Atira berbelok menuju rumah sakit kota. Ia pun segera mencari tempat parkir dan segera turun menuju ruang ICU.
“Atira!” panggil bu RT yang melihat Atira meskipun dari kejauhan.“Bu, masih di sini? Ini udah mau malem!” ucap Atira yang merasa tak enak hati sudah merepotkan bu RT.“Enggak apa-apa. Habisnya kamu lama banget, mau ditinggal kasihan, daritadi bu Asih nangis terus.”Atira membulatkan matanya saat mendengar kabar bahwa bu Asih menangis.“Ibu nangis? Ibu sadar?” tanya Atira penuh harap.Bu RT menggelengkan kepalanya. “Bu Asih cuma ngigo, sama kaya tadi waktu kamu masuk. Tadi, karena saya bilang saya keluarga, jadi dibolehin masuk. Saya ngaji dekat bu Asih, dia nangis. Kata dokter, itu respon yang cukup baik.” Atira mendengarkan tanpa menanggapi ucapan bu RT.“Oya, tadi ada dokter. Katanya ada tindakan yang butuh persetujuan keluarga. Saya bilang harus rembukan dulu sama keluarga yang lain.”“Tindakan apa, Bu?” tanya Atira yang kini mengalihkan atensinya untuk bu RT.“Enggak ngerti pasti, maklum saya lulusan SMP, enggak ngerti. Nanti kamu temuin dokternya aja lagi. Kalau enggak salah, operasi atau apa gitu.” ucap bu RT.“Ya, ini harus atas persetujuan mas Bayu.” Ucap Atira lirih.“Ya sudah, kamu telepon Bayu aja!” titah bu RT.“Sudah saya coba Bu, tapi enggak berhasil.” ucap Atira sambil bersender ke senderan kursi.“Mamah!” panggil seorang lelaki paruh baya ke arah Atira dan bu RT.“Eh, papah. Untung papah datang, kok enggak bisa dihubungi?” tanya bu RT kepada suaminya yang baru datang.“Mamah kenapa enggak aktif sih? Enggak bisa dihubungi?” keluh pak RT.“Ada juga papah yang enggak bisa dihubungi.” Keluh bu RT sambil mencebikkan bibirnya. “Danu enggak bisa dihubungi, Atira juga tadi enggak bisa dihubungi. Mana ibu enggak bawa dompet lagi.” Bu RT meluapkan emosinya kepada pak RT.“Ibu telpon saya? Kok, enggak ada telpon dari ibu?”Atira mengotak-atik ponselnya yang kini sudah lowbat. Ia mencoba mencari riwayat panggilan masuk dari bu RT.“Mah, ini!” Danu yang baru datang segera menyerahkan bungkusan nasi padang kepada bu RT.“Ya ampun Danu, bukannya dari tadi. Mamah udah mau pingsan karna lapar,” cerocos bu RT sambil membuka bungkusan dan membaginya satu untuk Atira.“Maaf ya, Tira ngerepotin semuanya!” ucap Atira yang merasa tak enak hati.“Eh, bukan begitu, Tira. Ibu Cuma sebel sama dua orang lelaki tak karuan ini, punya ponsel keren kok pada enggak bisa dihubungi.”Bu RT berbicara dengan mulut penuh rendang. Ia makan seolah-olah baru menemukan makanan setelah sekian purnama.“Mamah, coba lihat deh! Bukan ponsel Danu yang bermasalah, tapi kuota mamah yang enggak ada.” Danu memperlihatkan sisa kuota dari provider milik ibunya.“Sudah ah, mamah lapar. Makan jangan bersuara!” ucap bu RT yang membuat mereka tergelak karena mengelak akan kesalahannya sendiri, kecuali Atira.***“Ah ya, lu langsung masuk aja! Bener, dari situ belok kiri paling ujung, udah kelihatan ICU.”Danu meletakkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia kembali terduduk dan memandangi Atira, wanita yang sempat menjadi incarannya kala itu.Atira sudah menceritakan perihal talaknya dan penyebab bu Asih terkena serangan jantung dan koma.Bu RT merasa geram dan hilang respek terhadap Bayu, sedangkan pak RT hanya manggut-manggut berusaha menutupi kesedihan yang juga ia rasakan.“Bayu sudah ada di lobby!” ucap Danu seraya menatap penuh rasa iba kepada Atira.“Mamah mau pites dia!” ucap bu RT menggebu-gebu.“Sudahlah, Bu. Ini rumah sakit.” Pak RT mengelus punggung bu RT, berharap istrinya tidak tersulut emosi.“Lihat Tira, Pah! Davin entah dimana, bu Asih koma, sedangkan dia... ““Bu...!” Danu dan pak RT menegur wanita paruh baya itu agar tak melanjutkan ucapannya.Atira segera beranjak dari tempat duduknya.“Tira, mau kemana?” tanya bu RT yang khawatir dengan kondisi mental perempuan muda itu.