“Bu, ketemu pencurinya!” ucap Atira senang, seolah-olah ia lupa akan rasa sedihnya yang lain.
“Iya.” Bu Retno terus berusaha menggunting tali rapia yang mengikat Atira, namun sayang guntingnya tumpul sehingga ia harus lebih berusaha lagi.“Mah, bisa enggak?” tanya pak Ramli sambil menghampiri mereka.“Ah, susah Pah. Harus pakai pisau kayanya.” Bu Retno segera meletakkan gunting di hadapan pak Ramli, sedangkan ia segera ke dapur.Pak Ramli meraih gunting itu dan segera mengakali untuk membuka tali yang mengikat Atira.“Perempuan!” ucap pak Ramli dengan tatapan tetap fokus pada usahanya memotong tali rapia.“Tuh kan. Tadi juga Tira dengar dia nelpon orang, emang suaranya suara perempuan,” cetus Atira membenarkan ucapan pak Ramli.“Sudah.” Pak Ramli segera memberikan gunting itu kepada Atira, tali pun terlepas semua. “Ayo, kita lihat ke depan!” ajaknya tanpa menunggu Atira.“Loh, kok udah lepas aja? Ini Ibu bawa pisau,” ucap bu Retno di ambang pintu tengah.“Udah lepas, Bu. Ayo, kita lihat malingnya!” ajak Atira yang segera menarik tangan bu Retno. Ia benar-benar butuh sandaran.“Sebentar! Ibu taruh dulu pisaunya di meja.” ucap bu Retno sambil menuju meja ruang tamu.“Loh, kok? Berantakan banget?” bu Retno baru ngeh jika meja sofa ruang tamu penuh dengan bekas makanan.“Tira kira bekas ibu, Daffa kali main-main.” Atira menanggapi ucapan bu Retno.“Enggak, semalam ibu bebenah dulu sebelum pulang ke rumah,” sangkal bu Retno dengan yakin.“Berarti maling itu, Bu!” geram Atira.“Ya sudah, ayo lihat siapa malingnya. Kok bisa-bisanya ada maling enggak kedengeran ngerusak pintunya.” Bu Retno melangkahkan kakinya melewati Atira. Ia benar-benar ingin melihat seperti apa sosok maling yang sudah tertangkap itu.“Ampun! Aku bukan maling!” teriak seorang perempuan yang kini sedang disidang warga.Wajahnya cukup memprihatinkan karena tadi sempat dipukuli warga sebelum akhirnya ada yang melerai emosi warga.“Halah, mana ada maling yang mau ngaku,” celetuk seseorang diantara mereka.“Aku berani sumpah, aku istrinya Bayu, nyonya di rumah ini. Wanita tadi...”“Huuuu...!”Atira menelan salivanya saat mendengar pengakuan wanita yang entah seperti apa rupanya itu. Ia tertegun, mengingat Bayu yang sedang berada di rumah sakit sedangkan ia sempat bilang bahwa ia akan membawa istri barunya pulang. Apakah wanita itu yang telah menjadi istri barunya Bayu?“Hey, mana ada maling dilepasin kaya begitu!” ucap wanita itu sambil menunjuk-nunjuk ke arah Atira.“Hey, diam! Kita bawa aja ke kantor polisi!” teriak pak Ramli yang sudah sangat geram dengan tingkah wanita itu.“Iya, kita bawa aja ke kantor polisi.”Warga pun kompak menyuarakan hal yang sama.“Bagaimana, Atira?” tanya pak Ramli meminta pendapatnya.“Baiknya gimana warga aja. Kebetulan pundak saya sakit banget karena dipukul sama dia. Saya mau melakukan visum untuk memberatkan penjahat ini, Pak,” sahut Atira dengan tegas.“Hey, sembarangan. Bagaimana ceritanya nyonya rumah dihukum karena ada...”“Huh... “Seseorang menempeleng kepala wanita itu saking kesalnya. Bagi warga, hanya ada satu nyonya Bayu yaitu Atira. Kalimat apapun yang diucapkan oleh wanita itu, tak ada satupun yang bisa ia ucapkan sampai selesai.Atira tersenyum smirk melihat kondisi wanita itu. Kalau memang dia murni pencuri, maka sudah sewajarnya dia dijebloskan ke penjara. Jika dia istrinya Bayu, maka pukulan-pukulan warga akan menjadi obat sakit hatinya.“Tira, apa benar dia istri barunya Bayu?” tanya bu Retno sambil mendekati Atira.Atira mengendikkan bahunya tanda ia tak tahu. “Tira enggak pernah tahu, Bu.”Bersamaan dengan fajar yang mulai menyingsing, wanita itu pun diseret oleh warga dengan maksud untuk digiring ke kantor polisi yang jaraknya hanya berkisar setengah kilo meter dari sana. Meskipun ia berontak, tapi semuanya tak berarti sama sekali.“Tumggu!”Suara bariton menginterupsi mereka.