Aku biarkan ponsel yang berkali-kali memberi tanda pesan masuk. Semua dari nama yang sama. ‘Huh! Dia ini benar-benar panas dan mengusikku,’ bisik hatiku sambil mengambil benda pipih ini. Untuk mewaraskan diri, namanya yang tertera di deretan pesan masuk, aku tekan lama kemudian memilih mengarsipkan. Dengan begini, berjuta kali dia kirim pesan, mataku tidak mendapati. Memang benar, mantan itu sekadar masa lalu yang wajib diarsipkan saja. “Jadi Bu Aida akan cuti lama?” “Cuti?” Aku membalikkan pertanyaan Rara dengan tatapan tidak mengerti. Dia tersenyum sambil menerima berkas yang sudah aku setujui. “Iya. Bu Aida kan segera menikah,” celetuk Andre yang sedang memilah berkas untuk di bawa ke ruangannya. Aku tertawa kecil. Sepertinya semua sudah terjangkit virus pernikahan. Gara-gara artikel sialan itu. Kenapa mereka menayangkan berita tanpa konfirmasi? Seharusnya bertanya apakah asumsi mereka itu benar atau tidak, bukan sekadar dari foto yang terpampang dan pendapat orang sekitar.
Seorang anak, sering kali dituntut menjadi dewasa karena keadaan. Di saat seorang ayah yang seharusnya mengayomi ibu, tidak ada lagi, dia dipaksa menggantikan posisinya. Seperti yang ditunjukkan Daniel saat ini.Wajahnya yang biasanya menunjukkan senyuman, sekarang terlihat serius. Memaksaku mengerti kalau anak ini tidak main-main.‘Aku harus hati-hati,’ bisik hatiku sambil melajukan kendaraan.Pembicaraan ini lebih serius dan tidak mungkin kami bicara di mobil. Sesekali aku mencuri pandang kepadanya, dia tetap menekuri ke arah keluar jendela. Tidak seperti biasanya, dia berbagi cerita denganku.“Om siap menjawab apapun pertanyaan dari Daniel,” ucapku setelah memesan makanan dan minuman. Pilihanku di resto cepat saji langganan kami. Memilih duduk di out-door untuk meleluasakan pembicaraan ini.Dia menyesap minuman soda, kemudian menatapku seolah mengumpulkan pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya.“Kenapa Om mendekati Mama? Bukankan dia bukan wanita yang cantik atau muda seperti tema
Yang dilakukan Mas Burhan bukan menyelesaikan masalah. Dia justru menyimpan bom waktu. Ini sama saja melibatkan Daniel di kesepakatan pura-pura ini.Pagi-pagi di meja makan sudah siap dua kotak berisi kue kering hasil semalam.“Ini untuk dibawa Mama ke kantor,” ucapnya sambil menaruh ke dalam tas tempat bekal. Aku mengintip isi yang berisi toples-toples kecil. Senyumku mengembang, ketika mendapati secarik kertas yang bergambar hati dan tulisan Mamaku Tersayang.“Terima kasih, Sayang. Mama pasti tambah semangat kerja. Ayo dimakan sarapannya.”Aku menyodorkan roti lapis yang berisi telor ceplok, daun selada, dan keju. Segelas susu hangat menjadi pelengkap.“Wow, teman-teman sekolah dapet cookies juga,” ucapku setelah menyudahi makan pagi. Kami bersiap untuk berangkat. Dia membawa tas sekolah ransel dan tas yang berisi kue kering yang sama denganku.“Bukan.”“Trus?”“Ini Daniel taruh di bawah. Nanti ada bagian pengiriman yang ambil, Ma. Daniel sudah pesan onlen.”“Dikirim?”“Iya. Untuk
“Ma-maaf,” ucapku setelah berusaha mengatur napas.Amarah yang sempat meledak berangsur-angsur mereda, seiring dengan sadarnya kedudukanku di mata lelaki ini. Aku mendudukkan diri di sofa dan menerima air putih yang dia sodorkan.“Tidak seharusnya saya membentak. Maaf, mungkin ini karena saya stress.”Aku memijit pelipis, yang semakin berdenyut apalagi melihat tas kertas yang senada dengan yang aku bawa tadi pagi. Tas yang berisi kue kering kiriman dari Daniel, anakku. Aku pastikan ini benar, karena ada pita putih sebagai mengaitnya.Laki-laki ini justru tersenyum.“Aku senang. Akhirnya kamu jujur dengan perasaanmu.”“Perasaan apa?” tanyaku sambil menaruh gelas kosong yang sudah aku teguk.“Pertanda kalau kamu tidak menyukai aku dekat dengan wanita lain.”“Jangan ngaco! Saya ke sini karena Daniel.”“Karena kamu menemuiku pun tidak apa-apa,” ucapnya sambil memicingkan mata.“Kamu berarti belum membuka kiriman dari Daniel?”Kekesalanku yang masih tersisa, membuatku enggan memanggil sep