“Aku harus mewaraskan pikiran dulu, Bu. Aku rasa tak perlu bertemu mas Bayu.”“Tira, kamu harus hadapi dan jangan lari! Ada aku dan kedua orang tuaku yang masih dukung kamu!” ucap Danu seraya mensejajari langkah Atira.“Aku perlu waras dulu, Dan. Sebelum aku memutuskan maju ke medan perang.” Mata Atira berkaca-kaca saat mengatakan itu semua.“Tapi, izinkan aku menemani kamu ya!” ucap Danu yang tak dijawab oleh Atira. Ia terus melangkahkan kakinya ke arah parkiran motor. Ia pun segera menaiki kuda besi itu.“Tira, malam-malam begini kamu mau kemana?” tanya Danu yang sangat khawatir dengan keadaan Atira.“Tolong Dan, jangan cegah. Aku Cuma mau minta kabari kalau ada apa-apa dengan ibu.” Atira langsung menstarter motor bututnya. “Enggak usah khawatir, kamu ingat kan kalau dulu aku juara taekwondo?” kekeh Atira seraya menancap gas dan meninggalkan Danu yang masih setia melihat kepergian Atira. Lelaki itu kini tengah disibukkan lagi dengan kenangannya tentang Atira.***Atira menyusuri jalanan malam yang lengang. Ia berniat untuk pergi ke rumahnya, tepatnya rumah Bayu. Ia ingin mengepak semua pakaian miliknya dan milik anak-anak. Tak ada lagi alasan yang membenarkan jika dia harus tetap tinggal di rumah itu. Meskipun ia sangat menyayangi bu Asih, namun bu Asih tetaplah ibunya Bayu. Jika hubungannya dengan Bayu berakhir, maka hubungan mertua menantu mereka pun ikut berakhir. Meskipun kasih sayang diantara mereka tak akan hilang.“Mas Bayu pulang pasti bawa perempuan itu, aku belum siap, aku belum punya perlengkapan perang,” lirihnya sambil menatap kosong ke depan. “Kamu pulang dari Jepang, tapi... aku enggak mau. Padahal, selama ini aku selalu menanti kepulanganmu, Mas!”Sepanjang perjalanan, hanya ada nama Bayu di otak Atira. Bu Asih dan Davin masih di dalam hati meskipun kadarnya sedang berkurang.Sesampainya di kampung Bayu, Atira memarkirkan motornya di depan rumah bu Retno. Ia pun menyalakan ponselnya demi melihat waktu.“Yah, mati lagi.” Atira berusaha menyalakan ponsel itu namun sia-sia.Atira terduduk di depan teras rumah bu Retno. Ia ragu untuk mengetuk sang empunya rumah karena khawatir mereka sudah istirahat. Ia khawatir dengan keadaan Daffa yang ia titipkan dengan bu Retno. Terlebih lagi, jika Daffa melihatnya sekarang, balita itu khawatir tak mau ditinggal lagi dengan bu Retno.Setelah sekitar setengah jam ia berdiam diri di depan teras bu Retno, akhirnya ia pun memutuskan untuk pergi ke rumahnya saja. Berdiam diri di depan rumah tetangganya itu, tak akan merubah apapun. Biarlah Daffa di rumah bu Retno dulu sampai keadaan memungkinkan.Atira pun segera melangkahkan kakinya ke rumah. Ia memegang satu kunci, sedangkan satu lagi kunci milik ibunya dititipkan pada bu Retno karena khawatir Daffa membutuhkan sesuatu.Atira membiarkan motornya berada di depan rumah bu Retno yang memang bersebrangan dengan rumahnya.Atira memasukkan kunci ke dalam lubangnya, kemudian ia putar. Setelah terbuka, ia pun memutar gagangnya dengan berat rasa, berat karena mungkin ini untuk yang terakhir kalinya.“Alhamdulillah, bu Retno udah nyalain lampu rumah.” Ucapnya saat ia memasuki rumah yang terang benderang, layaknya berpenghuni.“Kok ada bekas makanan di rumah?” lirihnya pelan saat melihat meja ruang tamu yang penuh dengan makanan. Berantakan. Atira mengira bahwa Daffa dan bu Retno ada di sini. Ia pun segera melangkahkan kaki menuju ruang tengah.