Terima kasih untuk semua pembaca. . Terima kasih juga kepada Bunda Lin. Yang sudah aktif memberikan dukungan dengan memberikan komentar. Itu sungguh menambah semangat. . Untuk pembaca lainnya, jangan sungkan untuk memberi komentar. . Bahagia selalu.
“Dia benar-benar tega, ya!” Tangannya mengepal keras. Geram yang dia tunjukkan memantik dahiku berkerut dalam. Kenapa dia yang orang antah berantah bereaksi sedemikian?Mungkin karena dia dekat dengan anakku. Sikap kekesalan yang dia tunjukkan wujud dari solidaritas antar penyuka bacaan komik dan teman sepermainan game. Tidak lebih.Akan tetapi, yang ditunjukkan berikutnya tidak pernah masuk dalam rencanaku. Dia memindah kursi yang sebelumnya kami berbatas meja, sekarang berjajar.“Aku janji. Kalau dia macam-macam aku akan menurunkan team pengacaraku, untuk melibas mantan suamimu,” ucapnya dengan mengangguk menyakinkan aku.“Bukankah kalau seperti itu justru proses semakin berlarut-larut?” tanyaku balik.Aku tidak pernah berhubungan dengan pengadilan dan segala keriwehan. Karenanya, proses perceraianku aku segerakan dengan meloloskan semua keinginan dia. Bagiku adu argumen dengn berbelit lidah hanya menguras tenaga saja. Meradu pengacara di meja mengadilan hanya membuang uang dan kese
Memang ada jalan yang kita lalui benar-benar bebas hambatan? Jalan yang bertarif pun, tetap memperingatkan pengemudi untuk mengatur kecepatan. Seperti dalam berbisnis, pedal gas dan rem harus dimainkan. Terlebih seperti aku yang masih melewati jalan berbatu.Setiap kaki melangkah sering mendapati batu, ini menjadi pilihan: menganggap batu itu sebagai penghalang atau untuk batu loncatan.Mega proyek ini berbeda dengan yang aku kerjakan biasanya. Sebelumnya kami hanya menggarap gedung untuk kantor, pusat perbelanjaan, atau hunian. Namun, sekarang ini kami harus menggabungkan antara design dan konsep dasar, dengan fungsional sebagai rumah sakit. Ini semua terkait dengan peralatan yang menunjang.“Kamu sekarang tahu, kan, kenapa aku menjadi penanggung jawab proyek? Dan, kamu harus banyak berhubungan denganku?” ucap Dokter Burhan setelah melihat laporan yang aku sertakan kepadanya.Baru beberapa hari setelah penandatangan, dan ini masih tahap persiapan. Ini yang memaksaku mondar-mandir me
Seseorang memang membutuhkan perhatian. Diingatkan ini dan itu demi kebaikan. Akan tetapi kalau pagi, siang, sore, bahkan sebelum mata terpejam, bukankah itu tidak ada bedanya dengan penagih pinjaman onlen?*** “Aida. Kamu ini bisa dibilangin, kan? Padahal umurmu sudah tua yang seharusnya tahu artinya makan itu untuk apa. Makan itu ibaratnya kendaraan yang membutuhkan bahan bakar. Itu supaya dia bisa melaju. La, kalau kamu tidak makan, bukankah kamu tidak bisa kerja dengan baik?” ucapnya menerocos setelah layar ponsel aku buka.Ingin aku memberi sangkalan, tapi dia kembali melanjutkan ucapan. Ternyata dia hanya mengutip udara untuk melanjutkannya.“Jangan memberikan alasan tidak sempat makan karena sibuk bekerja. Padahal itu pemikiran yang kebalik, makan itu untuk kerja. Mengerti?”Aku mengerjap melihat lelaki di layar yang mendengus kesal sambil menyunggar rambutnya yang tidak klimis lagi. Dalam hati aku tersenyum, kenapa juga dia repot-repot mengurusi aku sudah makan atau belum.“
“Untuk apa aku bertemu Papa? Bukankah dia sudah melupakan keberadaanku?” ucap Daniel malam itu. Setelah Mas Ammar mengirim pesan ingin bertemu dengan Daniel, malamnya langsung aku sampaikan niat itu. Aku tidak mau nanti mendapat tuduhan menguasai Daniel. Walaupun kami sudah bercerai, ibu mana yang tidak ingin melihat anaknya akur dengan si ayah. Bekas istri dan suami ada, tetapi tidak ada bekas anak dan orang tua. “Papa kangen, Sayang. Kalian boleh kok makan bersama, atau bermain kesukaan kalian,” ucapku berusaha membujuknya. Aku yakin dalam hati anak lelakiku pasti mempunyai kerinduan untuk menghabiskan waktu dengan Mas Ammar. Mereka dulu sering bepergian bersama. Berkemah, memancing, atau basket yang menjadi kesukaan mereka. Namun, niatku ini justru menimbulkan salah paham. “Mama menginginkan Daniel ikut Papa?” tanyanya dengan mata menyiratkan kekecewaan. Spontan aku memegang kedua bahunya, aku tidak mau terbersit perasaan tidak diinginkan pada anak lelakiku ini. Rasa yang seri
