“Tapi, terpaan masalah yang kualami, membuatku menyadari betapa selama ini aku lupa untuk menuruti perintah Tuhan. Aku sudah memutuskan untuk mengenakan jilbab, sudah saatnya aku menutup aurat. Aku takut ini semacam godaan agar aku tak melaksanakan niatku ini.” Air mata Atira semakin deras mengalir. Bagaimana tidak, ia sangat membutuhkan uang saat ini. Haruskah ia membatalkan niat sucinya? “Tapi, saat ini kamu tidak berjilbab?” tanya Zafran agak heran karena selama bersamanya Atira tidak mengenakan jilbab. “Iya, belum ada. Sebenarnya ada satu di rumah mas Bayu, kemarin rusak karena dijadikan sumpalan mulut,” kekeh Atira yangyang merasa malu karena ucapannya tak sejalan dengan kenyataan. “Kebetulan sekali, pemeran utamanya ceritanya berjilbab, jadi istri Gus gitu. Kalau diangkat juga cerita kamu yang memang awal-awal berjilbab, pasti mendapatkan dukungan netizen. Jadi, tetap film itu akan laku. Ditambah, kamu bisa berdakwah juga dengan apa yang kamu alami. Kamu cantik Tira, cantik lu
Atira dan Zafran tiba di depan IGD Rumah Sakit Polisi, karena sebenarnya mereka tinggal menyebrang dari kafe milik Zafran. “Bos, korban sebelah sini. Mari Bu!” ucap Roni yang segera menghampiri mereka. Lelaki berkulit sawo matang itu pun menganggukkan kepalanya kepada Atira. “Pak, ini ibu korban. Mau lihat apa benar korban merupakan anak dari bu Atira,” ucap Roni pada salah satu petugas kepolisian yang berada di sekitar IGD. “Oh, tunggu dulu sebentar! Dokter minta untuk tidak diganggu terlebih dahulu karena sedang melakukan penanganan yang cukup kritis pada pasien,” jelas petugas polisi. Atira pun mengangguk tanpa mendebat apapun. Ia tahu betapa pentingnya penanganan dokter kali ini. “Lapor Pak! Korban yang ditemukan di markas sindikat itu hanya ada satu orang.” Atira tercekat saat mendengar penuturan salah satu petugas polisi yang melaporkan keadaan tersebut kepada pak Syamsul yang baru datang. Pak Syamsul menganggukkan kepalanyakepalanya s
“Maaf Bu, anak Ibu mengalami penyiksaan yang cukup parah. Selain itu, di dalam darahnya terdapat kandungan obat terlarang dan obat tidur yang berlebih.” Seorang perawat yang sedang mempersiapkan perpindahan Davin menjelaskannya dengan gamblang. “Astaghfirullah. Apa salah anak saya?” ucap Atira sambil terisak. Ah, kalau urusan anak dia masih saja melow meskipun tekadnya untuk mengeraskan hati dan anti air mata sudah ia deklarasikan dalam hatinya. “Tenangkan hatimu, Tira! Serahkan semua urusannya kepada dokter, mereka sudah ahli. Tugasmu hanya berdo’a!” ucap Zafran berusaha menenangkan hati Atira. “Ya, tenang saja! Nanti tim polisi akan meminta keterangan anda untuk mencari bukti-bukti pendukung yang memberatkan para sindikat itu.” Pak Syamsul berbicara dengan lembut. Ia pun merasa kasihan kepada Davin, bagaimana bisa anak berusia sekitar 7 tahun mengalami penyiksaan yang cukup parah. “Memangnya mereka sindikat apa, Om?” tanya Zafran. “Mereka sindikat penjualan anak dan organ
Tiga hari berlalu, Zafran membantu Atira berubah habis-habisan. Tak ada lagi wajah kusam karena Atira sudah memulai perawatan kulit termahal. Memang dasarnya saja yang cantik, hanya sedikit dipoles menjadi wajah kelas bidadari. Belum lagi pakaian, tas dan sepatu bermerek yang sudah disediakan agensi khusus untuk Atira. Atira memasukkan key card apartemen mewahnya ke dalam tas bermerek miliknya. Ia berjalan turun dari lantai 26, di salah satu apartemen mewah di pusat kota Jakarta. Ia masuk ke dalam mobil sedan hitam baru miliknya. Sengaja ia menyimpan mobilnya di parkiran lantai dasar dan khusus parkiran perempuan untuk mempermudah. Setelah duduk di balik kemudi, Atira menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Ia mengusap lembut stir dan semua yang melekat pada dashboard mobilnya. Hari pertama setelah kontrak, ia memilih apartemen dan segala perabotan nya, setelahnya ia melakukan perawatan sampai malam. Hari kedua, ia mengisi penuh lemarinya. Zafran mengatakan kalau semua
