Home / Pernikahan / Bukan Wanita Impian Suamiku / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Bukan Wanita Impian Suamiku: Chapter 61 - Chapter 70

108 Chapters

Bab 60. Rumah Kaca

Seingatku tempat kami meeting berada di lantai dua belas, kenapa dia menekan angka tiga belas? Apa ada ruangan lagi di atas sana? Tunggu dulu! Saat tadi datang ke gedung ini, kami diantar oleh pegawai dari lantai bawah. Dia menerangkan kalau tempat meeting di lantai paling atas, an aku ingat benar di lift sebelah-lift umum-tidak terdapat angka tiga belas. Jangan-jangan …. “Ka-kamu akan bawa aku kemana?” Rasa takut tiba-tiba menyergap. Mengingat sikapnya yang berubah seperti angin, bisa jadi orang di depanku ini seorang psikopat. Kadang-kadang baik, manis, tapi bisa kumat menyebalkan. Mungkin saja dia mampu berlaku sadis. Apalagi dia seorang dokter. Di tangannya bisa menentukan orang bisa hidup atau mati. Tangannya biasa memegang pisau bedah untuk menyayat tubuh manusia. Apa hari ini aku menjadi mangsanya? Aku diseret ke ruangan rahasia seperti di film-film tentang psikopat yang biasanya mereka orang berduit, terkenal dan tampan seperti … dia. Kepalanya yang menoleh membuatku miri
Read more

Bab 61. Makan Siang

Orang yang menyebalkan dan sempat membuatku takut, sedang membayar. Celetukanku tentang makan romantis seperti kakeknya, diwujudkan hanya dengan jentikan jari. Beberapa orang mengirim makanan dan menset-up di meja bulat berbalut kain putih. Ini seperti di film-film yang tidak masuk akal. “Kamu memesan ini?” “Iya. Kami biasa makan di sini, dan mereka juga tahu apa yang biasa dilakukan. Kasihan juga, layanan mereka sudah lama tidak digunakan,” ucapnya menunjuk kepada orang-orang yang berlalu setelah permisi. “Apa diperbolehkan oleh istri Pak Haris?” Pikirku ini tempat spesial mereka berdua. Kalau orang lain memakainya, bukankah akan mengusik privasi mereka? Dokter Burhan menggeleng. “Semenjak kepergian Nenek, Kakek jarang ke sini.” Aku menutup mulut dengan telapak tangan, tidak sengaja mengungkit duka. Lelaki ini menceritakan kalau istri Pak Haris meninggal karena penyakit tumor otak. Tidak mengancam jiwa, tetapi karena pertumbuhannya lambat laun membesar akan menekan syarat yang m
Read more

Bab 62. Serahkan Kepadaku

“Dia benar-benar tega, ya!” Tangannya mengepal keras. Geram yang dia tunjukkan memantik dahiku berkerut dalam. Kenapa dia yang orang antah berantah bereaksi sedemikian?Mungkin karena dia dekat dengan anakku. Sikap kekesalan yang dia tunjukkan wujud dari solidaritas antar penyuka bacaan komik dan teman sepermainan game. Tidak lebih.Akan tetapi, yang ditunjukkan berikutnya tidak pernah masuk dalam rencanaku. Dia memindah kursi yang sebelumnya kami berbatas meja, sekarang berjajar.“Aku janji. Kalau dia macam-macam aku akan menurunkan team pengacaraku, untuk melibas mantan suamimu,” ucapnya dengan mengangguk menyakinkan aku.“Bukankah kalau seperti itu justru proses semakin berlarut-larut?” tanyaku balik.Aku tidak pernah berhubungan dengan pengadilan dan segala keriwehan. Karenanya, proses perceraianku aku segerakan dengan meloloskan semua keinginan dia. Bagiku adu argumen dengn berbelit lidah hanya menguras tenaga saja. Meradu pengacara di meja mengadilan hanya membuang uang dan kese
Read more

Bab 63.  Sudah Makan?