“Daf...!”Buggg...Ucapannya terhenti karena tiba-tiba pundak Atira dipukul oleh seseorang dari belakang. Ada rasa sakit yang sangat di pundaknya saat ia melewati pintu ruang tengah dan... semuanya terlihat gelap.Atira mengerjapkan matanya pelan. “Aww, sakit!” desisnya saat ada rasa nyeri di bagian punggung. Ia terbangun dengan suara adzan yang saling bersahutan. Atira pun berniat memeriksa pundak yang terasa sangat sakit, seperti habis tertimpa sesuatu. “Hah? Apaan ini?” ucap Atira saat ia tidak bisa menggerakkan tangannya sama sekali. Hal ini pun membuat kesadaran Atira pulih sepenuhnya. “Apaan ini?” lirih Atira saat ia mendapati tangan dan kakinya terikat. Ia yang terikat tangan dan kaki dalam keadaan tertidur miring ke kanan, langsung duduk dan bergeser secepat yang ia bisa ke arah pintu. Untung saja, kondisi luar yang terang dengan lampu memudahkan ia mengetahui dimana posisi pintu. Sesampainya di depan pintu, ia pun berusaha berdiri dan berhasil, meskipun sangat sulit. Ia khawatir orang yang mengikatnya adalah orang jahat dan nekad. Karena tangannya diikat ke belakang, ia pun memunggungi pintu dan meraih gagangnya. Atira memutar gagang pintu dan menariknya, namun usahanya gagal ka
“Siapa dia?” gumam Atira pelan. Ia pun berusaha menoleh ke arah perempuan itu. Nihil. Selain gelap, perempuan itu melakukan panggilan di ruangan lain. Atira terdiam dan berpikir, dari cara perempuan itu berbicara, ia terdengar ketakutan dan kemungkinan nyawanya aman untuk sementara. “Ah ya, tadi kayanya adzan subuh. Biasanya bapak-bapak banyak yang ke Mesjid. Harusnya aku berteriak saat mereka bubar.” Atira menghembuskan nafas kesal karenanya. Tadi ia tak memperkirakan hal itu. Terdengar krasak krusuk suara langkah beberapa orang di depan rumahnya. Ceklek... Pintu rumah Atira terbuka dari luar dengan pelan-pelan. Atira langsung pura-pura tak sadarkan diri karena mengira bahwa yang datang adalah orang yang berada di sambungan telepon perempuan tadi. “Stop kontaknya sebelah kanan, Pah!” ucap seorang wanita dari luar rumah. Tentunya dengan setengah berbisik, namun Atira tetap mengenali suaranya. “Bu Retno!” ucapnya dalam hati. “Emmmmm...!” Dug... dug... dug.Atira berusaha berbi
“Bu, ketemu pencurinya!” ucap Atira senang, seolah-olah ia lupa akan rasa sedihnya yang lain. “Iya.” Bu Retno terus berusaha menggunting tali rapia yang mengikat Atira, namun sayang guntingnya tumpul sehingga ia harus lebih berusaha lagi. “Mah, bisa enggak?” tanya pak Ramli sambil menghampiri mereka. “Ah, susah Pah. Harus pakai pisau kayanya.” Bu Retno segera meletakkan gunting di hadapan pak Ramli, sedangkan ia segera ke dapur. Pak Ramli meraih gunting itu dan segera mengakali untuk membuka tali yang mengikat Atira. “Perempuan!” ucap pak Ramli dengan tatapan tetap fokus pada usahanya memotong tali rapia. “Tuh kan. Tadi juga Tira dengar dia nelpon orang, emang suaranya suara perempuan,” cetus Atira membenarkan ucapan pak Ramli. “Sudah.” Pak Ramli segera memberikan gunting itu kepada Atira, tali pun terlepas semua. “Ayo, kita lihat ke depan!” ajaknya tanpa menunggu Atira. “Loh, kok udah lepas aja? Ini Ibu
“Tunggu!” Semua orang langsung menoleh pada sumber suara. “Bayu!” “Untung kamu datang? Lihat, istrimu disekap sama pencuri wanita ini.” “Untung enggak sampai kenapa-napa, meskipun sempet pingsan dan diikat.” “Dasar!” “Syukurlah, Yu!” “Atira senang, setelah sedih langsung senang dan bulan madu.” “Bay, ibumu lagi sakit, istrimu disekap pencuri.” Beberapa orang menyalami Bayu yang masih terpaku di tempatnya. Langkahnya seolah terpaku setelah ia menerima pujian yang banyak. Atira yang melihat Bayu terdiam menatap dirinya, kemudian wanita itu dan kembali lagi menatapnya, ia paham bahwa wanita itu memang benar adalah istrinya. “Mas Bayu! Huhuhuhuhuhuhuhu... “ teriak wanita itu dengan menangis kencang. Ia pun berusaha melepaskan diri dari cengkeraman bapak-bapak yang menyeretnya. “Tolong lepas istri saya, Pak!” ucap Bayu yang akhirnya melangkahkan kakinya menuju wanita itu. “Bayu!” pak Ramli dan bapak-bapak lain yang berada di sana hampir serentak memanggil namanya. Mereka cukup