Senyumnya tipis tanpa melepas pandangan. Aku menghabiskan kopi yang tersisa untuk mengurai rasa tidak nyaman.“Syukurlah,” ucapnya sambil menekan bara ke asbak. Batang yang masih panjang, hancur melebur bersama abu. “Itu menunjukkan kamu tidak anti hadirnya laki-laki. Kamu masih merindukan kehangatan dan pe__”“Mas Ammar!” teriakku menghentikan ucapan yang mulai kurang ajar.“Loh, kenapa? Bukankah itu hal biasa terjadi kepada orang dewasa seperti kita. Aku tahu bagaimana kamu, Aida,” ucapnya sambil mengulas senyuman.Kalau pembicaraan antara suami istri, ini bisa dimaklumi. Sedangkan di depanku adalah mantan suami. Hubungan kami sudah usai dan sangat tidak patut kalau dia melontarkan hal itu.“Siapa lelaki itu? Apa di seperkasa seperti aku?” Wajahnya yang ditumbuhi cambang halus, mendekat. Entah ekspresi apa yang dia tunjukkan. Terlintas ada ejekan sekaligus kilatan kecewa.Terbersit membungkam mulut yang membuatku kesal. Tangan ini mulai meremat celana panjang yang aku gunakan. Nam
Semenjak proyek berjalan, hari-hariku penuh dengan bekerja dan bekerja, menuntut anakku itu untuk bersabar. Sekarang malam sabtu, Daniel seperti diingatkan kalau aku memberi janji untuk liburan di akhir pekan.“Ujian sekolah sudah selesai, dan sekarang libur. Bukankah Mama bilang pertengahan bulan ini sudah tidak sibuk lagi,” ucap Daniel sambil menyodorkan air putih. Dia duduk di karpet, kemudian menyandarkan diri ke kakiku.Memang yang dikatakan benar. Proyek sudah berjalan sesuai dengan rencana dan rancangan yang sudah aku tetapkan dan disetujui. Prosentase campur tanganku tinggal sedikit dan berganti tugas dengan Laila yang memegang bagian sipil.“Jadi besok kita bisa liburan, kan?”Sekali lagi aku mengangguk dan disambut sorak gembira anak remajaku. Wajahnya begitu cerita, menyentil diriku yang selama ini mengabaikannya. Keseharian dia ke sekolah, di apartemen sendirian, dan baru bertemu denganku setelah petang.“Kita ke mall?” tanyaku sambil menyodorkan gelas yang sudah kosong. K
“Kita akan kemana?” Mata anakku mengerjap. Walaupun penerangan kamar hanya dari lampu tidur yang temaran, tapi mataku menangkap jejak kecewa di matanya.“Kita besuk jalan-jalan. Siapkan apa yang akan dibawa. Seperlunya saja, semua sudah disiapkan di sana,” ucapku sambil mengusap tangannya yang terulur.“Tapi, Ma. Daniel tidak apa-apa, kok, kita di rumah dan jalan-jalan ke mall. Aku bisa ke toko buku.” Dia keluar dari selimut dan duduk bersila menghadapku.Aku tersenyum. “Mama pikir-pikir, ke mall mulai membosankan. Benar, kita harus mencari suasana lain. Mama juga stress mikir kerjaan terus. Pokoknya kita jalan-jalan seperti yang Daniel ingin. Okey?”“Berkemah?”“Hu-um,” jawabku disambut binar di matanya.Kalau Daniel dulu mempunyai keinginan, dia pasti akan memaksa bahkan ngambek kalau tidak dipenuhi. Maklum juga, karena dia hanya anak satu-satunya. Namun, setelah perpisahan aku dan Mas Ammar, dia seperti sadar diri.Lega karena dia mulai belajar dewasa, tetapi ada kekawatiran dia a