Memang ada jalan yang kita lalui benar-benar bebas hambatan? Jalan yang bertarif pun, tetap memperingatkan pengemudi untuk mengatur kecepatan. Seperti dalam berbisnis, pedal gas dan rem harus dimainkan. Terlebih seperti aku yang masih melewati jalan berbatu.Setiap kaki melangkah sering mendapati batu, ini menjadi pilihan: menganggap batu itu sebagai penghalang atau untuk batu loncatan.Mega proyek ini berbeda dengan yang aku kerjakan biasanya. Sebelumnya kami hanya menggarap gedung untuk kantor, pusat perbelanjaan, atau hunian. Namun, sekarang ini kami harus menggabungkan antara design dan konsep dasar, dengan fungsional sebagai rumah sakit. Ini semua terkait dengan peralatan yang menunjang.“Kamu sekarang tahu, kan, kenapa aku menjadi penanggung jawab proyek? Dan, kamu harus banyak berhubungan denganku?” ucap Dokter Burhan setelah melihat laporan yang aku sertakan kepadanya.Baru beberapa hari setelah penandatangan, dan ini masih tahap persiapan. Ini yang memaksaku mondar-mandir me
Read more

Bab 64. Onlen

Seseorang memang membutuhkan perhatian. Diingatkan ini dan itu demi kebaikan. Akan tetapi kalau pagi, siang, sore, bahkan sebelum mata terpejam, bukankah itu tidak ada bedanya dengan penagih pinjaman onlen?*** “Aida. Kamu ini bisa dibilangin, kan? Padahal umurmu sudah tua yang seharusnya tahu artinya makan itu untuk apa. Makan itu ibaratnya kendaraan yang membutuhkan bahan bakar. Itu supaya dia bisa melaju. La, kalau kamu tidak makan, bukankah kamu tidak bisa kerja dengan baik?” ucapnya menerocos setelah layar ponsel aku buka.Ingin aku memberi sangkalan, tapi dia kembali melanjutkan ucapan. Ternyata dia hanya mengutip udara untuk melanjutkannya.“Jangan memberikan alasan tidak sempat makan karena sibuk bekerja. Padahal itu pemikiran yang kebalik, makan itu untuk kerja. Mengerti?”Aku mengerjap melihat lelaki di layar yang mendengus kesal sambil menyunggar rambutnya yang tidak klimis lagi. Dalam hati aku tersenyum, kenapa juga dia repot-repot mengurusi aku sudah makan atau belum.“
Read more

Bab 65. Mencoba Berdamai

“Untuk apa aku bertemu Papa? Bukankah dia sudah melupakan keberadaanku?” ucap Daniel malam itu. Setelah Mas Ammar mengirim pesan ingin bertemu dengan Daniel, malamnya langsung aku sampaikan niat itu. Aku tidak mau nanti mendapat tuduhan menguasai Daniel. Walaupun kami sudah bercerai, ibu mana yang tidak ingin melihat anaknya akur dengan si ayah. Bekas istri dan suami ada, tetapi tidak ada bekas anak dan orang tua. “Papa kangen, Sayang. Kalian boleh kok makan bersama, atau bermain kesukaan kalian,” ucapku berusaha membujuknya. Aku yakin dalam hati anak lelakiku pasti mempunyai kerinduan untuk menghabiskan waktu dengan Mas Ammar. Mereka dulu sering bepergian bersama. Berkemah, memancing, atau basket yang menjadi kesukaan mereka. Namun, niatku ini justru menimbulkan salah paham. “Mama menginginkan Daniel ikut Papa?” tanyanya dengan mata menyiratkan kekecewaan. Spontan aku memegang kedua bahunya, aku tidak mau terbersit perasaan tidak diinginkan pada anak lelakiku ini. Rasa yang seri
Read more

Bab 66. Ditunjukkan

Senyumnya tipis tanpa melepas pandangan. Aku menghabiskan kopi yang tersisa untuk mengurai rasa tidak nyaman.“Syukurlah,” ucapnya sambil menekan bara ke asbak. Batang yang masih panjang, hancur melebur bersama abu. “Itu menunjukkan kamu tidak anti hadirnya laki-laki. Kamu masih merindukan kehangatan dan pe__”“Mas Ammar!” teriakku menghentikan ucapan yang mulai kurang ajar.“Loh, kenapa? Bukankah itu hal biasa terjadi kepada orang dewasa seperti kita. Aku tahu bagaimana kamu, Aida,” ucapnya sambil mengulas senyuman.Kalau pembicaraan antara suami istri, ini bisa dimaklumi. Sedangkan di depanku adalah mantan suami. Hubungan kami sudah usai dan sangat tidak patut kalau dia melontarkan hal itu.“Siapa lelaki itu? Apa di seperkasa seperti aku?” Wajahnya yang ditumbuhi cambang halus, mendekat. Entah ekspresi apa yang dia tunjukkan. Terlintas ada ejekan sekaligus kilatan kecewa.Terbersit membungkam mulut yang membuatku kesal. Tangan ini mulai meremat celana panjang yang aku gunakan. Nam
Read more