Kaki ini masih mati rasa, aku menurut ketika tangan ini ditariknya. Kesadaranku masih belum bulat benar, ketika dia mendorongku untuk masuk ke dalam mobil. Dia tidak peduli dengan wanita itu meneriakkan apa. Mobil menderu meninggalkan tempat parkir, dan kata maaf yang terucap darinya lah yang menyadarkan aku ini siapa.Seketika, ujung-ujung jemari tangan dan kakiku mendingin. Tubuhku bergetar teringat betapa hinanya aku ini. Tidak ada bedanya dengan pelac*ur, yang meminjamkan raga demi niat duniawi.Aku merasa menghianati upaya orang tuaku yang memberiku bekal hidup dengan memberiku pendidikan. Betapa bodohnya aku, demi proyek rela dihina seperti ini..Masih tetap bergeming, aku menatap nanar pada jalan yang seakan mentertawakan aku. Tidak terasa, air mata ini meleleh begitu saja.“Aida! Jangan menangis. Maafkan aku!” teriaknya.Mobil dihentikan dan dia menghadapkan diri ke arahku. Tangannya terulur, tapi terlihat ragu dan ditariknya kembali.“Bukan. Bukan kamu yang salah,” ucapku s
POV AmmarKaki dan tanganku seakan lenyap. Telpon dari Bik Yanti membuatku terduduk lemas. Aku memang sering membuatnya kesal, tapi dalam hatiku sebenarnya hanya ada namanya seorang. Bahkan aku sudah berniat ingin mengupayakan untuk kembali bersama.“Kata orang-orang, itu Bu Aida ditrabrak orang dengan sengaja, Pak.”Pembantu di rumahku dulu menceritakan kronologis kecelakaan yang terjadi tadipagi. Katanya, dia korek ke orang sekitar. Kalau ini benar, berarti ada orang yang berniat mencelakainya. Tapi siapa?“Daniel bagaimana?”“Mas Daniel ya begitu, Pak. Dia tidak mau beranjak dari kamarnya Bu Aida.”Aku harus cepat menemui mereka. Daniel pasti merasa sendirian. Selain itu, apa yang bisa dilakukan anak seusia dia di saat genting seperti ini. Sedih dan menangis.Tanpa menunda waktu, aku mengambil jaket. Aida tidak mempunyai saudara, orang tuanya pun sudah meninggal. Walaupun aku mantan suami, hanya aku orang yang bisa mereka andalkan.Dengan ponsel masih menempel di telinga, aku menuj
“Diana! Jujur padaku! Kamu melakukan kejahatan apa!” Teriakan yang tidak pernah sekeras ini menyentakkan isi rumah. Bibik pengasuh sedang di dapur pun, langsung berlari mengambil Meisya yang menangis.Pasti anakku terkejut mendengar teriakan ini. Wajah Diana terlihat pias. Dia yang tadi sedang bercanda dengan Meisya langsung duduk dengan kepala menunduk. Terlihat pasrah, lain dari biasanya. “Ma-maaf, Mas Ammar. Aku tidak sengaja.” Semakin kuat dugaanku. Ucapannya merujuk pada pengakuan. Lemas, aku terduduk di kursi. Tanganku terkepal membawa amarah, sekaligus sesal. AKu benar-benar lelaki yang tidak berguna. Sampai berpisahpun, aku masih mendatangkan penderitaan untuk Aida. “Diana. Kenapa kamu menabraknya?” “Jujur, Mas. Aku tidak sengaja. Dia melintas begitu saja. Aku hanya mendengar suara keras dan tidak menemui jasadnya,” ucapnya dengan tatapan terlihat ketakutan. “Jadi kamu tinggal begitu saja?” tanyaku dengan rahang mulai mengeras. Dia ini bebal atau bagaimana? Dia katakan ja
“Aida … Kamu sudah sadar, Sayang?” seruku sambil membungkukkan badan untuk mendekat. Mata yang masih terlihat lelas dan bibir yang beku itu hanya bergerak-gerak sedikit. Seakan tidak memiliki sisa tenaga sedikitpun. Ini sebenarnya pemandangan biasa bagiku yang seorang dokter. Pasien walaupun sudah tersadar, dia pasti masih lemah setelah melewati masa kritis. Dulu, aku merasa kesal dengan keluarganya yang tidak sabar dan seakan memaksa pasien untuk cepat membuka mata dan tersenyum. ‘Pasien baru kembali dari memperjuangkan nyawanya, bukan kembali dari holiday yang harus say hello dan dipaksa menyebut siapa saja nama yang hadir!’ Itu pikiranku dulu. Memang, semenjak kehilangan Ibu, aku mematikan segala yang berhubungan dengan rasa di hati. Sekarang aku merasakan, begitu campur aduknya perasaan di dada ini saat belum memastikan Aida di kondisi yang benar-benar stabil. “M-mas Bur-han,”ucapnya terbata. Bibir yang kering seakan kaku untuk menyebut namaku. Jujur, hati ini melonjak ge