Atira mengerjapkan matanya pelan. “Aww, sakit!” desisnya saat ada rasa nyeri di bagian punggung. Ia terbangun dengan suara adzan yang saling bersahutan.
Atira pun berniat memeriksa pundak yang terasa sangat sakit, seperti habis tertimpa sesuatu.“Hah? Apaan ini?” ucap Atira saat ia tidak bisa menggerakkan tangannya sama sekali. Hal ini pun membuat kesadaran Atira pulih sepenuhnya.“Apaan ini?” lirih Atira saat ia mendapati tangan dan kakinya terikat.Ia yang terikat tangan dan kaki dalam keadaan tertidur miring ke kanan, langsung duduk dan bergeser secepat yang ia bisa ke arah pintu. Untung saja, kondisi luar yang terang dengan lampu memudahkan ia mengetahui dimana posisi pintu.Sesampainya di depan pintu, ia pun berusaha berdiri dan berhasil, meskipun sangat sulit. Ia khawatir orang yang mengikatnya adalah orang jahat dan nekad.Karena tangannya diikat ke belakang, ia pun memunggungi pintu dan meraih gagangnya.Atira memutar gagang pintu dan menariknya, namun usahanya gagal karena pintu terkunci. Ia pun mencoba peruntungannya dengan meraba lubang kunci, namun ternyata usahanya nihil karena kunci tak tergantung di lubang pintu.“Aisshhh...” desisnya pelan.Atira berpikir keras bagaimana caranya agar ia bisa bebas tanpa terluka sedikitpun.“Gimana ini?” gumamnya di dalam hati.Atira memindai ke dalam rumah, meskipun kali ini kondisi gelap, ia memperkirakan apakah penjahat yang masuk ke dalam rumahnya masih ada atau tidak."Padahal tadi terang," keluh Atira dalam hatinya. Karena tak ada suara dan pergerakan apapun, Atira memperkirakan bahwa kondisi rumahnya sudah aman. Urusan ada barang yang hilang akan ia pikirkan belakangan, yang penting kali ini adalah keselamatan nyawanya, demi kedua anaknya dan masih demi ibu mertuanya yang ia sayangi dengan setulus hati. Biarlah urusan pernikahannya saja yang hancur, tapi urusan ibu dan anak antara dirinya dan bu Asih ia anggap tak pernah hancur.Dengan sekuat tenaga, Atira menggedor-gedor pintu dengan tangannya yang sengaja ia kepalkan. “Tolo.... ng!” teriaknya sekeras mungkin.Karena hasil gedoran tangan yang terikat ia rasa tak cukup keras, ia pun menggedor-gedorkan tangannya. “Tolo... ng! Tolo... ng! Bu Retno...Pak Samsul, tolo... ng!” teriaknya sekeras mungkin. Bahkan meskipun kepalanya terasa sangat sakit, ia tak peduli sama sekali.Tiba-tiba muncul seseorang dari dalam rumah sambil dengan berlari secepat mungkin. Di tangannya ada sesuatu yang ia bawa.Melihat itu, Atira ketakutan karena bagaimana pun ia tak bisa melawan dengan tangan dan kaki yang terikat.“Ampuunnn!” teriak Atira sambil berusaha menghindar.Brukkk...Atira pun terjatuh dengan posisi tengkurap karena kakinya terikat, sedangkan dengan refleks ia berusaha berlari.“Aww, am...! Emmmm... ““Berisik!” orang itu menyumpalkan kain ke dalam mulut Atira sehingga Atira tak dapat lagi berteriak apapun.Mulut kecil Atira disimpal dengan kain yang cukup besar. Sakit, tentu saja sakit sehingga air matanya pun dengan cepat menganak sungai. Ditambah lagi rasa takut yang sangat, taruhannya adalah nyawa.“Emmm...” Atira berusaha meronta dan berkata-kata, tapi ia tak bisa. Ia pun tak begitu yakin dengan siapa yang dilihatnya.“Emmmm... “ semakin keras Atira meronta. Ia berharap orang yang telah mengikatnya itu mau berbaik hati untuk melepaskannya.“Hallo!” orang itu berbicara, nampaknya dari sambungan telepon.Atira menoleh ke arah suara demi mengenali siapa orang yang berbuat jahat kepadanya. “Perempuan.” desisnya.“Mas! Pokoknya aku enggak mau tahu, sekarang juga harus datang! Aku enggak tahu apa yang harus aku lakukan sama perempuan ini,” ucap perempuan itu yang kemudian menjeda ucapannya.“Aku enggak peduli mau sadar atau mau mati pun, enggak peduli. Ke sini sekarang juga!”Atira mengernyitkan keningnya mendengar ucapan perempuan itu. “Siapa dia?” tanya Atira di dalam hatinya.