“Ah, baik saya ke sana sekarang!” ucap Atira sambil terus berpikir bagaimana dengan Davin.
“Masuklah! Biar ibu hubungi Danu untuk jemputkan Davin.”Atira mengangguk tanpa menolak tawaran bantuan dari bu RT. Danu adalah anak pertama bu RT yang kini bekerja di balai desa.Saat memasuki ruangan penghubung, Atira diminta untuk mencuci tangan dan mengenakan pakaian khusus pengunjung pasien di ruang ICU.Setelah itu, Atira dibawa masuk ke tempat dimana brankar bu Asih diletakkan.“Mohon maaf, dari tadi pasien mengigau memanggil-manggil nama Bayu. Dokter menyarankan agar keluarga pasien diminta untuk menemani bu Asih guna memberikan rangsangan dengan harapan agar pasien segera sadar.” Perawat itu menjelaskan dengan cukup rinci, hanya saja hati Atira yang kini bertambah hancur saat mendengarkan penjelasannya. Ibu mertuanya terus memanggil nama Bayu.“Bagaimana, Bu? Bisa menghadirkan Bayu?” tanya perawat itu lagi.“Emmhh, gimana ya Sus? Dari tadi saya sudah coba hubungi mas Bayu tapi enggak nyambung.” Ada air mata yang berusaha meringsek keluar, namun berhasil Atira tahan.“Kalau begitu, cobalah oleh ibu sebagai anaknya untuk mengajaknya berbicara. Saya tinggal dulu!” ucap suster itu lagi. Atira hanya mengangguk setuju.Atira duduk di sebuah kursi plastik yang disiapkan. Ia pun mengelus lembut lengan bu Asih.“Bu, ini Tira Bu. Tolong bangun! Jangan membuat Tira semakin takut sendirian. Ibu kuat dan harus kuat! Tira sendirian Bu!” ucap Atira sambil terisak.Atira mengusap lembut punggung tangan bu Asih. Sebenarnya ia bukan sekedar menguatkan bu Asih, lebih dari itu, justru ia berusaha menguatkan dirinya sendiri.“Bu, Tira sayang sama Ibu. Hanya Ibu, keluarga Atira saat ini. Tira takut kalau mas Bayu menceraikan Tira, ibu ikut pergi menjauh. Ibu, jangan tinggalin Tira! Tira sayang sama ibu!” ungkap Atira dengan air mata yang telah menganak sungai.“Bu, coba dibacakan ayat-ayat suci kepada pasien!” ucap suster sambil memeriksa kembali lembar anamnesa yang tadi ditulis bersama dokter.“Iya, Sus. Nanti saya coba. Tapi, bolehkah sekarang saya pulang dulu? Saya harus jemput anak saya dari sekolah.” Pikiran Atira terus mengingat keadaan anaknya saat ini, anak itu pasti sudah bubar.“Oh, tidak ada yang menggantikan Bu?” tanya suster itu lagi.“Tadi bu RT bilang mau minta tolong anaknya buat jemputkan, tapi enggak tahu kenapa hati saya enggak tenang.”“Baik, silakan Bu. Hanya saja saya minta ibu cepat kembali, atau keluarganya yang lain. Kondisi pasien sangat lemah.”“Baik, sus!” ucap Atira dengan cepat. Ia pun segera berdiri setelah mengelus lembut punggung tangan ibunya. “Tira pamit sebentar, Bu. Mau jemput Davin dulu. Besok Davin mau izin dulu sekolahnya, mau Tira titip sama bu Retno sekalian sama Daffa. Ibu cepat sembuh ya, biar kita cepat sama-sama lagi.”Ucapan terakhir Atira membuat ia meringis sendiri. Bisakah mereka masih sama-sama dengan status yang berbeda? Ditambah lagi ada perempuan lain yang tadi mengangkat telepon mas Bayu.Atira menghembuskan nafasnya dalam-dalam. “Tira pamit Bu,” ucapnya seraya mengecup lembut kening bu Asih. Setelah mengucapkan salam, Atira pun bangkit dari kursi.Sesaat sebelum ia keluar dari ruangan tempat bu Asih dirawat, Atira berbalik dan menatap bu Asih dengan lekat. “Selamat tinggal, Bu!” air matanya mengalir deras sejalan dengan arah langkahnya yang kini kian menjauh.***Atira segera memacu kuda besi butut miliknya. Pikirannya terus menjejaki keadaan Davin yang mungkin sudah sendirian di sekolah.“Tira, maaf anak ibu enggak bisa dihubungi dari tadi. Mau ngabarin kamu enggak boleh masuk ke dalam sama suster. Tadi ibu mau pergi jemput Davin sendiri, tapi dompet ibu ketinggalan, enggak ada ongkos. Jadi ibu masuk lagi.”Ucapan bu RT saat ia baru keluar dari ruangan tempat bu Asih dirawat terus terngiang-ngiang. Atira betul-betul khawatir dengan Davin. Meskipun dia anak lelaki, tapi usianya baru 7 tahun dan baru masuk SD dua bulan ini. Setiap hari selalu ia yang mengantar jemput Davin.Tiiinnn...Gubrakk!