“Mama! Mama!”
Suara itu terdengar begitu nyata bagi Atira. Ia merasa mendengar panggilan dari kedua anak kesayangannya.“Heemmm.” Hanya ucapan itu yang mampu keluar dari mulutnya.“Mama!”Terdengar lagi panggilan itu, panggilan Davin dan Daffa yang kini terdengar lebih nyaring bagi Atira.“Hemmm.” Kembali, hanya suara itu yang mampu ia katakan untuk menjawab panggilan dari kedua anaknya.“Mama! Mama bangun, Ma! Mama jangan tinggalin kita!”“Iya, jangan tinggalin kita kaya Nenek! Bangun, Ma!”Atira tersentak dari ketakberdayaannya. Ia harus menggaris bawahi kalimat meninggalkan kami seperti Nenek. Apakah suara-suara itu isi hati Davin dan Daffa.Dengan keinginannya yang kuat, Ia meminta pertolongan Tuhan agar segera membawanya kembali.“Davin, Daffa!” lirihnya seraya membuka mata dan langsung mencari sosok orang yang ia cari.“Mama! Papa, Mama sadar,” pekik Davin sambil mengalihkan pandangannya ke belakang.Zafran“Ah, enggak apa-apa,” sangkal bu Retno yang merasa tak perlu banyak berbasa-basi dengan orang yang baru dikenalnya. Bu Retno memang tahu bahwa bu Nurul dan putranya adalah dua orang yang telah menyelamatkan Atira. Ia berbuat baik kepada wanita yang ia sayangi seperti anaknya sendiri, tapi ia belum mau begitu terbuka dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia masih harus berhati-hati. Bahkan, dirinya pun sudah pernah menjadi orang yang membahayakan bagi orang-orang yang berada di sekitar Atira. “Bu Asih,” lirihnya pelan. Ia masih merasakan sakit luar biasa saat mengetahui fakta bahwa bu Asih telah tiada. Padahal, ia pernah akan meracuni pak Suwardi dan istrinya, hanya untuk ditukar dengan keselamatan bu Asih. Janji orang jahat memang tak dapat dipercaya. “Kenapa, Bu?” tanya bu Nurul yang masih mendengar ucapannya, meskipun pelan. “Ah, emmhh... itu... “ bu Retno tergagap mendengar pertanyaan dari bu Nurul. “Nenek, ayo masuk!” seru Davin yang tiba-tiba mu
“Jadi, kapan hubungan kalian putus?” tanya pak Hilman saat dokter Fajar baru duduk. “Mohon maaf, Pa! Saya belum sempat datang menghadap Papa!” ucap Fajar masih dengan kepala tertunduk. Sedari dulu, Ia memang begitu segan dengan pak Hilman yang merupakan cendikiawan dalam bidang kesehatan. Sedangkan, keluarga besarnya merupakan pejabat publik yang memiliki pengaruh besar di negri ini, mulai dari orang tua sampai saudara-saudaranya, semua merupakan pejabat pemerintahan. “Heemmmmhhh,” Pak Hilman menghembuskan nafas panjangnya. Ia diliputi perasaan kecewa, tapi ia pun tak bisa menuntut apapun karena ia mengetahui bahwa Yasmin lah yang salah. “Jadi, sesibuk apa kamu? Sampai-sampai tak sekalipun sempat untuk mengembalikan Yasmin padaku!” tanya pak Hilman tanpa menatap dokter Fajar, namun lelaki itu seolah ditelanjangi oleh pertanyaan lelaki paruh baya itu. “Maaf.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Fajar. Ia tak membela diri sedikitpun. “Kau juga sibuk mengejar istri orang.” Tiba
Atira menutup buku Yasin yang ia baca di depan makam bu Asih. Ia pun memandangi makam yang berada di sebelah kanannya, yang masih tertutup gundukan tanah merah, tanda makam itu masih baru. Sedangkan, sebelah kirinya ada makam kecil yang juga masih bergunduk tanah Merah, makam anak yang belum pernah lahir ke dunia bahkan belum diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja, Zafran dan Atira sepakat menamainya dengan nama Ahmad, sebuah nama yang ia sandarkan kepada sosok agung yang ia kagumi. “Sayang, ayo!” Zafran meletakkan tangan di atas pundak Atira. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu mengajak Atira untuk beranjak dari sana. Atira mengangguk tanpa menoleh. Ia pun menghapus sisa air matanya, kemudian ia bangkit dan berbalik, mengikuti langkah Zafran. Mereka pun berjalan ke arah mobil dengan bergandengan tangan. Zafran mempersilakan Atira untuk menaiki mobil jenis high MPV milik mereka terlebih dahulu. “Sayang, bagaimana dengan kasus mas Bayu dan... Emmhh... “ pertan
“Apa maksudnya, Mas?” tanya Atira saat mendengar ikrar talak dari suaminya melalui sambungan telepon. Ia berharap jika dirinya sedang mendapatkan prank saja tepat di hari ini, hari ulang tahunnya. “Kurang jelas? Selama hidup bersamamu Aku tak pernah bahagia. Oleh sebab itu aku memutuskan untuk mentalak kau detik ini juga,” jawab Bayu, lelaki yang telah membersamainya selama delapan tahun dan memberi Atira dua orang anak lelaki. “Mas, ikrar talak itu enggak bisa dipermainkan. Walaupun bercanda, tapi jika kata talak sudah diucapkan maka jatuhlah talak untuk istri. Apa kau sadar dengan ucapanmu, Mas?” cicit Atira dengan air mata yang telah menganak sungai. Ia pun menerima telepon dari suaminya dengan terduduk lemas di lantai rumah. “Saya enggak main-main, Tira. Saya tegaskan sekali lagi bahwa saya mentalakmu, bahkan... sekalian saja saya talak kau dengan talak tiga. Mulai detik ini kau bukan lagi istriku dan tak akan pernah lagi jadi istriku” jawab Bayu dengan suara yang lebih kencang.