“Tunggu!” Semua orang langsung menoleh pada sumber suara. “Bayu!” “Untung kamu datang? Lihat, istrimu disekap sama pencuri wanita ini.” “Untung enggak sampai kenapa-napa, meskipun sempet pingsan dan diikat.” “Dasar!” “Syukurlah, Yu!” “Atira senang, setelah sedih langsung senang dan bulan madu.” “Bay, ibumu lagi sakit, istrimu disekap pencuri.” Beberapa orang menyalami Bayu yang masih terpaku di tempatnya. Langkahnya seolah terpaku setelah ia menerima pujian yang banyak. Atira yang melihat Bayu terdiam menatap dirinya, kemudian wanita itu dan kembali lagi menatapnya, ia paham bahwa wanita itu memang benar adalah istrinya. “Mas Bayu! Huhuhuhuhuhuhuhu... “ teriak wanita itu dengan menangis kencang. Ia pun berusaha melepaskan diri dari cengkeraman bapak-bapak yang menyeretnya. “Tolong lepas istri saya, Pak!” ucap Bayu yang akhirnya melangkahkan kakinya menuju wanita itu. “Bayu!” pak Ramli dan bapak-bapak lain yang berada di sana hampir serentak memanggil namanya. Mereka cukup
“Tira, kamu mau kemana sekarang?” tanya bu Retno sambil membantu Atira mengemasi baju-bajunya. “Entahlah, Bu!” jawab Atira sambil menarik nafas terdalamnya. “Kamu tinggal aja dulu di rumah Ibu,” tawar bu Retno. “Enggak enak ada pak Ramli. Belum lagi rumah Ibu berhadapan langsung dengan mas Bayu.” Atira kembali menarik nafasnya dalam-dalam. “Si Papah enggak bakalan protes. Dia pasti malah senang ada kamu karena kamu kan tahu sendiri kalau Ibu itu enggak punya anak.” Bu Retno berucap sambil membulatkan mulutnya. Ia benar-benar berharap kalau Atira mau tinggal dengannya. Namun tidak demikian dengan Atira, ia merasa bukan anak kecil yang bisa dengan mulusnya menjadi anak angkat pak Ramli. Dia khawatir malah menjadi fitnah di keluarga harmonis bu Retno. “Emmh, bu. Boleh Tira minta tolong lagi?” tanya Atira ragu. Ia meragu bukan karena takut ditolak, tapi ia malu karena terlalu banyak merepotkan. “Boleh. Apapun itu.” Kali ini manik mata bu Retno terfokus menatap Atira, menunggu
“Atira!” Zafran menangkap tubuh Atira yang limbung. Wanita itu ada diantara sadar dan tak sadar. Zafran membawanya ke atas sofa di ruang kerja pak Syamsul dan memberinya bantal sebagai senderan. “Om!” panggil Zafran pada pak Salman. Ia meminta penjelasan yang lebih. Kring... kring... Pak Syamsul langsung mengangkat telepon yang berada di meja kerjanya. “Ya.” Beberapa detik pak Syamsul terdiam mendengarkan pembicaraan orang lain yang tak terdengar oleh Zafran dan Atira. “Oke. Kita berangkat sekarang juga.” Dengan segera, pak Syamsul menutup sambungan telepon dan mengambil barang-barang pentingnya. “Zafran, kamu kalau mau nyusul boleh saja, tapi dengan mobil anti pelurumu. Om khawatir ada baku tembak karena sindikat ini bukan sindikat biasa. Lebih aman kalau kamu tunggu di sini!” jelas pak Syamsul. “Om ngejar mereka kemana?” tanya Zafran sambil mengejar pak Syamsul yang telah berjalan keluar ruangannya. “Ke perbatasan kota.” Pak Syamsul pun langsung memberikan atensiny
“Maaf, apa kita saling mengenal sebelum ini?” tanya Atira sambil mengalihkan atensinya ke wajah tampan Zafran. Ia hanya mengira bahwa kepala sekolah ini sangat bertanggung jawab atas tugasnya, namun rupanya ada hal lain yang tak diketahui oleh Atira. Tut... “Hallo!” ucap Zafran saat ia mengangkat telepon yang tersambung ke Bluetooth mobil. Ia tak sempat menjawab pertanyaan Atira. “Bos, kontainer pengangkut anak-anak sudah dilumpuhkan. Tapi paman anda... “Zafran langsung memutus sambungan telepon dan menancap gas, melupakan obrolan tadi dengan Atira. Atira yang jelas mendengar percakapan mereka, tak sampai hati untuk mengusik pikiran Zafran. Ia pun hanya menahan nafas sebisanya, ia merasa sangat menakutkan berada di dalam mobil sport dalam keadaan ngebut. Atira menutup matanya, seperti dejavu ia pernah mengalami hal ini tapi entah kapan dan dimana. Roni, asisten pribadi Zafran berulang kali mencoba menghubungi Zafran lagi tapi tak sekalipun diangkat oleh lelaki tampan itu.
