“Bu, Mas Bayu menceraikan Atira.” Atira menatap kosong ke depan dengan tangan yang terus memukuli dada. Akhirnya, ia bisa mengungkapkan rasa sedihnya.
“Maksudnya apa, Tira? Apa? Hah?” tanya bu Asih sambil menatap Atira dengan penuh tanya.“Sakit, Bu. Sakit banget!” Keluh Atira sambil menepuk-nepuk dadanya lagi. “Mas Bayu, ia talak Atira, Bu.” Atira kembali menitikkan air matanya, bahkan pukulan tangannya semakin kencang ke dada seolah ia menunjukkan rasa sakit yang sangat.“Enggak ada, Bayu enggak mungkin melakukan hal itu, Tira. Lagipula, kapan dia mengucapkan ikrar talak? Udah lama Bayu enggak ada kabar. Jangan ngada-ngada!” sanggah bu Asih yang tak mau percaya dengan ucapan Atira. Namun demikian, hati bu Asih merasakan denyut nyeri seolah ia percaya dengan ucapan Atira.“Barusan mas Bayu telpon dan bilang kalau dia ceraikan Atira dengan talak 3.” Atira menatap manik mata bu Asih yang sudah bersimbah air mata.Mendengar penuturan Atira itu, bu Asih segera mencari ponsel milik Atira. Ia pun segera mendial nomor asing dari negara Jepang yang ada di riwayat panggilan, negara dimana Bayu bekerja sebagai buruh pabrik.Tak berselang lama, panggilan itu pun diangkat oleh seseorang."Hallo!" ucap bu Asih dengan penuh was-was."Ya, hallo!" jawab seorang perempuan di sebrang sana."Bu!" panggil Atira. Gegas Atira mengendalikan emosinya. Ia berusaha tegar saat mengetahui kalau sambungan telpon bu Asih diangkat oleh seseorang.Bu Asih pun mengerti, ia segera mengeraskan suara panggilan telepon."Ini dengan siapa? Saya ibunya Bayu." ucap bu Asih to the point."Oh, sebentar Bu!" ucap perempuan itu. "Sayang, ini ibumu." terdengar lumayan jelas ucapan perempuan itu.Bu Asih mengerutkan kening saat mendengar ucapan perempuan itu."Tira, ini nomer Bayu?" tanya bu Asih menatap menantunya yang masih berurai air mata.Atira mengendikkan bahunya pertanda jika ia tak tahu pasti."Hallo, Bu? Apa kabar? Bayu rindu ibu sama anak-anak," cerocos Bayu dari sebrang telepon.Bu Asih terdiam demi mencerna kata demi kata yang diucapkan oleh anak semata wayangnya itu."Hallo Bu!" panggil Bayu sekali lagi membuat lamunan bu Asih buyar seketika."Siapa perempuan yang barusan angkat telpon Ibu?" tanya bu Asih tanpa menjawab pertanyaan Bayu.Atira langsung memeluk bu Asih dengan erat. Ia tergugu dalam dekapan bu Asih. Hatinya tak siap jika harus mendengar pernyataan tentang siapa perempuan itu."Bu, Bayu sudah mentalak Atira dengan talak tiga. Sekarang Bayu sudah berada di bandara untuk pulang ke Indonesia. Bayu pulang sama istri Bayu, Bu!" ucap Bayu dengan sangat lantang.Bagai disambar petir, ucapan Bayu tak kalah menyakitkan bagi bu Asih. Ia tercenung tanpa menjawab ucapan Bayu lagi.Atira semakin tergugu saat mendapati bu Asih tak bergeming dalam diam. Telinganya jelas mendengar apa yang diucapkan oleh Bayu ataupun perempuan yang disebut Bayu sebagai istrinya."Bu!" Atira terus mendekap bu Asih. Ia menangis tersedu tanpa menyadari keadaan ibu mertuanya.“Mamah!” rengek Daffa yang ingin ikut dipeluk oleh Atira.“Hallo! Davin, Daffa, ini Papah. Besok kita ketemu ya, Papah bawain mainan yang banyak buat Davin sama Daffa.”“Papah?” tanya Daffa sambil mencari-cari sumber suara.