“Tira, kamu mau kemana sekarang?” tanya bu Retno sambil membantu Atira mengemasi baju-bajunya. “Entahlah, Bu!” jawab Atira sambil menarik nafas terdalamnya. “Kamu tinggal aja dulu di rumah Ibu,” tawar bu Retno. “Enggak enak ada pak Ramli. Belum lagi rumah Ibu berhadapan langsung dengan mas Bayu.” Atira kembali menarik nafasnya dalam-dalam. “Si Papah enggak bakalan protes. Dia pasti malah senang ada kamu karena kamu kan tahu sendiri kalau Ibu itu enggak punya anak.” Bu Retno berucap sambil membulatkan mulutnya. Ia benar-benar berharap kalau Atira mau tinggal dengannya. Namun tidak demikian dengan Atira, ia merasa bukan anak kecil yang bisa dengan mulusnya menjadi anak angkat pak Ramli. Dia khawatir malah menjadi fitnah di keluarga harmonis bu Retno. “Emmh, bu. Boleh Tira minta tolong lagi?” tanya Atira ragu. Ia meragu bukan karena takut ditolak, tapi ia malu karena terlalu banyak merepotkan. “Boleh. Apapun itu.” Kali ini manik mata bu Retno terfokus menatap Atira, menunggu
“Atira!” Zafran menangkap tubuh Atira yang limbung. Wanita itu ada diantara sadar dan tak sadar. Zafran membawanya ke atas sofa di ruang kerja pak Syamsul dan memberinya bantal sebagai senderan. “Om!” panggil Zafran pada pak Salman. Ia meminta penjelasan yang lebih. Kring... kring... Pak Syamsul langsung mengangkat telepon yang berada di meja kerjanya. “Ya.” Beberapa detik pak Syamsul terdiam mendengarkan pembicaraan orang lain yang tak terdengar oleh Zafran dan Atira. “Oke. Kita berangkat sekarang juga.” Dengan segera, pak Syamsul menutup sambungan telepon dan mengambil barang-barang pentingnya. “Zafran, kamu kalau mau nyusul boleh saja, tapi dengan mobil anti pelurumu. Om khawatir ada baku tembak karena sindikat ini bukan sindikat biasa. Lebih aman kalau kamu tunggu di sini!” jelas pak Syamsul. “Om ngejar mereka kemana?” tanya Zafran sambil mengejar pak Syamsul yang telah berjalan keluar ruangannya. “Ke perbatasan kota.” Pak Syamsul pun langsung memberikan atensiny
“Maaf, apa kita saling mengenal sebelum ini?” tanya Atira sambil mengalihkan atensinya ke wajah tampan Zafran. Ia hanya mengira bahwa kepala sekolah ini sangat bertanggung jawab atas tugasnya, namun rupanya ada hal lain yang tak diketahui oleh Atira. Tut... “Hallo!” ucap Zafran saat ia mengangkat telepon yang tersambung ke Bluetooth mobil. Ia tak sempat menjawab pertanyaan Atira. “Bos, kontainer pengangkut anak-anak sudah dilumpuhkan. Tapi paman anda... “Zafran langsung memutus sambungan telepon dan menancap gas, melupakan obrolan tadi dengan Atira. Atira yang jelas mendengar percakapan mereka, tak sampai hati untuk mengusik pikiran Zafran. Ia pun hanya menahan nafas sebisanya, ia merasa sangat menakutkan berada di dalam mobil sport dalam keadaan ngebut. Atira menutup matanya, seperti dejavu ia pernah mengalami hal ini tapi entah kapan dan dimana. Roni, asisten pribadi Zafran berulang kali mencoba menghubungi Zafran lagi tapi tak sekalipun diangkat oleh lelaki tampan itu.
“Tira, ayo kita ke rumah sakit dulu aja. Kita pastiin dulu di sana. Nanti kita juga masih bisa bertemu mereka di rumah sakit.”Tiba-tiba Zafran ada di belakang Atira dan langsung menarik tangannya menuju mobil. Tak ada penolakan apapun dari Atira. Otaknya masih harus mencerna apa dan bagaimana takdir tengah menghampirinya. Zafran membukakan pintu mobil untuk Atira. Wanita yang tengah dilanda bingung itu hanya masuk dan duduk dengan tenang. Bahkan, kali ini Atira langsung memasang sabuk pengamannyapengamannya karena khawatir akan berada di dalam mobil dengan kecepatan tinggi seperti tadi. Selama di perjalanan, tak ada obrolan apapun. Bahkan, untuk air matapun rasanya tak ada yang mau menampakkan diri di pipinya. Sesampainya di rumah sakit, Atira langsung berlari mengekori Zafran yang telah mengetahui dimana ruangan yang mereka tuju dari Roni. “Maaf Pak, ini salah satu ibu korban dan mau cari anaknya.” Zafran langsung berbicara dengan petugas yang sedang berjaga. “Oh, baik.