“Aduh!”Atira meringis saat ia baru menyadari jika dirinya berada di tepi jalan dalam keadaan terjatuh dari motornya.“Awww... “ ia mencoba menggeser motornya yang sedikit menghimpit kaki kirinya.“Enggak apa-apa, Mbak?” tanya seorang lelaki sambil membantu mengembalikan posisi motor Atira sebagaimana mestinya.“Ya.” Atira segera berdiri dan menepuk-nepuk celananya yang kotor karena terkena tanah. Ia jatuh ke sisi jalanan yang tak teraspal.“Mbak nya terluka!” ucap lelaki yang mengurungkan niatnya untuk memarahi Atira. Lelaki bermobil sedan mewah itu terhalangi jalannya oleh Atira yang sedang melamun, menjalankan motor ke kanan dan ke kiri tanpa fokus. Sebenarnya lelaki itu sudah mengklakson Atira sampai dua kali, tapi pikiran Atira sedang tak berada di sana.“Maafin saya, Pak!” ucap Atira yang menyadari kesalahannya.“Enggak apa-apa. Tapi, mbaknya terluka!” tunjuk sang lelaki pada betis kiri Atira yang tertutup celana. Dari celana itu nampak merembas darah segar.“Enggak apa-apa. Sekali lagi saya minta maaf, pak!” ucap Atira mengulangi permintaan maafnya.“Mbak!” panggil lelaki itu saat melihat Atira buru-buru naik lagi ke motornya.“Maaf Pak, saya buru-buru!” ucap Atira seraya menancap gas.Dari kaca spion, Atira sempat melihat lelaki tadi terdiam di tempat sambil memandanginya yang semakin menjauh. Tak apa ia terluka, masih bisa diobati nanti saat Davin sudah ia jemput.Sesampainya di sekolah, nampak pak Ari, satpam sekolah sedang mengunci pagar sekolah dari dalam.Tinnn... Tinnn...Pak Ari menoleh ke arah bunyi klakson dan mendapati Atira yang menghentikan motornya tepat di depan gerbang.“Pak Ari, lihat Davin?” tanya Atira dengan nafas yang memburu.“Kelas berapa Bu?” tanya pak Ari yang memang belum mengenal Davin. Bahkan, ada banyak siswa-siswi yang tak dikenali oleh pak Ari saking banyaknya anak yang bersekolah di sini.“Kelas 1, Pak. Matanya coklat, kulitnya putih, rambutnya baru saya cepak kemarin.” Atira menjelaskan kondisi fisik anaknya. Ia mengungkapkan warna mata karena orang yang bermata coklat itu cukup sedikit dan hampir mudah dikenali.“Wah, enggak tahu ya. Tapi, semua anak sudah dijemput, ada juga yang pulang sendiri, yang rumahnya dekat atau yang udah besar gitu.”“Anak saya biasa saya jemput, Pak! Tiap hari saya antar jemput,” jelas Atira.“Hari ini ibu terlambat jemput?” tanya Pak Ari.“Iya, Pak. Ibu saya sedang dirawat di ICU, tadi saya harus menemani ibu saya terlebih dulu.”“Gimana ya, Bu? Guru-guru juga sudah pulang semua, pak kepala sekolah juga. Di dalam sudah saya periksa, kosong semua.”Atira kembali menghubungi bu Retno dan memintanya untuk memeriksa di rumah apakah Davin sudah ada di rumah atau belum. Lagi-lagi jawaban bu Retno menegaskan bahwa Davin belum ada di rumahnya.“Mang Sahrul!”Pak Ari kembali membuka gembok dan mempersilakan mang Sahrul, OB sekolah untuk masuk.“Mamah nya Ujang Davin ganteng ya?” tanya mang Sahrul tiba-tiba, sebelum ia melewati gerbang.“Iya. Mang Sahrul lihat anak saya?” tanya Atira berharap.“Bukannya tadi sudah dijemput pake mobil? Katanya dijemput Mamah, pake mobil hitam.”“Saya belum jemput, Mang! Siapa yang jemput anak saya?”Dunia Atira terasa berhenti di detik ini.