“Hallo. Davin, Daffa. Hallo! Ibu!”Bayu terus memanggil-manggil ibu dan anak-anaknya.Atira sudah benar-benar merasa tersisihkan dan terbuang dari kehidupan Bayu. Padahal selama ini, ia begitu setia menunggu Bayu meskipun dalam keadaan kesusahan.Setelah merasa cukup Atira menumpahkan rasa sesak di dadanya, ia pun melepaskan pelukannya dan mendapati jika bu Asih bukanlah sedang menangis. Wanita paruh baya itu sedang menahan sesak dadanya. Pantas saja ia tak menjawab panggilan dari Bayu."Bu! Ibu!" panggil Atira dengan raut kebingungan yang luar biasa.Bu Asih tak menjawab panggilan Atira. Ia hanya menekan dadanya dengan telapak tangan kanan sambil berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan pasokan oksigen."Tolong! Tolong! Daffa, temenin dulu Nenek ya!” titah Atira tanpa menunggu jawaban dari bocah lelaki berusia 5 tahun itu.Atira segera berlari keluar rumah untuk mencari pertolongan."Bu RT, tolong ibu saya! Tolong bawa ke rumah sakit!" teriak Atira tak karu-karuan."Kenapa mbak Tira?" tanya Bu RT yang kebetulan sedang berkumpul dengan geng ibu-ibu lainnya di warung bu Retno."Tolong cepat! Ambulance!" teriak Atira sambil menangis tergugu.Mendengar permintaan Atira, Ibu-ibu itu langsung sigap membubarkan diri. Ada yang ke balai desa yang berjarak sekitar 20 meter dari warung bu Retno untuk meminta ambulance desa. Ada yang bergegas ke rumah Pak RT untuk meminta pertolongan. Sedangkan sebagian besarnya menuju rumah Atira untuk melihat keadaan bu Asih.***Atira mondar-mandir di depan ruang ICU, ia tak bisa dengan leluasa menunggui bu Asih yang sedang dalam keadaan kritis.“Sudah, nak Atira. Duduk dulu!” pinta bu RT yang masih setia menunggui Atira di rumah sakit. Sudah satu jam lamanya sejak bu Asih dibawa ke IGD rumah sakit kota, sampai akhirnya harus dirawat intensif di ruang ICU ini.“Saya bingung bu RT,” keluh Atira sambil duduk di kursi tunggu dekat bu RT.“Kenapa?” tanya bu RT sambil mengerutkan keningnya. “Bukankah biaya pengobatan bu Asih sudah dicover pemerintah?” tanya bu RT. Ya, bu Asih yang merupakan janda dari pengabdi negara golongan A, memiliki kartu sehat untuk menjamin biaya pengobatan dengan layanan kelas 1.“Iya, Bu. Alhamdulillah. Cuma saya enggak tenang dengan keadaan ibu, Daffa sama Davin yang sebentar lagi harus saya jemput dari sekolah. Mas Bayu juga enggak bisa dihubungi.” Atira menyugar rambutnya sambil menarik nafas panjang.“Doakan saja ibumu biar lekas pulih,lekas sadar dan bisa keluar dari ruang ICU. Kalau Daffa, kan sudah dijagain sama bu Retno. Nah kalau Davin, kamu jemput aja dulu biar saya yang berjaga di sini. Kalau ada apa-apa, nanti saya hubungi kamu!” ucap bu Retno panjang lebar.“Iya, Bu. Enggak apa-apa saya tinggal dulu?” tanya Atira sambil melihat sendu ke arah wajah bu RT.“Enggak apa-apa. Yang penting, nanti kamu ke sini lagi soalnya saya enggak bisa nungguin bu Asih terus. Banyak hal yang harus saya kerjakan.”“Makasih banyak, Bu. Makasih banyak!” ucap Atira sambil mengusap setiap kali air matanya jatuh mengenai pipi.“Keluarga pasien atas nama Asih Juniarti!” panggil seorang perawat membuat Atira dan bu RT saling berpandangan.“Sa... saya Sus!” jawab Atira sambil mengangkat tangan kanannya.“Mari ikut saya!” pinta perawat itu lagi.Atira menatap wajah bu RT yang sama-sama merasa bingung. Ia bingung harus mendahulukan yang menjemput Davin atau mengikuti perawat.“Cepat, Bu! Ini kritis.”“Ah, baik saya ke sana sekarang!” ucap Atira sambil terus berpikir bagaimana dengan Davin. “Masuklah! Biar ibu hubungi Danu untuk jemputkan Davin.”Atira mengangguk tanpa menolak tawaran bantuan dari bu RT. Danu adalah anak pertama bu RT yang kini bekerja di balai desa. Saat memasuki ruangan penghubung, Atira diminta untuk mencuci tangan dan mengenakan pakaian khusus pengunjung pasien di ruang ICU. Setelah itu, Atira dibawa masuk ke tempat dimana brankar bu Asih diletakkan. “Mohon maaf, dari tadi pasien mengigau memanggil-manggil nama Bayu. Dokter menyarankan agar keluarga pasien diminta untuk menemani bu Asih guna memberikan rangsangan dengan harapan agar pasien segera sadar.” Perawat itu menjelaskan dengan cukup rinci, hanya saja hati Atira yang kini bertambah hancur saat mendengarkan penjelasannya. Ibu mertuanya terus memanggil nama Bayu. “Bagaimana, Bu? Bisa menghadirkan Bayu?” tanya perawat itu lagi. “Emmhh, gimana ya Sus? Dari tadi saya sudah coba hubungi mas Bayu t
