Berdebat dengan yang namanya Burhan Abimata, mana bisa menang. Segala argumen dilontarkan dengan jajaran sebab akibat. Kalau ini skripsi, pasti pengujinya bilang iya dan ok.“Kakek kan sudah tahu kalau kita sedang pendekatan menuju serius. Diapun tahu kalau ada Daniel, dan aku sedang mendekati dia untuk mendapatkan Mamanya. Apalagi Pak Karta selalu memata-matai kita,” ucapnya membuatku tersenyum miring.“Tapi bukan berarti kita tidur bersama.”“Hlah, kita kan kemping, Ai. Bukan tidur bersama di hotel. Biasakan kalau berkemah kita desak-desakan dengan teman lainnya? Justru itu asyiknya. Kebersamaan.”Aku menghela napas. Berdiri dengan bersendekap dan memilih melempar pandangan ke telaga yang mulai menunjukkan kecantikan yang berbeda di setiap pergantian waktu.“Bukannya seharusnya kamu yang tidur di villa,” ucapnya mengingatkan aku pada rencana awal.Keenggananku untuk berkemah, tadinya aku akan bermalam di villa yang ada di sebelah restoran. Bangunan estetik yang biasanya digunakan
Meja lipat pendek berbahan kayu, menjadi senter di pelataran kayu yang dialasi karpet. Tiga karyawan yang datang membawakan makan siang. Aku mengernyit saat mereka menset-up kompor beserta wajan besi datar. Tidak hanya itu, bahan makanan berjajar memenuhi permukaan meja.Salah satu mereka menjelaskan kalau ini pesanan Daniel. Dia masih menuju kembali setelah berkeliling dengan Pak Karta di kebun teh.“Daniel tahu saja kalau aku lapar. Pilihannya tepat lagi. Udara dingin, dihangatkan dengan kompor,” ucap lelaki itu. Kemudian dia merogoh saku, mengeluarkan uang dan diselipkan ke salah satu dari mereka.Aku yang sempat kelimpungan, hanya memperhatikan mereka. Diriku masih disibukkan meredam gemuruh akibat kejadian yang nyaris tadi. Hampir saja aku terhanyut, tepatnya kami sama-sama terpantik. Tidak mungkin kan, tepukan tangan hanya dikarenakan satu tangan.Mungkin udara yang dingin dan hanya ada kami berdua, menyeret makhluk penggoda menjalankan tugas. Kedua telapak tangan menangkup kedu
Daniel seperti menghabiskan tenaganya untuk menuntaskan petualangan. Pulang dari pasar, dia langsung aku suruh membersihkan diri. Bagaimana tidak, bajunya kotor dengan lumpur. Wajahnya terlihat letih, tetapi sorot matanya menunjukkan kegembiraan yang sarat. “Dingin?” tanyaku ketika dia menggelar selimut. “Iya, Ma.” Selimut ditangkupkan di tubuhnya. “Daniel mandi pakai air hangat, keluar kamar mandi justru kedinginan.” Aku tersenyum sambil menyeduh teh yang sudah disiapkan di teko panas. Tangannya menyibak selimut, kemudian menangkup cangkir yang menguarkan kehangatan. “Mama tadi tidak dingin?” “Dingin banget. Mama saja sampai gemetaran. Minum tehnya supaya perutmu tidak kaku.” Setelah makan tadi, aku mengendus badanku yang beraroma daging bakar. Niatnya ingin keramas, menghilangkan bau di rambut, tapi udara yang dingin bisa jadi membuatku membeku. Apalagi aku lupa tidak membawa pengering rambut. “Om Dokter kemana, Ma?” “Tidak tahu. Setelah mandi, dia sudah tidak ada. Mungkin d
Kekisruhan tadi malam berakhir, setelah bantal dan tas ransel Daniel menjadi pembatas tidur kami. Walaupun kesepakatan dengan drama juga.“Ai, kepalamu jangan di tutup,” ucapnya tadi malam. Aku yang memunggunginya merasakan tepukan di punggung. Kesal rasanya, tidurku terusik. Mataku sudah berat dan ingin menyambung mimpi yang tertunda.“Kenapa?” tanyaku tanpa membuka selimut. Kepalaku tetap bersembunyi di selimut tebal ini, hanya terbuka sedikit untuk melegakan napas saja.Dia diam beberapa waktu. Kemudian … “Aku takut, Ai. Kalau seperti ini kamu seperti di film horor. Selimutnya putih lagi, tinggal dikasih moncong.”Ngakak. Asli aku sampai membekap mulut. Dalam hati aku bergumam, ‘Dokter kok takut pocong.’ Namun, ketakutannya menular kepadaku setelah mendengarkan perkataannya.“Aku tuh kalau melihat mayat secara langsung malah tidak takut. Tahu kan kamu kalau di rumah sakit bagaimana. Kadang ada lo, Ai, yang meninggal beberapa hari tidak tahu siapa keluarganya. Ya kami simpan di kama