Tok... tok... tok... Lamunan Atira buyar langsung saat seseorang mengetuk kaca mobilnya. “Ah, bu Retno.” Senyum Atira mengembang saat ia mendapati bu Retno mengetuk kaca mobilnya. “Bu Retno tahu darimana ini mobilku ya?” tanyanya dalam hati. Pasalnya, kaca mobil milik Atira sangatlah hitam sehingga orang tak dapat melihat ke dalam mobil. Buru-buru Atira menurunkan kaca mobilnya. Ia tak sadar jika kaca mata hitam masih bertengger manis di hidungnya yang mancung. “Maaf, mau cari siapa ya? Kenapa parkir di depan warung saya?” Tanya bu Retno. Wanita paruh baya itu memang selalu stand by di warungnya. Warung yang seringkali menjadi tongkrongan ibu-ibu. “Maaf, saya lagi cari anak saya.” Atira yang menyadari jika bu Retno tak mengenalinya, langsung memainkan perannya dengan apik. Hitung-hitung berlatih peran untuk melancarkan proses shootingnya yang akan dimulai minggu depan. “Memangnya anaknya ada di sini? Sepertinya anda salah alamat. Tolong untuk tidak parkir di depan warung saya, s
“Apa? Bagaimana bisa Bu?” tanya Atira dengan wajah yang memerah. Ia sangat takut jika Daffa akan hilang darinya dan tak mau kembali bersamanya. Kalau bersama Bayu adalah kebahagiaan Daffa, itu tak pernah menjadi masalah buat Atira asalkan Bayu tak membuat dirinya kehilangan Daffa. Bagaimana pun, Bayu memang ayah Daffa dan ia tak berhak untuk memutus hubungan ayah dan anak, apapun masalahnya. “Ya bisa lah, wong tiap hari dia sama papahnya, nempe.... l banget sudah kaya perangko.” Bu Retno dan bu RT terkekeh dan tak menyadari perubahan raut muka Atira. “Ayo, masuk dulu, kita nge-teh!” ajak bu Retno lagi, namun kali ini Atira terpaku di tempatnya dan tak menghitaukan ajakan bu Retno. “Loh, Tira kenapa?” tanya bu RT yang lebih dulu menyadari jika Atira tak sedikitpun beranjak dari tempatnya. “Bu, kenapa ibu kasih Daffa ke Bayu? Kenapa ibu bohongi Tira? Semua yang Tira lakuin sekarang itu semata-mata hanya demi Davin dan Daffa. Kenapa ibu tega?” tanya Atira sambil menutup wajahnya yang
“Jangan manja-manja lu, segala pengen duduk di kursi roda. Ta* aja lu enggak bisa ngurus, mati aja lu!” ucap wanita yang katanya sudah dinikahi oleh Bayu itu kepada bu Asih. Atira menahan bu RT saat ia mau nyelonong masuk dan menggebrak Nita, istri Bayu yang sudah kelewatan kepada bu Asih. Bu RT hendak marah saat ia mendapati tangan Atira menahannya. Tapi, saat ia melihat tangan kanan Atira sedang merekam dengan ponselnya, bu RT pun paham bahwa sekarang bukti rekaman bisa menjadi bukti akurat yang tak terelakkan. Atira bercucuran air mata saat menyaksikan kejadian itu, tapi siapalah dia yang hanya mantan, jika tanpa bukti yang kuat maka ia tidak bisa berbuat apapun. “Hey, nenek tua! Lu harus mati secepatnya. Gue enggak bakalan kasih lu obat, gue mau buang-buangin. Yang penting mas Bayu tahunya kalau lu udah minum obat. Lu juga udah enggak bisa ngomong kan? Enggak bisa ngadu-ngadu hahahahaha. Lagian, kalaupun lu ngadu bisa apa? Mas Bayu itu udah terikat sama gue, dia udah huta
“Pak RT, anda ini pengayom masyarakat, bukannya pembela makhluk asing!” ucap Nita tak terima dengan pembelaan pak RT. “Yang benar saya bela, ditambah yang KTP-nya warga sini adalah... Sukri, coba periksa siapa yang alamat di KTP-nya kampung kita!” titah pak RT kepada Sukri. Terang saja ia membela Atira karena ia lebih percaya dengan cerita dari istrinya tadi, meskipun masih secara garis besar. “Minta maaf dulu, bersimpuh sama Ibu, baru gue lepas.” Suara Atira terdengar mengintimidasi. “Iya, iya, gue minta maaf!” ucap Nita meskipun terdengar terpaksa. Atira melepaskan tangan Nita dan sedikit mendorongnya sehingga wanita itu jatuh terjerembab tepat di depan kaki bu Asih. “I... a... Huhuhuhuhu!” Bu Asih menolak Atira melakukan hal itu, ia takut jika Atira akan mendapatkan masalah kelak karena hal ini. Tapi, tentu saja tidak ada yang memahami akan permintaan bu Asih. Nita bersimpuh di kaki bu Asih sambil menahan nafasnya. Pasalnya, bu Asih memang bau pesing. Dia pun seolah t