“Siapa yang jemput anak saya, Mang?” teriak Atira yang mulai histeris.
“Kamu beneran lihat Davin dijemput pakai mobil, Rul? Kamu enggak salah ngenalin orang?” tanya pak Ari ingin memastikan.“Enggak atuh. Saya memang suka sama Davin, anaknya ganteng, ramah, sopan, pinter lagi. Jadi, saya suka nyapa kalau ketemu. Biasanya kan saya datang ke sekolah enggak telat kaya hari ini.” Mang Sahrul meyakinkan bahwa dirinya tak salah mengenali orang.“Tadi lihat orang yang bawa Davin nya siapa?” tanya pak Ari lagi.“Enggak, soalnya tadi Davin naik sendiri ke mobil. Enggak tahu orang yang bawanya udah masuk duluan pas saya belum lihat. Pokoknya, pas dia mau masuk mobil saya tanya, Davin pulang sama siapa? Dia jawab sama mamah. Tadi saya berdiri di agak jauh di belakang mobil, jadi enggak lihat ke dalam mobil.” Mang Sahrul terdiam untuk mengingat sesuatu.“Mang, saya belum jemput Davin. Saya baru dari rumah sakit.” Atira terduduk di atas trotoar. Dunianya serasa berhenti di detik ini juga.“Bu, mari saya bantu berdiri!” ucap pak Ari saat melihat Atira terduduk di atas trotoar depan sekolah, sungguh dia tak sampai hati.“Davin!” ucap Atira lirih. Air matanya pun kini menganak sungai lagi.“Kamu kenapa enggak larang?” tanya pak Ari kesal.“Loh, mana saya tahu. Davin nya aja terlihat santai dan enggak seperti terpaksa.” Mang Sahrul membela dirinya saat ia disalahkan. Ia memang senang dengan Davin, tapi ia juga tak mau jika disalahkan karena ia tak menemukan kejanggalan apapun saat Davin menaiki mobil hitam itu.“Saya mau hubungi pak kepala sekolah dulu.” Ucap pak Ari seraya mengeluarkan ponsel jadulnya.“Pak, tolong saya Pak! Tolong bantu cari anak saya!” ucap Atira yang kini berdiri di hadapan pak Ari dan mang Sahrul. Ia bertekad untuk tak menjadi lemah sebelum semuanya terlambat.“Saya usahakan Bu. Barusan Bapak kepala sekolah juga sedang dalam perjalanan, langsung putar balik lagi.”“Bukannya kepala sekolahnya Bu Mira ya?” tanya Atira yang sudah mengenali bu Mira dari semenjak memasukkan Davin ke sekolah ini.“Baru ganti tadi, Bu!” jawab pak Ari.“Iya, baru sertijab tadi, alias serah Terima jabatan.” Mang Sahrul menimpali.“Saya minta akses cctv pak. Barangkali ada petunjuk dari sana,” pinta Atira.“Oh, iya. Mari Bu!” ujar pak Ari seraya berjalan ke dalam sekolah.Atira mengekori pak Ari dan mang Sahrul, OB sekolah itu tak melaksanakan tugasnya demi membantu menemukan Davin.“Silakan masuk Bu!” ujar pak Ari saat mereka memasuki ruang keamanan. Ia pun segera mengotak-atik rekaman CCTV yang berada di beberapa sudut ruangan sekolah.“Dimulai dari jam bubar sekolah aja, Pak!” pinta Avira yang diangguki oleh pak Ari.“Nah, itu Davin!” ucap Atira seraya menunjuk seorang anak lelaki yang hendak keluar gerbang.“Iya, itu Davin,” sahut mang Sahrul.Pak Ari menghentikan rekaman dan memperbesar gambar Davin. Meskipun rekaman itu tak sejelas gambar bluray, tapi pak Ari cukup bisa mengenali.“Oooh, ini namanya Davin. Saya tahu kalau ini, cuma namanya lupa lagi,” ucap pak Ari.“Tadi lihat, Pak?” tanya Atira sambil memfokuskan pandangannya pada gambar CCTV yang kini telah di play lagi oleh pak Ari.“Seperti biasa, tadi Davin lewat dan ngucapin selamat siang. Habis itu saya enggak memperhatikan lagi. Dan... tadi enggak ada anak yang terlambat dijemput.”“Davin naik mobil pas anak-anak masih ramai. Saya tadi lewat ke sekolah.” Mang Sahrul menguatkan pendapat pak Ari.Atira tak begitu menghiraukan obrolan pak Ari dan mang Sahrul. Ia lebih fokus dengan gambar CCTV yang memperlihatkan Davin. Ia fokus dari satu titik CCTV, berpindah ke titik yang lain.