“Bu, Mas Bayu menceraikan Atira.” Atira menatap kosong ke depan dengan tangan yang terus memukuli dada. Akhirnya, ia bisa mengungkapkan rasa sedihnya. “Maksudnya apa, Tira? Apa? Hah?” tanya bu Asih sambil menatap Atira dengan penuh tanya. “Sakit, Bu. Sakit banget!” Keluh Atira sambil menepuk-nepuk dadanya lagi. “Mas Bayu, ia talak Atira, Bu.” Atira kembali menitikkan air matanya, bahkan pukulan tangannya semakin kencang ke dada seolah ia menunjukkan rasa sakit yang sangat. “Enggak ada, Bayu enggak mungkin melakukan hal itu, Tira. Lagipula, kapan dia mengucapkan ikrar talak? Udah lama Bayu enggak ada kabar. Jangan ngada-ngada!” sanggah bu Asih yang tak mau percaya dengan ucapan Atira. Namun demikian, hati bu Asih merasakan denyut nyeri seolah ia percaya dengan ucapan Atira. “Barusan mas Bayu telpon dan bilang kalau dia ceraikan Atira dengan talak 3.” Atira menatap manik mata bu Asih yang sudah bersimbah air mata. Mendengar penuturan Atira itu, bu Asih segera mencari ponsel mi
“Ah, baik saya ke sana sekarang!” ucap Atira sambil terus berpikir bagaimana dengan Davin. “Masuklah! Biar ibu hubungi Danu untuk jemputkan Davin.”Atira mengangguk tanpa menolak tawaran bantuan dari bu RT. Danu adalah anak pertama bu RT yang kini bekerja di balai desa. Saat memasuki ruangan penghubung, Atira diminta untuk mencuci tangan dan mengenakan pakaian khusus pengunjung pasien di ruang ICU. Setelah itu, Atira dibawa masuk ke tempat dimana brankar bu Asih diletakkan. “Mohon maaf, dari tadi pasien mengigau memanggil-manggil nama Bayu. Dokter menyarankan agar keluarga pasien diminta untuk menemani bu Asih guna memberikan rangsangan dengan harapan agar pasien segera sadar.” Perawat itu menjelaskan dengan cukup rinci, hanya saja hati Atira yang kini bertambah hancur saat mendengarkan penjelasannya. Ibu mertuanya terus memanggil nama Bayu. “Bagaimana, Bu? Bisa menghadirkan Bayu?” tanya perawat itu lagi. “Emmhh, gimana ya Sus? Dari tadi saya sudah coba hubungi mas Bayu t
“Siapa yang jemput anak saya, Mang?” teriak Atira yang mulai histeris. “Kamu beneran lihat Davin dijemput pakai mobil, Rul? Kamu enggak salah ngenalin orang?” tanya pak Ari ingin memastikan. “Enggak atuh. Saya memang suka sama Davin, anaknya ganteng, ramah, sopan, pinter lagi. Jadi, saya suka nyapa kalau ketemu. Biasanya kan saya datang ke sekolah enggak telat kaya hari ini.” Mang Sahrul meyakinkan bahwa dirinya tak salah mengenali orang. “Tadi lihat orang yang bawa Davin nya siapa?” tanya pak Ari lagi. “Enggak, soalnya tadi Davin naik sendiri ke mobil. Enggak tahu orang yang bawanya udah masuk duluan pas saya belum lihat. Pokoknya, pas dia mau masuk mobil saya tanya, Davin pulang sama siapa? Dia jawab sama mamah. Tadi saya berdiri di agak jauh di belakang mobil, jadi enggak lihat ke dalam mobil.” Mang Sahrul terdiam untuk mengingat sesuatu. “Mang, saya belum jemput Davin. Saya baru dari rumah sakit.” Atira terduduk di atas trotoar. Dunianya serasa berhenti di detik ini juga
Atira berbelok menuju rumah sakit kota. Ia pun segera mencari tempat parkir dan segera turun menuju ruang ICU. “Atira!” panggil bu RT yang melihat Atira meskipun dari kejauhan. “Bu, masih di sini? Ini udah mau malem!” ucap Atira yang merasa tak enak hati sudah merepotkan bu RT.“Enggak apa-apa. Habisnya kamu lama banget, mau ditinggal kasihan, daritadi bu Asih nangis terus.” Atira membulatkan matanya saat mendengar kabar bahwa bu Asih menangis. “Ibu nangis? Ibu sadar?” tanya Atira penuh harap. Bu RT menggelengkan kepalanya. “Bu Asih cuma ngigo, sama kaya tadi waktu kamu masuk. Tadi, karena saya bilang saya keluarga, jadi dibolehin masuk. Saya ngaji dekat bu Asih, dia nangis. Kata dokter, itu respon yang cukup baik.” Atira mendengarkan tanpa menanggapi ucapan bu RT. “Oya, tadi ada dokter. Katanya ada tindakan yang butuh persetujuan keluarga. Saya bilang harus rembukan dulu sama keluarga yang lain.” “Tindakan apa, Bu?” tanya Atira yang kini mengalihkan atensinya untuk bu