“Siapa yang jemput anak saya, Mang?” teriak Atira yang mulai histeris. “Kamu beneran lihat Davin dijemput pakai mobil, Rul? Kamu enggak salah ngenalin orang?” tanya pak Ari ingin memastikan. “Enggak atuh. Saya memang suka sama Davin, anaknya ganteng, ramah, sopan, pinter lagi. Jadi, saya suka nyapa kalau ketemu. Biasanya kan saya datang ke sekolah enggak telat kaya hari ini.” Mang Sahrul meyakinkan bahwa dirinya tak salah mengenali orang. “Tadi lihat orang yang bawa Davin nya siapa?” tanya pak Ari lagi. “Enggak, soalnya tadi Davin naik sendiri ke mobil. Enggak tahu orang yang bawanya udah masuk duluan pas saya belum lihat. Pokoknya, pas dia mau masuk mobil saya tanya, Davin pulang sama siapa? Dia jawab sama mamah. Tadi saya berdiri di agak jauh di belakang mobil, jadi enggak lihat ke dalam mobil.” Mang Sahrul terdiam untuk mengingat sesuatu. “Mang, saya belum jemput Davin. Saya baru dari rumah sakit.” Atira terduduk di atas trotoar. Dunianya serasa berhenti di detik ini juga
Atira berbelok menuju rumah sakit kota. Ia pun segera mencari tempat parkir dan segera turun menuju ruang ICU. “Atira!” panggil bu RT yang melihat Atira meskipun dari kejauhan. “Bu, masih di sini? Ini udah mau malem!” ucap Atira yang merasa tak enak hati sudah merepotkan bu RT.“Enggak apa-apa. Habisnya kamu lama banget, mau ditinggal kasihan, daritadi bu Asih nangis terus.” Atira membulatkan matanya saat mendengar kabar bahwa bu Asih menangis. “Ibu nangis? Ibu sadar?” tanya Atira penuh harap. Bu RT menggelengkan kepalanya. “Bu Asih cuma ngigo, sama kaya tadi waktu kamu masuk. Tadi, karena saya bilang saya keluarga, jadi dibolehin masuk. Saya ngaji dekat bu Asih, dia nangis. Kata dokter, itu respon yang cukup baik.” Atira mendengarkan tanpa menanggapi ucapan bu RT. “Oya, tadi ada dokter. Katanya ada tindakan yang butuh persetujuan keluarga. Saya bilang harus rembukan dulu sama keluarga yang lain.” “Tindakan apa, Bu?” tanya Atira yang kini mengalihkan atensinya untuk bu
Atira mengerjapkan matanya pelan. “Aww, sakit!” desisnya saat ada rasa nyeri di bagian punggung. Ia terbangun dengan suara adzan yang saling bersahutan. Atira pun berniat memeriksa pundak yang terasa sangat sakit, seperti habis tertimpa sesuatu. “Hah? Apaan ini?” ucap Atira saat ia tidak bisa menggerakkan tangannya sama sekali. Hal ini pun membuat kesadaran Atira pulih sepenuhnya. “Apaan ini?” lirih Atira saat ia mendapati tangan dan kakinya terikat. Ia yang terikat tangan dan kaki dalam keadaan tertidur miring ke kanan, langsung duduk dan bergeser secepat yang ia bisa ke arah pintu. Untung saja, kondisi luar yang terang dengan lampu memudahkan ia mengetahui dimana posisi pintu. Sesampainya di depan pintu, ia pun berusaha berdiri dan berhasil, meskipun sangat sulit. Ia khawatir orang yang mengikatnya adalah orang jahat dan nekad. Karena tangannya diikat ke belakang, ia pun memunggungi pintu dan meraih gagangnya. Atira memutar gagang pintu dan menariknya, namun usahanya gagal ka
