Ini bukan acara makan malam, melainkan pesta besar-besaran. Masih dalam antrian mobil masuk ke areal, jejeran mobil-mobil keluaran luar negeri berjejer seperti menunjukkan status sosial penumpangnya. Mata ini mendapati beberapa mobil dengan plat nomor pegawai pemerintahan. “Iya, itu mobil Pak Wali Kota. Beliau teman baik Kakek,” ucap lelaki di sampingku. Aku sering berinterksi dengan para pengusaha, tetapi tidak banyak yang mau berbagi waktu dengan orang pemerintahan. Keberhasilan usahanya justru diminimalkan didengar orang-orang itu untuk menghincari cecaran kewajiban bulanan. Itu katanya. “Apa bajuku ini pantas?” tanyaku mulai ragu. Perlu rasa percaya diri untuk bergabung dengan mereka. Memang secara pendapat kasar, “Sama-sama makan nasi, kenapa musti takut? Toh derajat di mata yang di Atas sama.” Ini bukan karena takut atau berani, tetapi apakah aku bisa membawa diri dan pantas mendampingi lelaki di sampingku ini? Aku punya tanggung jawab untuk tidak mempermalukan dia. “Ai. Ka
Sorot matanya seakan mengulitiku. Mata yang dibingkai bulu mata tebal, menyipit seperti meneliti diriku dari ujung rambut sampai apa yang aku kenakan sebagai alas kaki.Dalam hati sudah berniat, kalau wanita ini macam-macam, aku tidak akan tinggal diam. Tentu saja menggunakan cara yang elegan, aku bisa menusuk tanpa senjata. Mas Burhan masih berbincang dengan tamu sebelumnya. Seharusnya dia di sampingku, terlebih saat yang menjadikan alasan aku di sini, ada di depanku.“Ternyata kamu lumayan juga,” ucapnya dengan menunjukkan senyuman sinis. “Entah berapa duit Burhan yang kamu habiskan untuk berdandan seperti ini?”Aku menghela napas. Dari jenis ucapannya, terlihat jelas dia wanita seperti apa. Tingkat kesopanannya seberapa dan bagaimana dia melihat orang lain. Menurut yang aku dengar, dia memang putri salah satu pemilih saham. “Maaf. Sebelumnya kita pernah bertemu, tetapi belum sempat kenalan. Nama saya Aida Fatma dari Megah Architect,” ucapku sambil menekan emosi.Aku tidak ingin
“Ternyata sahabatku ini diam-diam menghanyutkan!” Laila yang baru masuk ke ruangan langsung menunjukkan jempol tangan plus kedipan mata.Aku tertawa kecil dan kembali ke layar, tidak menghiraukannya. Kembali aku mengerjakan detail gambar untuk menambahkan ide di kepala. Seakan mengerti, wanita teman kerjaku ini duduk diam di depanku.Dunia arsitek itu lebih ke seni. Seperti di panggung, saat pelakon masuk dia akan melepaskan diri dari dunia nyata. Dia akan membiarkan dirinya menjelajah ke dunia yang akan dibangkitkan dari karya. Seperti aku sekarang ini.“Selesai!” teriakku.Aku mendongakkan kepala dan menarik kedua bahu ke arah belakang. Meregangkan tubuh seperti ini, setelah berpusat sampai lupa kalau tulang belakang mulai berteriak.“Ada apa, La?” tanyaku heran. Biasanya, kalau aku abaikan, dia akan meninggalkan aku. Ini justru membiarkan dirinya menunggu seperti tukang tagih saja. Dia mengerjakan pekerjaannya di sini.Dia tersenyum. “Aku yakin, kamu tidak membuka internet pagi i
Aku biarkan ponsel yang berkali-kali memberi tanda pesan masuk. Semua dari nama yang sama. ‘Huh! Dia ini benar-benar panas dan mengusikku,’ bisik hatiku sambil mengambil benda pipih ini. Untuk mewaraskan diri, namanya yang tertera di deretan pesan masuk, aku tekan lama kemudian memilih mengarsipkan. Dengan begini, berjuta kali dia kirim pesan, mataku tidak mendapati. Memang benar, mantan itu sekadar masa lalu yang wajib diarsipkan saja. “Jadi Bu Aida akan cuti lama?” “Cuti?” Aku membalikkan pertanyaan Rara dengan tatapan tidak mengerti. Dia tersenyum sambil menerima berkas yang sudah aku setujui. “Iya. Bu Aida kan segera menikah,” celetuk Andre yang sedang memilah berkas untuk di bawa ke ruangannya. Aku tertawa kecil. Sepertinya semua sudah terjangkit virus pernikahan. Gara-gara artikel sialan itu. Kenapa mereka menayangkan berita tanpa konfirmasi? Seharusnya bertanya apakah asumsi mereka itu benar atau tidak, bukan sekadar dari foto yang terpampang dan pendapat orang sekitar.