“Pak, itu Davin kaya ngobrol sama seseorang. Tapi orangnya enggak kelihatan. Ada cctv di sebelah kanan gerbang, Pak? Pinggir jalan,” ucap Atira yang merasa kehilangan jejak Davin.“Enggak ada, Bu. Ini yang terakhir.” Pak Ari menunjuk monitor dari rekaman CCTV di depan gerbang sekolah.“Assalamu’alaikum. Selamat siang!” suara bariton memecahkan kebingungan mereka.“Waalaikumsalam.” Jawab mereka serempak.“Pak Zafran!” panggil pak Ari saat Zafran, kepala sekolah masuk ke dalam ruangan.Manik mata Zafran menatap lekat ke arah Atira. “Anda?” tanya Zafran seraya menunjuknya.“Iya pak Kepala. Tolong bantu temukan anak saya!” pinta Atira tanpa basa-basi.“Mbak enggak ngenalin saya?” tanya Zafran sambil mengerutkan keningnya.“Mohon maaf Pak, saya belum tahu kalau bu Mira digantikan oleh Bapak. Saya mohon bantu temukan anak saya!” pinta Atira memohon dengan berurai air mata.“Baik.kita hubungi polisi.” Zafran segera mengeluarkan ponsel bernilai motor miliknya.“Tapi Pak, belum 1x24 jam, apa bisa?” tanya Pak Ari.“Tadi kamu bilang ada rekaman CCTV dan saksi? Sahrul jadi saksi. Iya kan?” tanya Zafran sambil memicingkan matanya.“Iya, Pak.” Jawab pak Ari dengan tegas.“Berarti bisa. Lagipula, polisinya kan Pak Syamsul. Kalian kenal?” tanya Zafran seraya mendial nomor yang akan dihubunginya.“Kenal pak. Suaminya bu Mira, paman anda.” Jawab pak Ari dengan gaya pasukan.Zafran segera berlalu keluar dan melaporkan penculikan yang menimpa anak didiknya.***“Mbak pulang saja, tunggu kabar di rumah! Kasus ini sudah berada di bawah penyelidikan polisi, percayakan kasusnya sama mereka!” ucap Zafran panjang lebar.“Saya belum tenang, Pak! Saya belum tenang kalau belum tahu keadaan anak saya.” tangis Atira kembali pecah.“Mbak yang sabar! Orang sabar disayang Tuhan!” ucap Zafran berusaha menenangkan hati Atira.“Hehh, masih ada Tuhan buat saya?” ungkap Atira yang membuat Zafran mengelus dada.“Mbak harus sabar, semua pasti ada jalan keluarnya. Yakinlah itu, jangan sampai kehilangan arah karena hal ini!” nasihat Zafran yang mulai khawatir melihat keengganan Atira untuk bersandar pada Tuhan.“Sudahlah Pak, Bapak Zafran tidak tahu permasalahan hidup saya. Yang pasti, saya minta tolong jika ada kabar dari kepolisian saya minta dikabari. Saya harus pergi dulu.” Atira bangun dari duduknya dan melangkah pergi.Atira betul-betul putus asa, terlebih permintaan sekolah yang ingin kasus ini diselidiki tapi bersih dari media. Mereka tak ingin sekolah mendapatkan penilaian buruk dari khalayak umum. Tak apa, yang penting Davin kembali tanpa kurang satu pun.Atira melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Ia teringat dengan keadaan bu Asih yang saat ini dirawat di ruang ICU. Tak ada kabar dari bu RT membuat Atira bimbang memikirkan keadaan bu Asih.Berkali-kali Atira kembali menghubungi Bayu, tapi selalu gagal. Nomornya sudah tak bisa dihubungi.“Aku lelah!” ucap Atira lirih sambil terus melaju. Ia tak menyadari bahwa ada seseorang yang mengikutinya menggunakan motor koopling merah.Atira berbelok menuju rumah sakit kota. Ia pun segera mencari tempat parkir dan segera turun menuju ruang ICU. “Atira!” panggil bu RT yang melihat Atira meskipun dari kejauhan. “Bu, masih di sini? Ini udah mau malem!” ucap Atira yang merasa tak enak hati sudah merepotkan bu RT.“Enggak apa-apa. Habisnya kamu lama banget, mau ditinggal kasihan, daritadi bu Asih nangis terus.” Atira membulatkan matanya saat mendengar kabar bahwa bu Asih menangis. “Ibu nangis? Ibu sadar?” tanya Atira penuh harap. Bu RT menggelengkan kepalanya. “Bu Asih cuma ngigo, sama kaya tadi waktu kamu masuk. Tadi, karena saya bilang saya keluarga, jadi dibolehin masuk. Saya ngaji dekat bu Asih, dia nangis. Kata dokter, itu respon yang cukup baik.” Atira mendengarkan tanpa menanggapi ucapan bu RT. “Oya, tadi ada dokter. Katanya ada tindakan yang butuh persetujuan keluarga. Saya bilang harus rembukan dulu sama keluarga yang lain.” “Tindakan apa, Bu?” tanya Atira yang kini mengalihkan atensinya untuk bu