Daniel benar-benar capek. Masuk ke pesawat, dia langsung pamit untuk tidur. “Lumayan, Ma. Dapet tidur satu jam,” ucapnya setelah merayu meminta bertukar tempat duduk.Sekarang, aku dan Mas Burhan yang duduk berjajar. Sisa jengah usai bangun tidur tadi pagi, masih tersisa. Tempat duduk di business class yang lebih lebar, terasa sempit bagiku. Meletakkan tangan di sandaran tangan saja, enggan. Kawatir bersentuhan yang memantik hati semakin tak karuan. Aroma tubuhnya terasa masih lekat di penciuman ini. Aku memilih memalingkan wajah ke arah jendela, menikmati jajaran pesawat menunggu giliran beraktifitas.“Malas kembali pulang? Seharusnya kita jalan-jalan juga di Jogja.”Aku menoleh. Tidak sopan rasanya mengabaikan seseorang yang menanggung perjalanan berwisata ini. Apalagi dia orang yang memberi sumbangan besar pada pekerjaanku. Kantor bisa berdenyut cepat, karena adanya mega proyek itu.“Ini sudah cukup untuk refresh otak.”Dia yang awalnya menghadap ke depan, menghadapkan wajah ke ara
The power of kepepet.Motivasi desakan deadline meningkat dua kali lebih besar dari biasanya. Saat seseorang sedang terburu-buru, motivasi yang muncul mengubah kata ‘tidak bisa’ menjadi ‘bisa’.Permintaan pengajuan jadwal ini bukan berasal dari Mas Burhan pribadi. Telpon dari Pak Haris menguatkan kalau ini tidak main-main. Senada dengan yang dikatakan Mas Burhan, akan ada investor dari luar negeri yang memastikan proyek ini.“Saya yakin team kamu mempunyai kemampuan untuk itu. Kali ini saya minta tolong untuk menyelesaikan lantai sembilan terlebih dahulu.” Otak menggelap seiring layar ponsel yang kehilangan sinarnya. Tanpa buang waktu, langsung aku memberi perintah di grup team. Keadaan urgent dan harus datang secepat mungkin ke kantor. Bisa aku pastikan mereka menggerutu, tak apalah aku akan janjikan kompensasi untuk liburan setelah projek selesai.“Mas Burhan, antarkan aku langsung ke kantor.” Aku menoleh ke laki-laki sebelahku yang fokus pada kemudi. Jalanan dari bandara begitu p
Tidak mungkin. Sekaliber Burhan Abimata tidak mungkin benar-benar melakukan hal remeh temeh seperti ini. Apalagi ini … huft! Memikirkan saja membuat pipiku menghangat. Malu. Apa Bik Yanti dipanggil ke sini, ya? Daniel sering memanggilnya saat aku tidak di rumah. Namun, itu sepertinya tidak mungkin dia, karena dua minggu ini dia sudah pamit untuk pulang kampung. ‘Biarlah! Kalaupun benar dia, toh dia pergi. Aku tidak menyuruh, tapi dia yang menawarkan bantuan. Urusan dia, biarkan besuk saja. Aku ingin malam ini istirahat,’ bisik hatiku sambil membuka lemari pendingin. Mata ini membelalak ketika mendapati setiap rak penuh dengan bahan makanan. Mulai buah-buahan, sayur, dan makanan siap saji. Dan ini ada cake coklat kesukaanku dan dari tempat langganan. ‘Apa dia juga mengajak Daniel berbelanja?’ Aku mengernyit. Membuka frezzer dan di situpun penuh dengan foodpack berisi bahan makanan. Masih tidak habis pikir, aku mengambil air mineral dingin dan meneguknya. Pikiran mampat, katanya kar
Kami sama-sama diam. Bergeming, seakan takut bergerak yang memantik alam bawah sadar menguasai kami lagi.Tangan ini masih terkepal meremat ujung selimut, berusaha menenangkan sisa gemuruh di dada. Mata ini pun terpejam tidak mengira hal barusan terjadi. Logika yang biasanya menjadi pagar, seakan dirobohkan begitu saja oleh rasa kurang ajar ini. Mengambil alih semua indra dan tanpa mampu tersadar. Aku dan dia saling menghanyutkan, seakan menjawab penasaran sentuhan yang nyaris di hari kemarin.Sekali lagi aku mengerutkan mata, teringat betapa rakusnya diri ini. Tanpa rela melepaskan, kami terdampar di sofa. Saling mengutip napas, bahkan jemari pun tak sabar bergerilya.‘Duh! Kenapa jadi seperti ini?’ runtuk hatiku meredam tubuh yang masih meremang. Bagaimana tidak, napasnya masih menerpa leher bagian belakang. Tangannya pun tetap melingkar di pinggang ini.“Ai. Maaf.” Suaranya terdengar serak. Mencoba beringsut, tapi pelukannya semakin erat. “Biarkan seperti ini. Kamu harum dan mene
Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal
“Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,
“Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog
“Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya
POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad
Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”
Aku mengeratkan genggaman pada pergelangan tangan Daniel. Sama denganku, anakku ini terlihat kaget mendengar ucapan lelaki ini. Dari awal persiapan, aku selalu mengatakan ada Tante Candra-saudara Tante Laila-yang akan menemani kami. Bodohnya aku tidak bertanya lebih lanjut kepada Laila siapa sebenarnya saudara yang menjadi tour guide kami. Siapa sangka nama Candra Lukita bukanlah perempuan, tapi justru laki-laki. “Ma-maaf. Saya pikir….” “Santuy, ajah. Aku panggil kamu Aida, ya? Kita mungkin tidak seumuran, tapi di negara ini tidak memandang seseorang dari umur.” Dalam hati aku mencembik. Tidak usah bilang umur. Tanpa dibilang pun aku tahu lelaki ini jauh lebih muda dariku. Tubuhnya aja yang menjulang yang memanipulasi usianya. “Iya, silakan. Tapi sekali lagi minta maaf, ya. Laila juga tidak mengatakan kalau anda laki-laki. Saya juga tidak bertanya,” sahutku memberi alasan. Dia menunjukkan senyuman pemakluman. Jujur aku malu, kok bisanya aku tidak seteliti ini. Sampai jenis kela
Kata-kata bernada kompromi bergumul di kepala. Menjadikan apa yang terjadi adalah suatu yang bisa dimaklumi. Kami yang sama-sama dewasa yang tentunya mempunyai kebutuhan hasrat dan itu hal biasa. Terlebih bagi dua insan yang saling jatuh cinta. ‘Huft! Pembelaan mencari pembenaran,’ bisik sudut hatiku sebelah sana. Namun, bukankah kedewasaan dan rasa cinta seharusnya menempatkan seseorang untuk dijaga? Bukan untuk dijadikan obyek pelampiasan hasrat semata. Cinta yang agung hanya tersekat selembar rambut dengan nafsu. Dan, yang terjadi sudah hal demikian. Sepanjang jalan menuju pulang, kami hanya terdiam. Tidak ada kata sepatahpun setelah dia mengatakan maaf. “Aida. Maafkan aku. A-aku sangat merindukan kamu dan mendapati kamu seperti sekarang menjadikan aku tidak mampu mengendalikan diri,” ucapnya dengan suara parau. “Kamu membuatku gila, Aida,” gumamnya sambil meraup kasar wajahnya. Tanganku mencengkeram jaket yang sudah aku eratkan. Begitu juga bawahan baju tidur yang tidak cu
Kata orang, semakin kita meniatkan sesuatu, semakin godaan akan datang. Aku mengurus semua untuk kepergianku, mulai dari administrasi, sampai izin ke sekolah Daniel. Tentu saja ini dirahasiakan dari Mas Burhan.Dia hanya tahu, ketidak aktifanku di kantor karena untuk pemulihan. Itu juga karena Laila yang memberitahu dia.“Aku mendukung, kok,” ucapnya melalui sambungan telpon.“Benar? Kamu tidak merasa rugi karena aku meninggalkan proyek?” tanyaku sarkas. Setahuku dari dulu dia selalu mengatakan hal yang menyangkut untung dan rugi. Terlebih tentang kehadiranku.Dia tidak tersinggung, justru suara tawa terdengar.“Kamu ingat saja. Itu kan supaya kamu tidak mewakilkan kehadiranmu.”Aku mendengkus. “Huh, bilang saja tidak mau rugi.”“Iya, lah. Rugi kalau aku datang dan gagal bertemu dengan orang yang aku inginkan,” sahutnya memantik diri ini mengernyitkan dahi.Di setiap percakapan, selalu saja ucapan rayuan menyoal. Dasar laki-laki playboy. Mungkin ini satu alasan dia tidak kunjung mempu