“Siapa dia?” gumam Atira pelan. Ia pun berusaha menoleh ke arah perempuan itu. Nihil. Selain gelap, perempuan itu melakukan panggilan di ruangan lain. Atira terdiam dan berpikir, dari cara perempuan itu berbicara, ia terdengar ketakutan dan kemungkinan nyawanya aman untuk sementara. “Ah ya, tadi kayanya adzan subuh. Biasanya bapak-bapak banyak yang ke Mesjid. Harusnya aku berteriak saat mereka bubar.” Atira menghembuskan nafas kesal karenanya. Tadi ia tak memperkirakan hal itu. Terdengar krasak krusuk suara langkah beberapa orang di depan rumahnya. Ceklek... Pintu rumah Atira terbuka dari luar dengan pelan-pelan. Atira langsung pura-pura tak sadarkan diri karena mengira bahwa yang datang adalah orang yang berada di sambungan telepon perempuan tadi. “Stop kontaknya sebelah kanan, Pah!” ucap seorang wanita dari luar rumah. Tentunya dengan setengah berbisik, namun Atira tetap mengenali suaranya. “Bu Retno!” ucapnya dalam hati. “Emmmmm...!” Dug... dug... dug.Atira berusaha berbi
“Bu, ketemu pencurinya!” ucap Atira senang, seolah-olah ia lupa akan rasa sedihnya yang lain. “Iya.” Bu Retno terus berusaha menggunting tali rapia yang mengikat Atira, namun sayang guntingnya tumpul sehingga ia harus lebih berusaha lagi. “Mah, bisa enggak?” tanya pak Ramli sambil menghampiri mereka. “Ah, susah Pah. Harus pakai pisau kayanya.” Bu Retno segera meletakkan gunting di hadapan pak Ramli, sedangkan ia segera ke dapur. Pak Ramli meraih gunting itu dan segera mengakali untuk membuka tali yang mengikat Atira. “Perempuan!” ucap pak Ramli dengan tatapan tetap fokus pada usahanya memotong tali rapia. “Tuh kan. Tadi juga Tira dengar dia nelpon orang, emang suaranya suara perempuan,” cetus Atira membenarkan ucapan pak Ramli. “Sudah.” Pak Ramli segera memberikan gunting itu kepada Atira, tali pun terlepas semua. “Ayo, kita lihat ke depan!” ajaknya tanpa menunggu Atira. “Loh, kok udah lepas aja? Ini Ibu
“Tunggu!” Semua orang langsung menoleh pada sumber suara. “Bayu!” “Untung kamu datang? Lihat, istrimu disekap sama pencuri wanita ini.” “Untung enggak sampai kenapa-napa, meskipun sempet pingsan dan diikat.” “Dasar!” “Syukurlah, Yu!” “Atira senang, setelah sedih langsung senang dan bulan madu.” “Bay, ibumu lagi sakit, istrimu disekap pencuri.” Beberapa orang menyalami Bayu yang masih terpaku di tempatnya. Langkahnya seolah terpaku setelah ia menerima pujian yang banyak. Atira yang melihat Bayu terdiam menatap dirinya, kemudian wanita itu dan kembali lagi menatapnya, ia paham bahwa wanita itu memang benar adalah istrinya. “Mas Bayu! Huhuhuhuhuhuhuhu... “ teriak wanita itu dengan menangis kencang. Ia pun berusaha melepaskan diri dari cengkeraman bapak-bapak yang menyeretnya. “Tolong lepas istri saya, Pak!” ucap Bayu yang akhirnya melangkahkan kakinya menuju wanita itu. “Bayu!” pak Ramli dan bapak-bapak lain yang berada di sana hampir serentak memanggil namanya. Mereka cukup
“Tira, kamu mau kemana sekarang?” tanya bu Retno sambil membantu Atira mengemasi baju-bajunya. “Entahlah, Bu!” jawab Atira sambil menarik nafas terdalamnya. “Kamu tinggal aja dulu di rumah Ibu,” tawar bu Retno. “Enggak enak ada pak Ramli. Belum lagi rumah Ibu berhadapan langsung dengan mas Bayu.” Atira kembali menarik nafasnya dalam-dalam. “Si Papah enggak bakalan protes. Dia pasti malah senang ada kamu karena kamu kan tahu sendiri kalau Ibu itu enggak punya anak.” Bu Retno berucap sambil membulatkan mulutnya. Ia benar-benar berharap kalau Atira mau tinggal dengannya. Namun tidak demikian dengan Atira, ia merasa bukan anak kecil yang bisa dengan mulusnya menjadi anak angkat pak Ramli. Dia khawatir malah menjadi fitnah di keluarga harmonis bu Retno. “Emmh, bu. Boleh Tira minta tolong lagi?” tanya Atira ragu. Ia meragu bukan karena takut ditolak, tapi ia malu karena terlalu banyak merepotkan. “Boleh. Apapun itu.” Kali ini manik mata bu Retno terfokus menatap Atira, menunggu