“Siapa yang jemput anak saya, Mang?” teriak Atira yang mulai histeris. “Kamu beneran lihat Davin dijemput pakai mobil, Rul? Kamu enggak salah ngenalin orang?” tanya pak Ari ingin memastikan. “Enggak atuh. Saya memang suka sama Davin, anaknya ganteng, ramah, sopan, pinter lagi. Jadi, saya suka nyapa kalau ketemu. Biasanya kan saya datang ke sekolah enggak telat kaya hari ini.” Mang Sahrul meyakinkan bahwa dirinya tak salah mengenali orang. “Tadi lihat orang yang bawa Davin nya siapa?” tanya pak Ari lagi. “Enggak, soalnya tadi Davin naik sendiri ke mobil. Enggak tahu orang yang bawanya udah masuk duluan pas saya belum lihat. Pokoknya, pas dia mau masuk mobil saya tanya, Davin pulang sama siapa? Dia jawab sama mamah. Tadi saya berdiri di agak jauh di belakang mobil, jadi enggak lihat ke dalam mobil.” Mang Sahrul terdiam untuk mengingat sesuatu. “Mang, saya belum jemput Davin. Saya baru dari rumah sakit.” Atira terduduk di atas trotoar. Dunianya serasa berhenti di detik ini juga
Atira berbelok menuju rumah sakit kota. Ia pun segera mencari tempat parkir dan segera turun menuju ruang ICU. “Atira!” panggil bu RT yang melihat Atira meskipun dari kejauhan. “Bu, masih di sini? Ini udah mau malem!” ucap Atira yang merasa tak enak hati sudah merepotkan bu RT.“Enggak apa-apa. Habisnya kamu lama banget, mau ditinggal kasihan, daritadi bu Asih nangis terus.” Atira membulatkan matanya saat mendengar kabar bahwa bu Asih menangis. “Ibu nangis? Ibu sadar?” tanya Atira penuh harap. Bu RT menggelengkan kepalanya. “Bu Asih cuma ngigo, sama kaya tadi waktu kamu masuk. Tadi, karena saya bilang saya keluarga, jadi dibolehin masuk. Saya ngaji dekat bu Asih, dia nangis. Kata dokter, itu respon yang cukup baik.” Atira mendengarkan tanpa menanggapi ucapan bu RT. “Oya, tadi ada dokter. Katanya ada tindakan yang butuh persetujuan keluarga. Saya bilang harus rembukan dulu sama keluarga yang lain.” “Tindakan apa, Bu?” tanya Atira yang kini mengalihkan atensinya untuk bu
Atira mengerjapkan matanya pelan. “Aww, sakit!” desisnya saat ada rasa nyeri di bagian punggung. Ia terbangun dengan suara adzan yang saling bersahutan. Atira pun berniat memeriksa pundak yang terasa sangat sakit, seperti habis tertimpa sesuatu. “Hah? Apaan ini?” ucap Atira saat ia tidak bisa menggerakkan tangannya sama sekali. Hal ini pun membuat kesadaran Atira pulih sepenuhnya. “Apaan ini?” lirih Atira saat ia mendapati tangan dan kakinya terikat. Ia yang terikat tangan dan kaki dalam keadaan tertidur miring ke kanan, langsung duduk dan bergeser secepat yang ia bisa ke arah pintu. Untung saja, kondisi luar yang terang dengan lampu memudahkan ia mengetahui dimana posisi pintu. Sesampainya di depan pintu, ia pun berusaha berdiri dan berhasil, meskipun sangat sulit. Ia khawatir orang yang mengikatnya adalah orang jahat dan nekad. Karena tangannya diikat ke belakang, ia pun memunggungi pintu dan meraih gagangnya. Atira memutar gagang pintu dan menariknya, namun usahanya gagal ka
“Siapa dia?” gumam Atira pelan. Ia pun berusaha menoleh ke arah perempuan itu. Nihil. Selain gelap, perempuan itu melakukan panggilan di ruangan lain. Atira terdiam dan berpikir, dari cara perempuan itu berbicara, ia terdengar ketakutan dan kemungkinan nyawanya aman untuk sementara. “Ah ya, tadi kayanya adzan subuh. Biasanya bapak-bapak banyak yang ke Mesjid. Harusnya aku berteriak saat mereka bubar.” Atira menghembuskan nafas kesal karenanya. Tadi ia tak memperkirakan hal itu. Terdengar krasak krusuk suara langkah beberapa orang di depan rumahnya. Ceklek... Pintu rumah Atira terbuka dari luar dengan pelan-pelan. Atira langsung pura-pura tak sadarkan diri karena mengira bahwa yang datang adalah orang yang berada di sambungan telepon perempuan tadi. “Stop kontaknya sebelah kanan, Pah!” ucap seorang wanita dari luar rumah. Tentunya dengan setengah berbisik, namun Atira tetap mengenali suaranya. “Bu Retno!” ucapnya dalam hati. “Emmmmm...!” Dug... dug... dug.Atira berusaha berbi
