanya ada satu orang.” Atira tercekat saat mendengar penuturan salah satu petugas polisi yang melaporkan keadaan tersebut kepada pak Syamsul yang baru datang. Pak Syamsul menganggukkan kepalanyakepalanya s