“Ma-maaf,” ucapku setelah berusaha mengatur napas.Amarah yang sempat meledak berangsur-angsur mereda, seiring dengan sadarnya kedudukanku di mata lelaki ini. Aku mendudukkan diri di sofa dan menerima air putih yang dia sodorkan.“Tidak seharusnya saya membentak. Maaf, mungkin ini karena saya stress.”Aku memijit pelipis, yang semakin berdenyut apalagi melihat tas kertas yang senada dengan yang aku bawa tadi pagi. Tas yang berisi kue kering kiriman dari Daniel, anakku. Aku pastikan ini benar, karena ada pita putih sebagai mengaitnya.Laki-laki ini justru tersenyum.“Aku senang. Akhirnya kamu jujur dengan perasaanmu.”“Perasaan apa?” tanyaku sambil menaruh gelas kosong yang sudah aku teguk.“Pertanda kalau kamu tidak menyukai aku dekat dengan wanita lain.”“Jangan ngaco! Saya ke sini karena Daniel.”“Karena kamu menemuiku pun tidak apa-apa,” ucapnya sambil memicingkan mata.“Kamu berarti belum membuka kiriman dari Daniel?”Kekesalanku yang masih tersisa, membuatku enggan memanggil sep
Kaki ini masih mati rasa, aku menurut ketika tangan ini ditariknya. Kesadaranku masih belum bulat benar, ketika dia mendorongku untuk masuk ke dalam mobil. Dia tidak peduli dengan wanita itu meneriakkan apa. Mobil menderu meninggalkan tempat parkir, dan kata maaf yang terucap darinya lah yang menyadarkan aku ini siapa.Seketika, ujung-ujung jemari tangan dan kakiku mendingin. Tubuhku bergetar teringat betapa hinanya aku ini. Tidak ada bedanya dengan pelac*ur, yang meminjamkan raga demi niat duniawi.Aku merasa menghianati upaya orang tuaku yang memberiku bekal hidup dengan memberiku pendidikan. Betapa bodohnya aku, demi proyek rela dihina seperti ini..Masih tetap bergeming, aku menatap nanar pada jalan yang seakan mentertawakan aku. Tidak terasa, air mata ini meleleh begitu saja.“Aida! Jangan menangis. Maafkan aku!” teriaknya.Mobil dihentikan dan dia menghadapkan diri ke arahku. Tangannya terulur, tapi terlihat ragu dan ditariknya kembali.“Bukan. Bukan kamu yang salah,” ucapku s
POV AmmarKaki dan tanganku seakan lenyap. Telpon dari Bik Yanti membuatku terduduk lemas. Aku memang sering membuatnya kesal, tapi dalam hatiku sebenarnya hanya ada namanya seorang. Bahkan aku sudah berniat ingin mengupayakan untuk kembali bersama.“Kata orang-orang, itu Bu Aida ditrabrak orang dengan sengaja, Pak.”Pembantu di rumahku dulu menceritakan kronologis kecelakaan yang terjadi tadipagi. Katanya, dia korek ke orang sekitar. Kalau ini benar, berarti ada orang yang berniat mencelakainya. Tapi siapa?“Daniel bagaimana?”“Mas Daniel ya begitu, Pak. Dia tidak mau beranjak dari kamarnya Bu Aida.”Aku harus cepat menemui mereka. Daniel pasti merasa sendirian. Selain itu, apa yang bisa dilakukan anak seusia dia di saat genting seperti ini. Sedih dan menangis.Tanpa menunda waktu, aku mengambil jaket. Aida tidak mempunyai saudara, orang tuanya pun sudah meninggal. Walaupun aku mantan suami, hanya aku orang yang bisa mereka andalkan.Dengan ponsel masih menempel di telinga, aku menuj
“Diana! Jujur padaku! Kamu melakukan kejahatan apa!” Teriakan yang tidak pernah sekeras ini menyentakkan isi rumah. Bibik pengasuh sedang di dapur pun, langsung berlari mengambil Meisya yang menangis.Pasti anakku terkejut mendengar teriakan ini. Wajah Diana terlihat pias. Dia yang tadi sedang bercanda dengan Meisya langsung duduk dengan kepala menunduk. Terlihat pasrah, lain dari biasanya. “Ma-maaf, Mas Ammar. Aku tidak sengaja.” Semakin kuat dugaanku. Ucapannya merujuk pada pengakuan. Lemas, aku terduduk di kursi. Tanganku terkepal membawa amarah, sekaligus sesal. AKu benar-benar lelaki yang tidak berguna. Sampai berpisahpun, aku masih mendatangkan penderitaan untuk Aida. “Diana. Kenapa kamu menabraknya?” “Jujur, Mas. Aku tidak sengaja. Dia melintas begitu saja. Aku hanya mendengar suara keras dan tidak menemui jasadnya,” ucapnya dengan tatapan terlihat ketakutan. “Jadi kamu tinggal begitu saja?” tanyaku dengan rahang mulai mengeras. Dia ini bebal atau bagaimana? Dia katakan ja