“Atira!” Zafran menangkap tubuh Atira yang limbung. Wanita itu ada diantara sadar dan tak sadar. Zafran membawanya ke atas sofa di ruang kerja pak Syamsul dan memberinya bantal sebagai senderan. “Om!” panggil Zafran pada pak Salman. Ia meminta penjelasan yang lebih. Kring... kring... Pak Syamsul langsung mengangkat telepon yang berada di meja kerjanya. “Ya.” Beberapa detik pak Syamsul terdiam mendengarkan pembicaraan orang lain yang tak terdengar oleh Zafran dan Atira. “Oke. Kita berangkat sekarang juga.” Dengan segera, pak Syamsul menutup sambungan telepon dan mengambil barang-barang pentingnya. “Zafran, kamu kalau mau nyusul boleh saja, tapi dengan mobil anti pelurumu. Om khawatir ada baku tembak karena sindikat ini bukan sindikat biasa. Lebih aman kalau kamu tunggu di sini!” jelas pak Syamsul. “Om ngejar mereka kemana?” tanya Zafran sambil mengejar pak Syamsul yang telah berjalan keluar ruangannya. “Ke perbatasan kota.” Pak Syamsul pun langsung memberikan atensiny
“Maaf, apa kita saling mengenal sebelum ini?” tanya Atira sambil mengalihkan atensinya ke wajah tampan Zafran. Ia hanya mengira bahwa kepala sekolah ini sangat bertanggung jawab atas tugasnya, namun rupanya ada hal lain yang tak diketahui oleh Atira. Tut... “Hallo!” ucap Zafran saat ia mengangkat telepon yang tersambung ke Bluetooth mobil. Ia tak sempat menjawab pertanyaan Atira. “Bos, kontainer pengangkut anak-anak sudah dilumpuhkan. Tapi paman anda... “Zafran langsung memutus sambungan telepon dan menancap gas, melupakan obrolan tadi dengan Atira. Atira yang jelas mendengar percakapan mereka, tak sampai hati untuk mengusik pikiran Zafran. Ia pun hanya menahan nafas sebisanya, ia merasa sangat menakutkan berada di dalam mobil sport dalam keadaan ngebut. Atira menutup matanya, seperti dejavu ia pernah mengalami hal ini tapi entah kapan dan dimana. Roni, asisten pribadi Zafran berulang kali mencoba menghubungi Zafran lagi tapi tak sekalipun diangkat oleh lelaki tampan itu.
“Tira, ayo kita ke rumah sakit dulu aja. Kita pastiin dulu di sana. Nanti kita juga masih bisa bertemu mereka di rumah sakit.”Tiba-tiba Zafran ada di belakang Atira dan langsung menarik tangannya menuju mobil. Tak ada penolakan apapun dari Atira. Otaknya masih harus mencerna apa dan bagaimana takdir tengah menghampirinya. Zafran membukakan pintu mobil untuk Atira. Wanita yang tengah dilanda bingung itu hanya masuk dan duduk dengan tenang. Bahkan, kali ini Atira langsung memasang sabuk pengamannyapengamannya karena khawatir akan berada di dalam mobil dengan kecepatan tinggi seperti tadi. Selama di perjalanan, tak ada obrolan apapun. Bahkan, untuk air matapun rasanya tak ada yang mau menampakkan diri di pipinya. Sesampainya di rumah sakit, Atira langsung berlari mengekori Zafran yang telah mengetahui dimana ruangan yang mereka tuju dari Roni. “Maaf Pak, ini salah satu ibu korban dan mau cari anaknya.” Zafran langsung berbicara dengan petugas yang sedang berjaga. “Oh, baik.
“Hallo, siapa ini? Hallo!” Atira ingin memastikan siapa yang sedang meneleponnya, meskipun sebenarnya ia mengenali suara bariton yang sudah membersamainya selama delapan tahun. “Saya bapak nya Davin dan Daffa. Temukan Davin dan jangan pernah berharap bertemu lagi dengan Daffa!” ancam Bayu lewat sambungan telepon itu. “Heh, anda yang merasa paling punya hak dan paling benar, anda enggak ingat kan kapan kali terakhir anda berbicara dengan kedua anak anda? Anda masih ingatkah, kapan terakhir memberi mereka sesuap nasi? Anda tahu kapan Daffa berhenti ngompol di kasur? Apakah saat pulang Anda menanyakan kabar anak-anak Anda? Apakah anda tahu mengapa Davin bisa hilang? Kalau kepulangan Anda tidak untuk membantuku untuk menemukan Davin, maka saya peringatkan anda, jangan pernah menyentuh anak saya!” ucap Atira dengan menggebu-gebu. Bahkan, ia bangun dari duduknya dan menunjuk-nunjuk seolah ia sedang marah dengan orang yang berada di hadapannya. Zafran yang melihat Atira mencak-mencak d