“Siapa dia?” gumam Atira pelan. Ia pun berusaha menoleh ke arah perempuan itu. Nihil. Selain gelap, perempuan itu melakukan panggilan di ruangan lain. Atira terdiam dan berpikir, dari cara perempuan itu berbicara, ia terdengar ketakutan dan kemungkinan nyawanya aman untuk sementara. “Ah ya, tadi kayanya adzan subuh. Biasanya bapak-bapak banyak yang ke Mesjid. Harusnya aku berteriak saat mereka bubar.” Atira menghembuskan nafas kesal karenanya. Tadi ia tak memperkirakan hal itu. Terdengar krasak krusuk suara langkah beberapa orang di depan rumahnya. Ceklek... Pintu rumah Atira terbuka dari luar dengan pelan-pelan. Atira langsung pura-pura tak sadarkan diri karena mengira bahwa yang datang adalah orang yang berada di sambungan telepon perempuan tadi. “Stop kontaknya sebelah kanan, Pah!” ucap seorang wanita dari luar rumah. Tentunya dengan setengah berbisik, namun Atira tetap mengenali suaranya. “Bu Retno!” ucapnya dalam hati. “Emmmmm...!” Dug... dug... dug.Atira berusaha berbi
“Bu, ketemu pencurinya!” ucap Atira senang, seolah-olah ia lupa akan rasa sedihnya yang lain. “Iya.” Bu Retno terus berusaha menggunting tali rapia yang mengikat Atira, namun sayang guntingnya tumpul sehingga ia harus lebih berusaha lagi. “Mah, bisa enggak?” tanya pak Ramli sambil menghampiri mereka. “Ah, susah Pah. Harus pakai pisau kayanya.” Bu Retno segera meletakkan gunting di hadapan pak Ramli, sedangkan ia segera ke dapur. Pak Ramli meraih gunting itu dan segera mengakali untuk membuka tali yang mengikat Atira. “Perempuan!” ucap pak Ramli dengan tatapan tetap fokus pada usahanya memotong tali rapia. “Tuh kan. Tadi juga Tira dengar dia nelpon orang, emang suaranya suara perempuan,” cetus Atira membenarkan ucapan pak Ramli. “Sudah.” Pak Ramli segera memberikan gunting itu kepada Atira, tali pun terlepas semua. “Ayo, kita lihat ke depan!” ajaknya tanpa menunggu Atira. “Loh, kok udah lepas aja? Ini Ibu
“Tunggu!” Semua orang langsung menoleh pada sumber suara. “Bayu!” “Untung kamu datang? Lihat, istrimu disekap sama pencuri wanita ini.” “Untung enggak sampai kenapa-napa, meskipun sempet pingsan dan diikat.” “Dasar!” “Syukurlah, Yu!” “Atira senang, setelah sedih langsung senang dan bulan madu.” “Bay, ibumu lagi sakit, istrimu disekap pencuri.” Beberapa orang menyalami Bayu yang masih terpaku di tempatnya. Langkahnya seolah terpaku setelah ia menerima pujian yang banyak. Atira yang melihat Bayu terdiam menatap dirinya, kemudian wanita itu dan kembali lagi menatapnya, ia paham bahwa wanita itu memang benar adalah istrinya. “Mas Bayu! Huhuhuhuhuhuhuhu... “ teriak wanita itu dengan menangis kencang. Ia pun berusaha melepaskan diri dari cengkeraman bapak-bapak yang menyeretnya. “Tolong lepas istri saya, Pak!” ucap Bayu yang akhirnya melangkahkan kakinya menuju wanita itu. “Bayu!” pak Ramli dan bapak-bapak lain yang berada di sana hampir serentak memanggil namanya. Mereka cukup
“Tira, kamu mau kemana sekarang?” tanya bu Retno sambil membantu Atira mengemasi baju-bajunya. “Entahlah, Bu!” jawab Atira sambil menarik nafas terdalamnya. “Kamu tinggal aja dulu di rumah Ibu,” tawar bu Retno. “Enggak enak ada pak Ramli. Belum lagi rumah Ibu berhadapan langsung dengan mas Bayu.” Atira kembali menarik nafasnya dalam-dalam. “Si Papah enggak bakalan protes. Dia pasti malah senang ada kamu karena kamu kan tahu sendiri kalau Ibu itu enggak punya anak.” Bu Retno berucap sambil membulatkan mulutnya. Ia benar-benar berharap kalau Atira mau tinggal dengannya. Namun tidak demikian dengan Atira, ia merasa bukan anak kecil yang bisa dengan mulusnya menjadi anak angkat pak Ramli. Dia khawatir malah menjadi fitnah di keluarga harmonis bu Retno. “Emmh, bu. Boleh Tira minta tolong lagi?” tanya Atira ragu. Ia meragu bukan karena takut ditolak, tapi ia malu karena terlalu banyak merepotkan. “Boleh. Apapun itu.” Kali ini manik mata bu Retno terfokus menatap Atira, menunggu