Seorang anak, sering kali dituntut menjadi dewasa karena keadaan. Di saat seorang ayah yang seharusnya mengayomi ibu, tidak ada lagi, dia dipaksa menggantikan posisinya. Seperti yang ditunjukkan Daniel saat ini.Wajahnya yang biasanya menunjukkan senyuman, sekarang terlihat serius. Memaksaku mengerti kalau anak ini tidak main-main.‘Aku harus hati-hati,’ bisik hatiku sambil melajukan kendaraan.Pembicaraan ini lebih serius dan tidak mungkin kami bicara di mobil. Sesekali aku mencuri pandang kepadanya, dia tetap menekuri ke arah keluar jendela. Tidak seperti biasanya, dia berbagi cerita denganku.“Om siap menjawab apapun pertanyaan dari Daniel,” ucapku setelah memesan makanan dan minuman. Pilihanku di resto cepat saji langganan kami. Memilih duduk di out-door untuk meleluasakan pembicaraan ini.Dia menyesap minuman soda, kemudian menatapku seolah mengumpulkan pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya.“Kenapa Om mendekati Mama? Bukankan dia bukan wanita yang cantik atau muda seperti tema
Yang dilakukan Mas Burhan bukan menyelesaikan masalah. Dia justru menyimpan bom waktu. Ini sama saja melibatkan Daniel di kesepakatan pura-pura ini.Pagi-pagi di meja makan sudah siap dua kotak berisi kue kering hasil semalam.“Ini untuk dibawa Mama ke kantor,” ucapnya sambil menaruh ke dalam tas tempat bekal. Aku mengintip isi yang berisi toples-toples kecil. Senyumku mengembang, ketika mendapati secarik kertas yang bergambar hati dan tulisan Mamaku Tersayang.“Terima kasih, Sayang. Mama pasti tambah semangat kerja. Ayo dimakan sarapannya.”Aku menyodorkan roti lapis yang berisi telor ceplok, daun selada, dan keju. Segelas susu hangat menjadi pelengkap.“Wow, teman-teman sekolah dapet cookies juga,” ucapku setelah menyudahi makan pagi. Kami bersiap untuk berangkat. Dia membawa tas sekolah ransel dan tas yang berisi kue kering yang sama denganku.“Bukan.”“Trus?”“Ini Daniel taruh di bawah. Nanti ada bagian pengiriman yang ambil, Ma. Daniel sudah pesan onlen.”“Dikirim?”“Iya. Untuk
“Ma-maaf,” ucapku setelah berusaha mengatur napas.Amarah yang sempat meledak berangsur-angsur mereda, seiring dengan sadarnya kedudukanku di mata lelaki ini. Aku mendudukkan diri di sofa dan menerima air putih yang dia sodorkan.“Tidak seharusnya saya membentak. Maaf, mungkin ini karena saya stress.”Aku memijit pelipis, yang semakin berdenyut apalagi melihat tas kertas yang senada dengan yang aku bawa tadi pagi. Tas yang berisi kue kering kiriman dari Daniel, anakku. Aku pastikan ini benar, karena ada pita putih sebagai mengaitnya.Laki-laki ini justru tersenyum.“Aku senang. Akhirnya kamu jujur dengan perasaanmu.”“Perasaan apa?” tanyaku sambil menaruh gelas kosong yang sudah aku teguk.“Pertanda kalau kamu tidak menyukai aku dekat dengan wanita lain.”“Jangan ngaco! Saya ke sini karena Daniel.”“Karena kamu menemuiku pun tidak apa-apa,” ucapnya sambil memicingkan mata.“Kamu berarti belum membuka kiriman dari Daniel?”Kekesalanku yang masih tersisa, membuatku enggan memanggil sep
Kaki ini masih mati rasa, aku menurut ketika tangan ini ditariknya. Kesadaranku masih belum bulat benar, ketika dia mendorongku untuk masuk ke dalam mobil. Dia tidak peduli dengan wanita itu meneriakkan apa. Mobil menderu meninggalkan tempat parkir, dan kata maaf yang terucap darinya lah yang menyadarkan aku ini siapa.Seketika, ujung-ujung jemari tangan dan kakiku mendingin. Tubuhku bergetar teringat betapa hinanya aku ini. Tidak ada bedanya dengan pelac*ur, yang meminjamkan raga demi niat duniawi.Aku merasa menghianati upaya orang tuaku yang memberiku bekal hidup dengan memberiku pendidikan. Betapa bodohnya aku, demi proyek rela dihina seperti ini..Masih tetap bergeming, aku menatap nanar pada jalan yang seakan mentertawakan aku. Tidak terasa, air mata ini meleleh begitu saja.“Aida! Jangan menangis. Maafkan aku!” teriaknya.Mobil dihentikan dan dia menghadapkan diri ke arahku. Tangannya terulur, tapi terlihat ragu dan ditariknya kembali.“Bukan. Bukan kamu yang salah,” ucapku s