Bab 67. Ingin Liburan

Semenjak proyek berjalan, hari-hariku penuh dengan bekerja dan bekerja, menuntut anakku itu untuk bersabar. Sekarang malam sabtu, Daniel seperti diingatkan kalau aku memberi janji untuk liburan di akhir pekan.“Ujian sekolah sudah selesai, dan sekarang libur. Bukankah Mama bilang pertengahan bulan ini sudah tidak sibuk lagi,” ucap Daniel sambil menyodorkan air putih. Dia duduk di karpet, kemudian menyandarkan diri ke kakiku.Memang yang dikatakan benar. Proyek sudah berjalan sesuai dengan rencana dan rancangan yang sudah aku tetapkan dan disetujui. Prosentase campur tanganku tinggal sedikit dan berganti tugas dengan Laila yang memegang bagian sipil.“Jadi besok kita bisa liburan, kan?”Sekali lagi aku mengangguk dan disambut sorak gembira anak remajaku. Wajahnya begitu cerita, menyentil diriku yang selama ini mengabaikannya. Keseharian dia ke sekolah, di apartemen sendirian, dan baru bertemu denganku setelah petang.“Kita ke mall?” tanyaku sambil menyodorkan gelas yang sudah kosong. K
Read more

Bab 68. Mau?

“Kita akan kemana?” Mata anakku mengerjap. Walaupun penerangan kamar hanya dari lampu tidur yang temaran, tapi mataku menangkap jejak kecewa di matanya.“Kita besuk jalan-jalan. Siapkan apa yang akan dibawa. Seperlunya saja, semua sudah disiapkan di sana,” ucapku sambil mengusap tangannya yang terulur.“Tapi, Ma. Daniel tidak apa-apa, kok, kita di rumah dan jalan-jalan ke mall. Aku bisa ke toko buku.” Dia keluar dari selimut dan duduk bersila menghadapku.Aku tersenyum. “Mama pikir-pikir, ke mall mulai membosankan. Benar, kita harus mencari suasana lain. Mama juga stress mikir kerjaan terus. Pokoknya kita jalan-jalan seperti yang Daniel ingin. Okey?”“Berkemah?”“Hu-um,” jawabku disambut binar di matanya.Kalau Daniel dulu mempunyai keinginan, dia pasti akan memaksa bahkan ngambek kalau tidak dipenuhi. Maklum juga, karena dia hanya anak satu-satunya. Namun, setelah perpisahan aku dan Mas Ammar, dia seperti sadar diri.Lega karena dia mulai belajar dewasa, tetapi ada kekawatiran dia a
Read more

Bab 69. Membayar Janji Kepada Daniel

Daniel seperti mendapat apa yang dia inginkan. Senyumannya tidak terlepas dari wajahnya. Udara dingin yang menyusup, seakan tidak mampu mengusik kegembiraannya.“Yang kamu inginkan kemah seperti ini, kan?” tanya Mas Burhan sambil merangkul bahu anakku. Wajah Daniel menghadap ke lelaki itu, dan menunjukkan kepuasan.Kami sekarang berdiri di pelataran berlantai kayu, menunggu bawaan kami diturunkan. Di sekeliling kami penuh dengan tanaman hijau, dan beberapa tempat terdapat tenda-tenda berukuran besar.“Ini sangat melebihi ekspektasi Daniel, Om. Pemandangannya keren abis!” serunya sambil menunjukkan jempol tangan.“Jadi ini cukup membayar janji Om, kan?”“Janji?” sahutku heran. Saling bergantian, aku memindahi wajah mereka yang menunjukkan senyuman. Terlihat Daniel berkerut sesaat, mungkin ingat dengan janjinya untuk tidak meminta hal apapun ke orang lain.“Bukan Daniel yang meminta,” ucap Mas Burhan. Bisa jadi dia mencium gelagatku yang mulai curiga. “Aku yang memberi tantangan ke Dani
Read more
PREV
1
...
56789
...
11
DMCA.com Protection Status