Atira mengerjapkan matanya pelan. “Aww, sakit!” desisnya saat ada rasa nyeri di bagian punggung. Ia terbangun dengan suara adzan yang saling bersahutan. Atira pun berniat memeriksa pundak yang terasa sangat sakit, seperti habis tertimpa sesuatu. “Hah? Apaan ini?” ucap Atira saat ia tidak bisa menggerakkan tangannya sama sekali. Hal ini pun membuat kesadaran Atira pulih sepenuhnya. “Apaan ini?” lirih Atira saat ia mendapati tangan dan kakinya terikat. Ia yang terikat tangan dan kaki dalam keadaan tertidur miring ke kanan, langsung duduk dan bergeser secepat yang ia bisa ke arah pintu. Untung saja, kondisi luar yang terang dengan lampu memudahkan ia mengetahui dimana posisi pintu. Sesampainya di depan pintu, ia pun berusaha berdiri dan berhasil, meskipun sangat sulit. Ia khawatir orang yang mengikatnya adalah orang jahat dan nekad. Karena tangannya diikat ke belakang, ia pun memunggungi pintu dan meraih gagangnya. Atira memutar gagang pintu dan menariknya, namun usahanya gagal ka
“Siapa dia?” gumam Atira pelan. Ia pun berusaha menoleh ke arah perempuan itu. Nihil. Selain gelap, perempuan itu melakukan panggilan di ruangan lain. Atira terdiam dan berpikir, dari cara perempuan itu berbicara, ia terdengar ketakutan dan kemungkinan nyawanya aman untuk sementara. “Ah ya, tadi kayanya adzan subuh. Biasanya bapak-bapak banyak yang ke Mesjid. Harusnya aku berteriak saat mereka bubar.” Atira menghembuskan nafas kesal karenanya. Tadi ia tak memperkirakan hal itu. Terdengar krasak krusuk suara langkah beberapa orang di depan rumahnya. Ceklek... Pintu rumah Atira terbuka dari luar dengan pelan-pelan. Atira langsung pura-pura tak sadarkan diri karena mengira bahwa yang datang adalah orang yang berada di sambungan telepon perempuan tadi. “Stop kontaknya sebelah kanan, Pah!” ucap seorang wanita dari luar rumah. Tentunya dengan setengah berbisik, namun Atira tetap mengenali suaranya. “Bu Retno!” ucapnya dalam hati. “Emmmmm...!” Dug... dug... dug.Atira berusaha berbi
“Bu, ketemu pencurinya!” ucap Atira senang, seolah-olah ia lupa akan rasa sedihnya yang lain. “Iya.” Bu Retno terus berusaha menggunting tali rapia yang mengikat Atira, namun sayang guntingnya tumpul sehingga ia harus lebih berusaha lagi. “Mah, bisa enggak?” tanya pak Ramli sambil menghampiri mereka. “Ah, susah Pah. Harus pakai pisau kayanya.” Bu Retno segera meletakkan gunting di hadapan pak Ramli, sedangkan ia segera ke dapur. Pak Ramli meraih gunting itu dan segera mengakali untuk membuka tali yang mengikat Atira. “Perempuan!” ucap pak Ramli dengan tatapan tetap fokus pada usahanya memotong tali rapia. “Tuh kan. Tadi juga Tira dengar dia nelpon orang, emang suaranya suara perempuan,” cetus Atira membenarkan ucapan pak Ramli. “Sudah.” Pak Ramli segera memberikan gunting itu kepada Atira, tali pun terlepas semua. “Ayo, kita lihat ke depan!” ajaknya tanpa menunggu Atira. “Loh, kok udah lepas aja? Ini Ibu
