Yang dilakukan Mas Burhan bukan menyelesaikan masalah. Dia justru menyimpan bom waktu. Ini sama saja melibatkan Daniel di kesepakatan pura-pura ini.Pagi-pagi di meja makan sudah siap dua kotak berisi kue kering hasil semalam.“Ini untuk dibawa Mama ke kantor,” ucapnya sambil menaruh ke dalam tas tempat bekal. Aku mengintip isi yang berisi toples-toples kecil. Senyumku mengembang, ketika mendapati secarik kertas yang bergambar hati dan tulisan Mamaku Tersayang.“Terima kasih, Sayang. Mama pasti tambah semangat kerja. Ayo dimakan sarapannya.”Aku menyodorkan roti lapis yang berisi telor ceplok, daun selada, dan keju. Segelas susu hangat menjadi pelengkap.“Wow, teman-teman sekolah dapet cookies juga,” ucapku setelah menyudahi makan pagi. Kami bersiap untuk berangkat. Dia membawa tas sekolah ransel dan tas yang berisi kue kering yang sama denganku.“Bukan.”“Trus?”“Ini Daniel taruh di bawah. Nanti ada bagian pengiriman yang ambil, Ma. Daniel sudah pesan onlen.”“Dikirim?”“Iya. Untuk
“Ma-maaf,” ucapku setelah berusaha mengatur napas.Amarah yang sempat meledak berangsur-angsur mereda, seiring dengan sadarnya kedudukanku di mata lelaki ini. Aku mendudukkan diri di sofa dan menerima air putih yang dia sodorkan.“Tidak seharusnya saya membentak. Maaf, mungkin ini karena saya stress.”Aku memijit pelipis, yang semakin berdenyut apalagi melihat tas kertas yang senada dengan yang aku bawa tadi pagi. Tas yang berisi kue kering kiriman dari Daniel, anakku. Aku pastikan ini benar, karena ada pita putih sebagai mengaitnya.Laki-laki ini justru tersenyum.“Aku senang. Akhirnya kamu jujur dengan perasaanmu.”“Perasaan apa?” tanyaku sambil menaruh gelas kosong yang sudah aku teguk.“Pertanda kalau kamu tidak menyukai aku dekat dengan wanita lain.”“Jangan ngaco! Saya ke sini karena Daniel.”“Karena kamu menemuiku pun tidak apa-apa,” ucapnya sambil memicingkan mata.“Kamu berarti belum membuka kiriman dari Daniel?”Kekesalanku yang masih tersisa, membuatku enggan memanggil sep
Kaki ini masih mati rasa, aku menurut ketika tangan ini ditariknya. Kesadaranku masih belum bulat benar, ketika dia mendorongku untuk masuk ke dalam mobil. Dia tidak peduli dengan wanita itu meneriakkan apa. Mobil menderu meninggalkan tempat parkir, dan kata maaf yang terucap darinya lah yang menyadarkan aku ini siapa.Seketika, ujung-ujung jemari tangan dan kakiku mendingin. Tubuhku bergetar teringat betapa hinanya aku ini. Tidak ada bedanya dengan pelac*ur, yang meminjamkan raga demi niat duniawi.Aku merasa menghianati upaya orang tuaku yang memberiku bekal hidup dengan memberiku pendidikan. Betapa bodohnya aku, demi proyek rela dihina seperti ini..Masih tetap bergeming, aku menatap nanar pada jalan yang seakan mentertawakan aku. Tidak terasa, air mata ini meleleh begitu saja.“Aida! Jangan menangis. Maafkan aku!” teriaknya.Mobil dihentikan dan dia menghadapkan diri ke arahku. Tangannya terulur, tapi terlihat ragu dan ditariknya kembali.“Bukan. Bukan kamu yang salah,” ucapku s
POV AmmarKaki dan tanganku seakan lenyap. Telpon dari Bik Yanti membuatku terduduk lemas. Aku memang sering membuatnya kesal, tapi dalam hatiku sebenarnya hanya ada namanya seorang. Bahkan aku sudah berniat ingin mengupayakan untuk kembali bersama.“Kata orang-orang, itu Bu Aida ditrabrak orang dengan sengaja, Pak.”Pembantu di rumahku dulu menceritakan kronologis kecelakaan yang terjadi tadipagi. Katanya, dia korek ke orang sekitar. Kalau ini benar, berarti ada orang yang berniat mencelakainya. Tapi siapa?“Daniel bagaimana?”“Mas Daniel ya begitu, Pak. Dia tidak mau beranjak dari kamarnya Bu Aida.”Aku harus cepat menemui mereka. Daniel pasti merasa sendirian. Selain itu, apa yang bisa dilakukan anak seusia dia di saat genting seperti ini. Sedih dan menangis.Tanpa menunda waktu, aku mengambil jaket. Aida tidak mempunyai saudara, orang tuanya pun sudah meninggal. Walaupun aku mantan suami, hanya aku orang yang bisa mereka andalkan.Dengan ponsel masih menempel di telinga, aku menuj