“Tira, ayo kita ke rumah sakit dulu aja. Kita pastiin dulu di sana. Nanti kita juga masih bisa bertemu mereka di rumah sakit.”Tiba-tiba Zafran ada di belakang Atira dan langsung menarik tangannya menuju mobil. Tak ada penolakan apapun dari Atira. Otaknya masih harus mencerna apa dan bagaimana takdir tengah menghampirinya. Zafran membukakan pintu mobil untuk Atira. Wanita yang tengah dilanda bingung itu hanya masuk dan duduk dengan tenang. Bahkan, kali ini Atira langsung memasang sabuk pengamannyapengamannya karena khawatir akan berada di dalam mobil dengan kecepatan tinggi seperti tadi. Selama di perjalanan, tak ada obrolan apapun. Bahkan, untuk air matapun rasanya tak ada yang mau menampakkan diri di pipinya. Sesampainya di rumah sakit, Atira langsung berlari mengekori Zafran yang telah mengetahui dimana ruangan yang mereka tuju dari Roni. “Maaf Pak, ini salah satu ibu korban dan mau cari anaknya.” Zafran langsung berbicara dengan petugas yang sedang berjaga. “Oh, baik.
“Hallo, siapa ini? Hallo!” Atira ingin memastikan siapa yang sedang meneleponnya, meskipun sebenarnya ia mengenali suara bariton yang sudah membersamainya selama delapan tahun. “Saya bapak nya Davin dan Daffa. Temukan Davin dan jangan pernah berharap bertemu lagi dengan Daffa!” ancam Bayu lewat sambungan telepon itu. “Heh, anda yang merasa paling punya hak dan paling benar, anda enggak ingat kan kapan kali terakhir anda berbicara dengan kedua anak anda? Anda masih ingatkah, kapan terakhir memberi mereka sesuap nasi? Anda tahu kapan Daffa berhenti ngompol di kasur? Apakah saat pulang Anda menanyakan kabar anak-anak Anda? Apakah anda tahu mengapa Davin bisa hilang? Kalau kepulangan Anda tidak untuk membantuku untuk menemukan Davin, maka saya peringatkan anda, jangan pernah menyentuh anak saya!” ucap Atira dengan menggebu-gebu. Bahkan, ia bangun dari duduknya dan menunjuk-nunjuk seolah ia sedang marah dengan orang yang berada di hadapannya. Zafran yang melihat Atira mencak-mencak d
“Uhuk... uhuk...!” Atira tersedak dengan minumannya sendiri. Ia kaget karena mendengarkan pengakuan Zafran. Zafran mau mengelus-elus tengkuk Atira demi membantunya saat ia tersedak, tapi gerakan tangan Atira yang melarang Zafran untuk tidak melakukan hal itu, membuat lelaki tampan itu menarik kembali tangannya. Setelah ia merasa jauh lebih baik, Atira menegakkan punggungnya dan menatap tajam Zafran. “Sebenarnya kamu siapa?” tanya Atira dengan tatapan yang sangat tajam, yang bisa membuat lawan bicaranya gagu. Tapi tidak dengan Zafran, kepercayaan dirinya sangat tinggi. “Kamu ingat Adit?” tanya Zafran sambil tersenyum. Atira memutar memorinya saat ia berkuliah dulu. Dulu, ia hanya memiliki satu teman yang bernama Adit. “Enggak mungkin,” ucap Atira yang memang merasa sering menolong Adit saat lelaki itu terkena bully. “Ya, itu aku. Makasih banyak ya!” ucap Zafran tulus. “Enggak mungkin, kamu dulu...” Atira menggantungkan ucapannya. “Gendut banget?” tanya Zafran yang sebenarnya
“Tapi, terpaan masalah yang kualami, membuatku menyadari betapa selama ini aku lupa untuk menuruti perintah Tuhan. Aku sudah memutuskan untuk mengenakan jilbab, sudah saatnya aku menutup aurat. Aku takut ini semacam godaan agar aku tak melaksanakan niatku ini.” Air mata Atira semakin deras mengalir. Bagaimana tidak, ia sangat membutuhkan uang saat ini. Haruskah ia membatalkan niat sucinya? “Tapi, saat ini kamu tidak berjilbab?” tanya Zafran agak heran karena selama bersamanya Atira tidak mengenakan jilbab. “Iya, belum ada. Sebenarnya ada satu di rumah mas Bayu, kemarin rusak karena dijadikan sumpalan mulut,” kekeh Atira yangyang merasa malu karena ucapannya tak sejalan dengan kenyataan. “Kebetulan sekali, pemeran utamanya ceritanya berjilbab, jadi istri Gus gitu. Kalau diangkat juga cerita kamu yang memang awal-awal berjilbab, pasti mendapatkan dukungan netizen. Jadi, tetap film itu akan laku. Ditambah, kamu bisa berdakwah juga dengan apa yang kamu alami. Kamu cantik Tira, cantik lu