Semoga Daniel bobok nyenyak.
Kami sama-sama diam. Bergeming, seakan takut bergerak yang memantik alam bawah sadar menguasai kami lagi.Tangan ini masih terkepal meremat ujung selimut, berusaha menenangkan sisa gemuruh di dada. Mata ini pun terpejam tidak mengira hal barusan terjadi. Logika yang biasanya menjadi pagar, seakan dirobohkan begitu saja oleh rasa kurang ajar ini. Mengambil alih semua indra dan tanpa mampu tersadar. Aku dan dia saling menghanyutkan, seakan menjawab penasaran sentuhan yang nyaris di hari kemarin.Sekali lagi aku mengerutkan mata, teringat betapa rakusnya diri ini. Tanpa rela melepaskan, kami terdampar di sofa. Saling mengutip napas, bahkan jemari pun tak sabar bergerilya.‘Duh! Kenapa jadi seperti ini?’ runtuk hatiku meredam tubuh yang masih meremang. Bagaimana tidak, napasnya masih menerpa leher bagian belakang. Tangannya pun tetap melingkar di pinggang ini.“Ai. Maaf.” Suaranya terdengar serak. Mencoba beringsut, tapi pelukannya semakin erat. “Biarkan seperti ini. Kamu harum dan mene
Ini pasti bukan berkaitan dengan hati. Hanya kebutuhan dewasa yang mencuat tak sengaja. Berkali-kali aku menggelengkan kepala, berusaha mengusir ingatan pada kejadian yang tidak seharusnya.Memang sebagai orang yang sama-sama dewasa, aku dan dia sebaiknya bisa menahan diri. Mengedepankan pikiran dibandingkan keinginan sesaat.Itu seharusnya.Namun, malam itu keadaan lelah mungkin menyebabkan kami nyaris kebablasan. Beruntung sedikit kesabaran, membangunkan kami untuk lebih menjaga diri.Sejak malam itu, aku berusaha tidak sendiri saat menemuinya. Meeting keesok harinya pun, aku membawa semua kru, dan kembali tanpa mengindahkan permintaannya untuk tinggal.Kesepakatan sudah tercapai. Pihak Mas Burhan menerima usulan kami. Penyelesaian tahap pertama pada lantai sembilan dan areal yang dilewati ke lantai tersebut.“Aku konsentrasi pada pekerjaan, Mas. Kalau ingin mengajak Daniel pergi, silakah langsung menghubungi dia,” ucapku saat dia mengajak kami untuk pergi bersama.“Kamu memerlukan
Berkali-kali aku menepuk dadaku yang terasa sesak. Rasa geram masih membuncah, tidak mereda walaupun Laila memberiku air putih dingin. “Sabar, Aida. Jangan kamu ambil hati. Anggap saja dia wanita gila,” ucap Laila sambil duduk mensejajariku. Sempat tadi nyaris terjadi perkelahian, sahabatku inilah yang menyelamatkan aku dari tindakan bar-bar. Tanganku tadi, sudah bersiap mengangkat kursi berniat untuk membungkam mulut perempuan itu. “Oh, begini? Katanya lembur, meeting, ternyata pacaran dengan janda!” ucapannya tadi mengawali ungkapan-ungkapan yang memantik amarahku. “Diana! Kenapa kamu ke sini?” seru Mas Ammar. Dia mendekati istrinya yang memberikan tatapan nyalang kepadaku. Perempuan yang rambutnya diwarnai pirang, terlihat seperti medusa yang siap menyemburkan api kepadaku. “Mbak Aida! Sekarang sudah menjadi pelakor, ya? Ingin menjadi perusak rumah tangga orang? Dasar janda gatal! Kalau ingin digaruk, cari laki-laki lajang atau yang bisa dibayar!” Dahiku yang tadi sudah berke
Entah kenapa, Diana mulai membosankan. Melegalkan pernikahan dengannya, justru rasa hambar yang aku dapatkan.Nikmatnya bersama Mamanya Meisya ini, hanya saat dia menjadi selingkuhanku dulu. Debaran di dada saat menunggu kesempatan bertemu, dan memutar otak supaya tidak diketahui Aida. Itu sungguh seperti petualangan yang sebenarnya. Aku bisa menuju puncak dengan sensasi yang berbeda.Pernah dulu, saat awal-awal hubungan terlarang dimulai. Saat itu dia masih bantu-bantu di rumah. Rabaan sembunyi-sembunyi, atau menarik tangannya ke gudang untuk sekadar membayar rasa penasaran. Tidak peduli dengan debu dan udara pengap. Hasrat sudah menguasai dalam waktu dan kesempatan yang sempit. Bagaimana tidak, kami harus kucing-kucingan dengan Aida dan Bik Yanti.Aku tidak salah. Kucing mana yang tidak mengeong kalau mengendus bau ikan asin. Di setiap kesempatan, aku disuguhkan belahan dada, paha yang tersingkap, dan pantat bulat penuh. Entah saat gadis berkulit putih itu mengepel, mengelap meja, a