Daniel seperti mendapat apa yang dia inginkan. Senyumannya tidak terlepas dari wajahnya. Udara dingin yang menyusup, seakan tidak mampu mengusik kegembiraannya.“Yang kamu inginkan kemah seperti ini, kan?” tanya Mas Burhan sambil merangkul bahu anakku. Wajah Daniel menghadap ke lelaki itu, dan menunjukkan kepuasan.Kami sekarang berdiri di pelataran berlantai kayu, menunggu bawaan kami diturunkan. Di sekeliling kami penuh dengan tanaman hijau, dan beberapa tempat terdapat tenda-tenda berukuran besar.“Ini sangat melebihi ekspektasi Daniel, Om. Pemandangannya keren abis!” serunya sambil menunjukkan jempol tangan.“Jadi ini cukup membayar janji Om, kan?”“Janji?” sahutku heran. Saling bergantian, aku memindahi wajah mereka yang menunjukkan senyuman. Terlihat Daniel berkerut sesaat, mungkin ingat dengan janjinya untuk tidak meminta hal apapun ke orang lain.“Bukan Daniel yang meminta,” ucap Mas Burhan. Bisa jadi dia mencium gelagatku yang mulai curiga. “Aku yang memberi tantangan ke Dani
Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal
“Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,
“Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog
“Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya
POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad
Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”
Aku mengeratkan genggaman pada pergelangan tangan Daniel. Sama denganku, anakku ini terlihat kaget mendengar ucapan lelaki ini. Dari awal persiapan, aku selalu mengatakan ada Tante Candra-saudara Tante Laila-yang akan menemani kami. Bodohnya aku tidak bertanya lebih lanjut kepada Laila siapa sebenarnya saudara yang menjadi tour guide kami. Siapa sangka nama Candra Lukita bukanlah perempuan, tapi justru laki-laki. “Ma-maaf. Saya pikir….” “Santuy, ajah. Aku panggil kamu Aida, ya? Kita mungkin tidak seumuran, tapi di negara ini tidak memandang seseorang dari umur.” Dalam hati aku mencembik. Tidak usah bilang umur. Tanpa dibilang pun aku tahu lelaki ini jauh lebih muda dariku. Tubuhnya aja yang menjulang yang memanipulasi usianya. “Iya, silakan. Tapi sekali lagi minta maaf, ya. Laila juga tidak mengatakan kalau anda laki-laki. Saya juga tidak bertanya,” sahutku memberi alasan. Dia menunjukkan senyuman pemakluman. Jujur aku malu, kok bisanya aku tidak seteliti ini. Sampai jenis kela
Kata-kata bernada kompromi bergumul di kepala. Menjadikan apa yang terjadi adalah suatu yang bisa dimaklumi. Kami yang sama-sama dewasa yang tentunya mempunyai kebutuhan hasrat dan itu hal biasa. Terlebih bagi dua insan yang saling jatuh cinta. ‘Huft! Pembelaan mencari pembenaran,’ bisik sudut hatiku sebelah sana. Namun, bukankah kedewasaan dan rasa cinta seharusnya menempatkan seseorang untuk dijaga? Bukan untuk dijadikan obyek pelampiasan hasrat semata. Cinta yang agung hanya tersekat selembar rambut dengan nafsu. Dan, yang terjadi sudah hal demikian. Sepanjang jalan menuju pulang, kami hanya terdiam. Tidak ada kata sepatahpun setelah dia mengatakan maaf. “Aida. Maafkan aku. A-aku sangat merindukan kamu dan mendapati kamu seperti sekarang menjadikan aku tidak mampu mengendalikan diri,” ucapnya dengan suara parau. “Kamu membuatku gila, Aida,” gumamnya sambil meraup kasar wajahnya. Tanganku mencengkeram jaket yang sudah aku eratkan. Begitu juga bawahan baju tidur yang tidak cu
Kata orang, semakin kita meniatkan sesuatu, semakin godaan akan datang. Aku mengurus semua untuk kepergianku, mulai dari administrasi, sampai izin ke sekolah Daniel. Tentu saja ini dirahasiakan dari Mas Burhan.Dia hanya tahu, ketidak aktifanku di kantor karena untuk pemulihan. Itu juga karena Laila yang memberitahu dia.“Aku mendukung, kok,” ucapnya melalui sambungan telpon.“Benar? Kamu tidak merasa rugi karena aku meninggalkan proyek?” tanyaku sarkas. Setahuku dari dulu dia selalu mengatakan hal yang menyangkut untung dan rugi. Terlebih tentang kehadiranku.Dia tidak tersinggung, justru suara tawa terdengar.“Kamu ingat saja. Itu kan supaya kamu tidak mewakilkan kehadiranmu.”Aku mendengkus. “Huh, bilang saja tidak mau rugi.”“Iya, lah. Rugi kalau aku datang dan gagal bertemu dengan orang yang aku inginkan,” sahutnya memantik diri ini mengernyitkan dahi.Di setiap percakapan, selalu saja ucapan rayuan menyoal. Dasar laki-laki playboy. Mungkin ini satu alasan dia tidak kunjung mempu