“Diana! Jujur padaku! Kamu melakukan kejahatan apa!” Teriakan yang tidak pernah sekeras ini menyentakkan isi rumah. Bibik pengasuh sedang di dapur pun, langsung berlari mengambil Meisya yang menangis.Pasti anakku terkejut mendengar teriakan ini. Wajah Diana terlihat pias. Dia yang tadi sedang bercanda dengan Meisya langsung duduk dengan kepala menunduk. Terlihat pasrah, lain dari biasanya. “Ma-maaf, Mas Ammar. Aku tidak sengaja.” Semakin kuat dugaanku. Ucapannya merujuk pada pengakuan. Lemas, aku terduduk di kursi. Tanganku terkepal membawa amarah, sekaligus sesal. AKu benar-benar lelaki yang tidak berguna. Sampai berpisahpun, aku masih mendatangkan penderitaan untuk Aida. “Diana. Kenapa kamu menabraknya?” “Jujur, Mas. Aku tidak sengaja. Dia melintas begitu saja. Aku hanya mendengar suara keras dan tidak menemui jasadnya,” ucapnya dengan tatapan terlihat ketakutan. “Jadi kamu tinggal begitu saja?” tanyaku dengan rahang mulai mengeras. Dia ini bebal atau bagaimana? Dia katakan ja
“Aida … Kamu sudah sadar, Sayang?” seruku sambil membungkukkan badan untuk mendekat. Mata yang masih terlihat lelas dan bibir yang beku itu hanya bergerak-gerak sedikit. Seakan tidak memiliki sisa tenaga sedikitpun. Ini sebenarnya pemandangan biasa bagiku yang seorang dokter. Pasien walaupun sudah tersadar, dia pasti masih lemah setelah melewati masa kritis. Dulu, aku merasa kesal dengan keluarganya yang tidak sabar dan seakan memaksa pasien untuk cepat membuka mata dan tersenyum. ‘Pasien baru kembali dari memperjuangkan nyawanya, bukan kembali dari holiday yang harus say hello dan dipaksa menyebut siapa saja nama yang hadir!’ Itu pikiranku dulu. Memang, semenjak kehilangan Ibu, aku mematikan segala yang berhubungan dengan rasa di hati. Sekarang aku merasakan, begitu campur aduknya perasaan di dada ini saat belum memastikan Aida di kondisi yang benar-benar stabil. “M-mas Bur-han,”ucapnya terbata. Bibir yang kering seakan kaku untuk menyebut namaku. Jujur, hati ini melonjak ge
“Yakin dengan keputusanmu?” tanya Laila sahabatku seakan tidak percaya dengan yang keluar dari mulutku barusan.Tangannya yang sebelumnya sibuk mengupas apel merah, sekarang terhenti bahkan diletakkan ke piring kembali.Senyum aku tunjukkan, walaupun di dasar hati sebenarnya ini berat.“Aku sudah memikirkan beberapa malam ini. Aku akan pergi mengambil cuti dari pekerjaan. Toh proyek rumah sakit sudah hampir selesai dan sesuai dengan jadwal, kan? Kamu pasti bisa menyelesaikan semuanya.”“Tapi … kalau tidak ada kamu, kami seperti hilang pegangan.”Dahinya berkerut membingkai sorot mata keberatan. Tanganku yang masih tertancap jarum infus pun dia genggam, seakan enggan aku tinggalkan.“Beberapa bulan saja. Mumpung sekolah Daniel libur. Kami akan quality time, hitung-hitung membayar waktuku yang hilang bersamanya.”“Memang Pak Burhan memperbolehkan kalian pergi?”Mendengar nama itu, senyum ini luruh. Sudah beberapa hari Laila mematuhi permintaanku untuk tidak menyebut namanya dan aku eng
Siapapun dia dan apa yang dia lakukan, tetap dulu dia yang menolongku. Dia memang laki-laki yang mengesalkan, tapi dia juga yang memaksa kedua kaki ini kokoh dan tegar menghadapi dunia.“Kamu belum sembuh benar, Aida,” ucap Laila memprotes permintaanku untuk pulang cepat.“Di sini aku hanya istirahat, La. Itu bisa aku lakukan di rumah. Iya, kan?”Setelah diperiksa keseluruhan, aku bisa rawat jalan. Jarum infus pun bisa dilepas dan aku bisa bebas.“Daniel?”“Justru itu, aku ingin mengejutkan dia. Sekarang dia sedang fokus pada ujiannya. Untung saja Bik Yanti menungguinya di apartemen. Tapi, akan lebih semangat kalau dia aku tungguin.”Laila yang membantuku berkemas, memindahkan tumpukan baju ke dalam koper.“Bukan karena kabarnya Pak Burhan itu?”Aku tersenyum sambil mengetatkan baju hangat. Kabar yang diberitahukan Laila sungguh mengejutkan. Pak Haris mengalami serangan jantung dan sekarang di rawat di rumah sakit.Jujur, aku ingin segera ke sana. Aku tahu apa arti Kakek Haris bagi M