Sekarang aku minta bantuan siapa? Teman-temanku hanya mau dekat saat aku punya uang. Ketika aku mendapatkan hasil penjualan tanah, mereka memberi sanjungan seakan aku menjadi pemenang.Aku seperti gula yang dikerubuti semut. Ada yang datang untuk mengajak hang-out, tapi ada juga yang mengajak kebaikan.“Ammar, mumpung mempunyai uang banyak, bukankah lebih baik kamu masukkan ke investasi?” ucapnya dengan memberikan ilustrasi.“Tidak, ah. Banyak investasi bodong. Bukannya untung, justru jadi buntung.”Temanku itu tersenyum. “Itu kalau kamu investasi online. Menaruh uang pada perusahaan entah dimana tempatnya. Kamu hanya mengetahui nama saja melalui internet. Ini beda.”“Bedanya apa?”“Aku dan teman-teman mempunyai perusahaan yang sedang berkembang pesat. Kami berencana untuk melakukan perluasan. Banyak orang yang akan memberikan dana, tetapi karena kamu teman aku, jadi aku tawari kamu dulu. Itu pun kalau kamu mau.”“Hmm …. Bagaimana, ya. Bro, aku tidak ngerti begituan.”“Gampang. Aku je
“Bagaimana aku, La? Kamu tahu benar sifat Daniel bagaimana.” Anakku tadi tidak peduli dengan apa yang aku jelaskan. Walaupun dengan alasan tidak mau terlambat sekolah, tapi aku tahu benar perubahan raut wajah menunjukkan dia kecewa. “Biarkan saja Daniel tahu bagaimana Ammar sebenarnya,” seru Laila terlihat kesal. Mungkin karena dia tahu tentang mantan suamiku yang berniat meminjam uang. “Tapi, La. Nanti Daniel kecewa.” Aku mengaitkan jemari, mengetatkan, dan kujadikan tumpuan dahi. “Atau, aku belikan saja, ya? Terus aku berikan atas nama Mas Ammar? Sepertinya itu lebih baik.” “Ah! Itu sepertinya jalan yang terbaik!” seruku setelah mengangkat wajah. Laila menyodorkan berkas laporan dengan map bertulis pembayaran. “Dengan berbohong kepada Daniel?” “Bagaimana lagi. Itu satu-satunya jalan, kan?” jawabku sambil menaikkan kedua bahu. Kemudian kami berkutat dengan pekerjaan. Pembangunan yang sudah masuk tahap finishing, justru semakin memaksa kami untuk lebih teliti. Kebutuhan kecil-ke
Ini bukan acara makan malam, melainkan pesta besar-besaran. Masih dalam antrian mobil masuk ke areal, jejeran mobil-mobil keluaran luar negeri berjejer seperti menunjukkan status sosial penumpangnya. Mata ini mendapati beberapa mobil dengan plat nomor pegawai pemerintahan. “Iya, itu mobil Pak Wali Kota. Beliau teman baik Kakek,” ucap lelaki di sampingku. Aku sering berinterksi dengan para pengusaha, tetapi tidak banyak yang mau berbagi waktu dengan orang pemerintahan. Keberhasilan usahanya justru diminimalkan didengar orang-orang itu untuk menghincari cecaran kewajiban bulanan. Itu katanya. “Apa bajuku ini pantas?” tanyaku mulai ragu. Perlu rasa percaya diri untuk bergabung dengan mereka. Memang secara pendapat kasar, “Sama-sama makan nasi, kenapa musti takut? Toh derajat di mata yang di Atas sama.” Ini bukan karena takut atau berani, tetapi apakah aku bisa membawa diri dan pantas mendampingi lelaki di sampingku ini? Aku punya tanggung jawab untuk tidak mempermalukan dia. “Ai. Ka
Sorot matanya seakan mengulitiku. Mata yang dibingkai bulu mata tebal, menyipit seperti meneliti diriku dari ujung rambut sampai apa yang aku kenakan sebagai alas kaki.Dalam hati sudah berniat, kalau wanita ini macam-macam, aku tidak akan tinggal diam. Tentu saja menggunakan cara yang elegan, aku bisa menusuk tanpa senjata. Mas Burhan masih berbincang dengan tamu sebelumnya. Seharusnya dia di sampingku, terlebih saat yang menjadikan alasan aku di sini, ada di depanku.“Ternyata kamu lumayan juga,” ucapnya dengan menunjukkan senyuman sinis. “Entah berapa duit Burhan yang kamu habiskan untuk berdandan seperti ini?”Aku menghela napas. Dari jenis ucapannya, terlihat jelas dia wanita seperti apa. Tingkat kesopanannya seberapa dan bagaimana dia melihat orang lain. Menurut yang aku dengar, dia memang putri salah satu pemilih saham. “Maaf. Sebelumnya kita pernah bertemu, tetapi belum sempat kenalan. Nama saya Aida Fatma dari Megah Architect,” ucapku sambil menekan emosi.Aku tidak ingin
Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal
“Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,
“Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog
“Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya
POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad
Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”
Aku mengeratkan genggaman pada pergelangan tangan Daniel. Sama denganku, anakku ini terlihat kaget mendengar ucapan lelaki ini. Dari awal persiapan, aku selalu mengatakan ada Tante Candra-saudara Tante Laila-yang akan menemani kami. Bodohnya aku tidak bertanya lebih lanjut kepada Laila siapa sebenarnya saudara yang menjadi tour guide kami. Siapa sangka nama Candra Lukita bukanlah perempuan, tapi justru laki-laki. “Ma-maaf. Saya pikir….” “Santuy, ajah. Aku panggil kamu Aida, ya? Kita mungkin tidak seumuran, tapi di negara ini tidak memandang seseorang dari umur.” Dalam hati aku mencembik. Tidak usah bilang umur. Tanpa dibilang pun aku tahu lelaki ini jauh lebih muda dariku. Tubuhnya aja yang menjulang yang memanipulasi usianya. “Iya, silakan. Tapi sekali lagi minta maaf, ya. Laila juga tidak mengatakan kalau anda laki-laki. Saya juga tidak bertanya,” sahutku memberi alasan. Dia menunjukkan senyuman pemakluman. Jujur aku malu, kok bisanya aku tidak seteliti ini. Sampai jenis kela
Kata-kata bernada kompromi bergumul di kepala. Menjadikan apa yang terjadi adalah suatu yang bisa dimaklumi. Kami yang sama-sama dewasa yang tentunya mempunyai kebutuhan hasrat dan itu hal biasa. Terlebih bagi dua insan yang saling jatuh cinta. ‘Huft! Pembelaan mencari pembenaran,’ bisik sudut hatiku sebelah sana. Namun, bukankah kedewasaan dan rasa cinta seharusnya menempatkan seseorang untuk dijaga? Bukan untuk dijadikan obyek pelampiasan hasrat semata. Cinta yang agung hanya tersekat selembar rambut dengan nafsu. Dan, yang terjadi sudah hal demikian. Sepanjang jalan menuju pulang, kami hanya terdiam. Tidak ada kata sepatahpun setelah dia mengatakan maaf. “Aida. Maafkan aku. A-aku sangat merindukan kamu dan mendapati kamu seperti sekarang menjadikan aku tidak mampu mengendalikan diri,” ucapnya dengan suara parau. “Kamu membuatku gila, Aida,” gumamnya sambil meraup kasar wajahnya. Tanganku mencengkeram jaket yang sudah aku eratkan. Begitu juga bawahan baju tidur yang tidak cu
Kata orang, semakin kita meniatkan sesuatu, semakin godaan akan datang. Aku mengurus semua untuk kepergianku, mulai dari administrasi, sampai izin ke sekolah Daniel. Tentu saja ini dirahasiakan dari Mas Burhan.Dia hanya tahu, ketidak aktifanku di kantor karena untuk pemulihan. Itu juga karena Laila yang memberitahu dia.“Aku mendukung, kok,” ucapnya melalui sambungan telpon.“Benar? Kamu tidak merasa rugi karena aku meninggalkan proyek?” tanyaku sarkas. Setahuku dari dulu dia selalu mengatakan hal yang menyangkut untung dan rugi. Terlebih tentang kehadiranku.Dia tidak tersinggung, justru suara tawa terdengar.“Kamu ingat saja. Itu kan supaya kamu tidak mewakilkan kehadiranmu.”Aku mendengkus. “Huh, bilang saja tidak mau rugi.”“Iya, lah. Rugi kalau aku datang dan gagal bertemu dengan orang yang aku inginkan,” sahutnya memantik diri ini mengernyitkan dahi.Di setiap percakapan, selalu saja ucapan rayuan menyoal. Dasar laki-laki playboy. Mungkin ini satu alasan dia tidak kunjung mempu