“Aida … Kamu sudah sadar, Sayang?” seruku sambil membungkukkan badan untuk mendekat. Mata yang masih terlihat lelas dan bibir yang beku itu hanya bergerak-gerak sedikit. Seakan tidak memiliki sisa tenaga sedikitpun. Ini sebenarnya pemandangan biasa bagiku yang seorang dokter. Pasien walaupun sudah tersadar, dia pasti masih lemah setelah melewati masa kritis. Dulu, aku merasa kesal dengan keluarganya yang tidak sabar dan seakan memaksa pasien untuk cepat membuka mata dan tersenyum. ‘Pasien baru kembali dari memperjuangkan nyawanya, bukan kembali dari holiday yang harus say hello dan dipaksa menyebut siapa saja nama yang hadir!’ Itu pikiranku dulu. Memang, semenjak kehilangan Ibu, aku mematikan segala yang berhubungan dengan rasa di hati. Sekarang aku merasakan, begitu campur aduknya perasaan di dada ini saat belum memastikan Aida di kondisi yang benar-benar stabil. “M-mas Bur-han,”ucapnya terbata. Bibir yang kering seakan kaku untuk menyebut namaku. Jujur, hati ini melonjak ge
“Yakin dengan keputusanmu?” tanya Laila sahabatku seakan tidak percaya dengan yang keluar dari mulutku barusan.Tangannya yang sebelumnya sibuk mengupas apel merah, sekarang terhenti bahkan diletakkan ke piring kembali.Senyum aku tunjukkan, walaupun di dasar hati sebenarnya ini berat.“Aku sudah memikirkan beberapa malam ini. Aku akan pergi mengambil cuti dari pekerjaan. Toh proyek rumah sakit sudah hampir selesai dan sesuai dengan jadwal, kan? Kamu pasti bisa menyelesaikan semuanya.”“Tapi … kalau tidak ada kamu, kami seperti hilang pegangan.”Dahinya berkerut membingkai sorot mata keberatan. Tanganku yang masih tertancap jarum infus pun dia genggam, seakan enggan aku tinggalkan.“Beberapa bulan saja. Mumpung sekolah Daniel libur. Kami akan quality time, hitung-hitung membayar waktuku yang hilang bersamanya.”“Memang Pak Burhan memperbolehkan kalian pergi?”Mendengar nama itu, senyum ini luruh. Sudah beberapa hari Laila mematuhi permintaanku untuk tidak menyebut namanya dan aku eng
Siapapun dia dan apa yang dia lakukan, tetap dulu dia yang menolongku. Dia memang laki-laki yang mengesalkan, tapi dia juga yang memaksa kedua kaki ini kokoh dan tegar menghadapi dunia.“Kamu belum sembuh benar, Aida,” ucap Laila memprotes permintaanku untuk pulang cepat.“Di sini aku hanya istirahat, La. Itu bisa aku lakukan di rumah. Iya, kan?”Setelah diperiksa keseluruhan, aku bisa rawat jalan. Jarum infus pun bisa dilepas dan aku bisa bebas.“Daniel?”“Justru itu, aku ingin mengejutkan dia. Sekarang dia sedang fokus pada ujiannya. Untung saja Bik Yanti menungguinya di apartemen. Tapi, akan lebih semangat kalau dia aku tungguin.”Laila yang membantuku berkemas, memindahkan tumpukan baju ke dalam koper.“Bukan karena kabarnya Pak Burhan itu?”Aku tersenyum sambil mengetatkan baju hangat. Kabar yang diberitahukan Laila sungguh mengejutkan. Pak Haris mengalami serangan jantung dan sekarang di rawat di rumah sakit.Jujur, aku ingin segera ke sana. Aku tahu apa arti Kakek Haris bagi M
Hati yang sempat menghangat, sekarang membeku kembali. Niat untuk menghampiri dan menuntaskan yang ada di dalam sini pun luruh. Bahkan sepatu berhias pita di kaki ini bergeser mundur.Mata ini menangkap jelas dia yang harusnya luruh di pelukanku, justru tenggelam dalam belaian jemari lentik itu. Dada ini merasa tidak terima, tapi atas dasar apa? Bukan kah mereka dulu sepasang kekasih, dan kemungkinan besar mereka kembali bersatu?Wanita itu lebih segala-galanya, termasuk dalam mengupayakan bersama dengan Mas Burhan. Termasuk dengan nekad mencelakai aku.‘Aku benar-benar wanita yang tidak sadar tempat!’ bisikku dalam hati dengan tangan mengepal erat.Terus apa artinya bunga-bunga yang dia kirim dengan kartu ucapan seakan dia akan mati karena memendam rindu kepadaku?Huft!Bukan dia atau mereka yang salah, tapi aku yang bodoh seperti kerbau. Terperosok di lubang yang sama. Iya, kan?Sesaat aku menghentikan langkah, kemudian berbelok pada toilet yang ditujukan untuk pengunjung.Aku terse
Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal
“Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,
“Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog
“Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya
POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad
Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”
Aku mengeratkan genggaman pada pergelangan tangan Daniel. Sama denganku, anakku ini terlihat kaget mendengar ucapan lelaki ini. Dari awal persiapan, aku selalu mengatakan ada Tante Candra-saudara Tante Laila-yang akan menemani kami. Bodohnya aku tidak bertanya lebih lanjut kepada Laila siapa sebenarnya saudara yang menjadi tour guide kami. Siapa sangka nama Candra Lukita bukanlah perempuan, tapi justru laki-laki. “Ma-maaf. Saya pikir….” “Santuy, ajah. Aku panggil kamu Aida, ya? Kita mungkin tidak seumuran, tapi di negara ini tidak memandang seseorang dari umur.” Dalam hati aku mencembik. Tidak usah bilang umur. Tanpa dibilang pun aku tahu lelaki ini jauh lebih muda dariku. Tubuhnya aja yang menjulang yang memanipulasi usianya. “Iya, silakan. Tapi sekali lagi minta maaf, ya. Laila juga tidak mengatakan kalau anda laki-laki. Saya juga tidak bertanya,” sahutku memberi alasan. Dia menunjukkan senyuman pemakluman. Jujur aku malu, kok bisanya aku tidak seteliti ini. Sampai jenis kela
Kata-kata bernada kompromi bergumul di kepala. Menjadikan apa yang terjadi adalah suatu yang bisa dimaklumi. Kami yang sama-sama dewasa yang tentunya mempunyai kebutuhan hasrat dan itu hal biasa. Terlebih bagi dua insan yang saling jatuh cinta. ‘Huft! Pembelaan mencari pembenaran,’ bisik sudut hatiku sebelah sana. Namun, bukankah kedewasaan dan rasa cinta seharusnya menempatkan seseorang untuk dijaga? Bukan untuk dijadikan obyek pelampiasan hasrat semata. Cinta yang agung hanya tersekat selembar rambut dengan nafsu. Dan, yang terjadi sudah hal demikian. Sepanjang jalan menuju pulang, kami hanya terdiam. Tidak ada kata sepatahpun setelah dia mengatakan maaf. “Aida. Maafkan aku. A-aku sangat merindukan kamu dan mendapati kamu seperti sekarang menjadikan aku tidak mampu mengendalikan diri,” ucapnya dengan suara parau. “Kamu membuatku gila, Aida,” gumamnya sambil meraup kasar wajahnya. Tanganku mencengkeram jaket yang sudah aku eratkan. Begitu juga bawahan baju tidur yang tidak cu
Kata orang, semakin kita meniatkan sesuatu, semakin godaan akan datang. Aku mengurus semua untuk kepergianku, mulai dari administrasi, sampai izin ke sekolah Daniel. Tentu saja ini dirahasiakan dari Mas Burhan.Dia hanya tahu, ketidak aktifanku di kantor karena untuk pemulihan. Itu juga karena Laila yang memberitahu dia.“Aku mendukung, kok,” ucapnya melalui sambungan telpon.“Benar? Kamu tidak merasa rugi karena aku meninggalkan proyek?” tanyaku sarkas. Setahuku dari dulu dia selalu mengatakan hal yang menyangkut untung dan rugi. Terlebih tentang kehadiranku.Dia tidak tersinggung, justru suara tawa terdengar.“Kamu ingat saja. Itu kan supaya kamu tidak mewakilkan kehadiranmu.”Aku mendengkus. “Huh, bilang saja tidak mau rugi.”“Iya, lah. Rugi kalau aku datang dan gagal bertemu dengan orang yang aku inginkan,” sahutnya memantik diri ini mengernyitkan dahi.Di setiap percakapan, selalu saja ucapan rayuan menyoal. Dasar laki-laki playboy. Mungkin ini satu alasan dia tidak kunjung mempu