“Tunggu!” Semua orang langsung menoleh pada sumber suara. “Bayu!” “Untung kamu datang? Lihat, istrimu disekap sama pencuri wanita ini.” “Untung enggak sampai kenapa-napa, meskipun sempet pingsan dan diikat.” “Dasar!” “Syukurlah, Yu!” “Atira senang, setelah sedih langsung senang dan bulan madu.” “Bay, ibumu lagi sakit, istrimu disekap pencuri.” Beberapa orang menyalami Bayu yang masih terpaku di tempatnya. Langkahnya seolah terpaku setelah ia menerima pujian yang banyak. Atira yang melihat Bayu terdiam menatap dirinya, kemudian wanita itu dan kembali lagi menatapnya, ia paham bahwa wanita itu memang benar adalah istrinya. “Mas Bayu! Huhuhuhuhuhuhuhu... “ teriak wanita itu dengan menangis kencang. Ia pun berusaha melepaskan diri dari cengkeraman bapak-bapak yang menyeretnya. “Tolong lepas istri saya, Pak!” ucap Bayu yang akhirnya melangkahkan kakinya menuju wanita itu. “Bayu!” pak Ramli dan bapak-bapak lain yang berada di sana hampir serentak memanggil namanya. Mereka cukup
“Tira, kamu mau kemana sekarang?” tanya bu Retno sambil membantu Atira mengemasi baju-bajunya. “Entahlah, Bu!” jawab Atira sambil menarik nafas terdalamnya. “Kamu tinggal aja dulu di rumah Ibu,” tawar bu Retno. “Enggak enak ada pak Ramli. Belum lagi rumah Ibu berhadapan langsung dengan mas Bayu.” Atira kembali menarik nafasnya dalam-dalam. “Si Papah enggak bakalan protes. Dia pasti malah senang ada kamu karena kamu kan tahu sendiri kalau Ibu itu enggak punya anak.” Bu Retno berucap sambil membulatkan mulutnya. Ia benar-benar berharap kalau Atira mau tinggal dengannya. Namun tidak demikian dengan Atira, ia merasa bukan anak kecil yang bisa dengan mulusnya menjadi anak angkat pak Ramli. Dia khawatir malah menjadi fitnah di keluarga harmonis bu Retno. “Emmh, bu. Boleh Tira minta tolong lagi?” tanya Atira ragu. Ia meragu bukan karena takut ditolak, tapi ia malu karena terlalu banyak merepotkan. “Boleh. Apapun itu.” Kali ini manik mata bu Retno terfokus menatap Atira, menunggu
“Atira!” Zafran menangkap tubuh Atira yang limbung. Wanita itu ada diantara sadar dan tak sadar. Zafran membawanya ke atas sofa di ruang kerja pak Syamsul dan memberinya bantal sebagai senderan. “Om!” panggil Zafran pada pak Salman. Ia meminta penjelasan yang lebih. Kring... kring... Pak Syamsul langsung mengangkat telepon yang berada di meja kerjanya. “Ya.” Beberapa detik pak Syamsul terdiam mendengarkan pembicaraan orang lain yang tak terdengar oleh Zafran dan Atira. “Oke. Kita berangkat sekarang juga.” Dengan segera, pak Syamsul menutup sambungan telepon dan mengambil barang-barang pentingnya. “Zafran, kamu kalau mau nyusul boleh saja, tapi dengan mobil anti pelurumu. Om khawatir ada baku tembak karena sindikat ini bukan sindikat biasa. Lebih aman kalau kamu tunggu di sini!” jelas pak Syamsul. “Om ngejar mereka kemana?” tanya Zafran sambil mengejar pak Syamsul yang telah berjalan keluar ruangannya. “Ke perbatasan kota.” Pak Syamsul pun langsung memberikan atensiny
“Maaf, apa kita saling mengenal sebelum ini?” tanya Atira sambil mengalihkan atensinya ke wajah tampan Zafran. Ia hanya mengira bahwa kepala sekolah ini sangat bertanggung jawab atas tugasnya, namun rupanya ada hal lain yang tak diketahui oleh Atira. Tut... “Hallo!” ucap Zafran saat ia mengangkat telepon yang tersambung ke Bluetooth mobil. Ia tak sempat menjawab pertanyaan Atira. “Bos, kontainer pengangkut anak-anak sudah dilumpuhkan. Tapi paman anda... “Zafran langsung memutus sambungan telepon dan menancap gas, melupakan obrolan tadi dengan Atira. Atira yang jelas mendengar percakapan mereka, tak sampai hati untuk mengusik pikiran Zafran. Ia pun hanya menahan nafas sebisanya, ia merasa sangat menakutkan berada di dalam mobil sport dalam keadaan ngebut. Atira menutup matanya, seperti dejavu ia pernah mengalami hal ini tapi entah kapan dan dimana. Roni, asisten pribadi Zafran berulang kali mencoba menghubungi Zafran lagi tapi tak sekalipun diangkat oleh lelaki tampan itu.