“Bu, ketemu pencurinya!” ucap Atira senang, seolah-olah ia lupa akan rasa sedihnya yang lain. “Iya.” Bu Retno terus berusaha menggunting tali rapia yang mengikat Atira, namun sayang guntingnya tumpul sehingga ia harus lebih berusaha lagi. “Mah, bisa enggak?” tanya pak Ramli sambil menghampiri mereka. “Ah, susah Pah. Harus pakai pisau kayanya.” Bu Retno segera meletakkan gunting di hadapan pak Ramli, sedangkan ia segera ke dapur. Pak Ramli meraih gunting itu dan segera mengakali untuk membuka tali yang mengikat Atira. “Perempuan!” ucap pak Ramli dengan tatapan tetap fokus pada usahanya memotong tali rapia. “Tuh kan. Tadi juga Tira dengar dia nelpon orang, emang suaranya suara perempuan,” cetus Atira membenarkan ucapan pak Ramli. “Sudah.” Pak Ramli segera memberikan gunting itu kepada Atira, tali pun terlepas semua. “Ayo, kita lihat ke depan!” ajaknya tanpa menunggu Atira. “Loh, kok udah lepas aja? Ini Ibu
“Tunggu!” Semua orang langsung menoleh pada sumber suara. “Bayu!” “Untung kamu datang? Lihat, istrimu disekap sama pencuri wanita ini.” “Untung enggak sampai kenapa-napa, meskipun sempet pingsan dan diikat.” “Dasar!” “Syukurlah, Yu!” “Atira senang, setelah sedih langsung senang dan bulan madu.” “Bay, ibumu lagi sakit, istrimu disekap pencuri.” Beberapa orang menyalami Bayu yang masih terpaku di tempatnya. Langkahnya seolah terpaku setelah ia menerima pujian yang banyak. Atira yang melihat Bayu terdiam menatap dirinya, kemudian wanita itu dan kembali lagi menatapnya, ia paham bahwa wanita itu memang benar adalah istrinya. “Mas Bayu! Huhuhuhuhuhuhuhu... “ teriak wanita itu dengan menangis kencang. Ia pun berusaha melepaskan diri dari cengkeraman bapak-bapak yang menyeretnya. “Tolong lepas istri saya, Pak!” ucap Bayu yang akhirnya melangkahkan kakinya menuju wanita itu. “Bayu!” pak Ramli dan bapak-bapak lain yang berada di sana hampir serentak memanggil namanya. Mereka cukup
“Tira, kamu mau kemana sekarang?” tanya bu Retno sambil membantu Atira mengemasi baju-bajunya. “Entahlah, Bu!” jawab Atira sambil menarik nafas terdalamnya. “Kamu tinggal aja dulu di rumah Ibu,” tawar bu Retno. “Enggak enak ada pak Ramli. Belum lagi rumah Ibu berhadapan langsung dengan mas Bayu.” Atira kembali menarik nafasnya dalam-dalam. “Si Papah enggak bakalan protes. Dia pasti malah senang ada kamu karena kamu kan tahu sendiri kalau Ibu itu enggak punya anak.” Bu Retno berucap sambil membulatkan mulutnya. Ia benar-benar berharap kalau Atira mau tinggal dengannya. Namun tidak demikian dengan Atira, ia merasa bukan anak kecil yang bisa dengan mulusnya menjadi anak angkat pak Ramli. Dia khawatir malah menjadi fitnah di keluarga harmonis bu Retno. “Emmh, bu. Boleh Tira minta tolong lagi?” tanya Atira ragu. Ia meragu bukan karena takut ditolak, tapi ia malu karena terlalu banyak merepotkan. “Boleh. Apapun itu.” Kali ini manik mata bu Retno terfokus menatap Atira, menunggu
“Atira!” Zafran menangkap tubuh Atira yang limbung. Wanita itu ada diantara sadar dan tak sadar. Zafran membawanya ke atas sofa di ruang kerja pak Syamsul dan memberinya bantal sebagai senderan. “Om!” panggil Zafran pada pak Salman. Ia meminta penjelasan yang lebih. Kring... kring... Pak Syamsul langsung mengangkat telepon yang berada di meja kerjanya. “Ya.” Beberapa detik pak Syamsul terdiam mendengarkan pembicaraan orang lain yang tak terdengar oleh Zafran dan Atira. “Oke. Kita berangkat sekarang juga.” Dengan segera, pak Syamsul menutup sambungan telepon dan mengambil barang-barang pentingnya. “Zafran, kamu kalau mau nyusul boleh saja, tapi dengan mobil anti pelurumu. Om khawatir ada baku tembak karena sindikat ini bukan sindikat biasa. Lebih aman kalau kamu tunggu di sini!” jelas pak Syamsul. “Om ngejar mereka kemana?” tanya Zafran sambil mengejar pak Syamsul yang telah berjalan keluar ruangannya. “Ke perbatasan kota.” Pak Syamsul pun langsung memberikan atensiny