Kekisruhan tadi malam berakhir, setelah bantal dan tas ransel Daniel menjadi pembatas tidur kami. Walaupun kesepakatan dengan drama juga.“Ai, kepalamu jangan di tutup,” ucapnya tadi malam. Aku yang memunggunginya merasakan tepukan di punggung. Kesal rasanya, tidurku terusik. Mataku sudah berat dan ingin menyambung mimpi yang tertunda.“Kenapa?” tanyaku tanpa membuka selimut. Kepalaku tetap bersembunyi di selimut tebal ini, hanya terbuka sedikit untuk melegakan napas saja.Dia diam beberapa waktu. Kemudian … “Aku takut, Ai. Kalau seperti ini kamu seperti di film horor. Selimutnya putih lagi, tinggal dikasih moncong.”Ngakak. Asli aku sampai membekap mulut. Dalam hati aku bergumam, ‘Dokter kok takut pocong.’ Namun, ketakutannya menular kepadaku setelah mendengarkan perkataannya.“Aku tuh kalau melihat mayat secara langsung malah tidak takut. Tahu kan kamu kalau di rumah sakit bagaimana. Kadang ada lo, Ai, yang meninggal beberapa hari tidak tahu siapa keluarganya. Ya kami simpan di kama
Daniel benar-benar capek. Masuk ke pesawat, dia langsung pamit untuk tidur. “Lumayan, Ma. Dapet tidur satu jam,” ucapnya setelah merayu meminta bertukar tempat duduk.Sekarang, aku dan Mas Burhan yang duduk berjajar. Sisa jengah usai bangun tidur tadi pagi, masih tersisa. Tempat duduk di business class yang lebih lebar, terasa sempit bagiku. Meletakkan tangan di sandaran tangan saja, enggan. Kawatir bersentuhan yang memantik hati semakin tak karuan. Aroma tubuhnya terasa masih lekat di penciuman ini. Aku memilih memalingkan wajah ke arah jendela, menikmati jajaran pesawat menunggu giliran beraktifitas.“Malas kembali pulang? Seharusnya kita jalan-jalan juga di Jogja.”Aku menoleh. Tidak sopan rasanya mengabaikan seseorang yang menanggung perjalanan berwisata ini. Apalagi dia orang yang memberi sumbangan besar pada pekerjaanku. Kantor bisa berdenyut cepat, karena adanya mega proyek itu.“Ini sudah cukup untuk refresh otak.”Dia yang awalnya menghadap ke depan, menghadapkan wajah ke ara
The power of kepepet.Motivasi desakan deadline meningkat dua kali lebih besar dari biasanya. Saat seseorang sedang terburu-buru, motivasi yang muncul mengubah kata ‘tidak bisa’ menjadi ‘bisa’.Permintaan pengajuan jadwal ini bukan berasal dari Mas Burhan pribadi. Telpon dari Pak Haris menguatkan kalau ini tidak main-main. Senada dengan yang dikatakan Mas Burhan, akan ada investor dari luar negeri yang memastikan proyek ini.“Saya yakin team kamu mempunyai kemampuan untuk itu. Kali ini saya minta tolong untuk menyelesaikan lantai sembilan terlebih dahulu.” Otak menggelap seiring layar ponsel yang kehilangan sinarnya. Tanpa buang waktu, langsung aku memberi perintah di grup team. Keadaan urgent dan harus datang secepat mungkin ke kantor. Bisa aku pastikan mereka menggerutu, tak apalah aku akan janjikan kompensasi untuk liburan setelah projek selesai.“Mas Burhan, antarkan aku langsung ke kantor.” Aku menoleh ke laki-laki sebelahku yang fokus pada kemudi. Jalanan dari bandara begitu p
Tidak mungkin. Sekaliber Burhan Abimata tidak mungkin benar-benar melakukan hal remeh temeh seperti ini. Apalagi ini … huft! Memikirkan saja membuat pipiku menghangat. Malu. Apa Bik Yanti dipanggil ke sini, ya? Daniel sering memanggilnya saat aku tidak di rumah. Namun, itu sepertinya tidak mungkin dia, karena dua minggu ini dia sudah pamit untuk pulang kampung. ‘Biarlah! Kalaupun benar dia, toh dia pergi. Aku tidak menyuruh, tapi dia yang menawarkan bantuan. Urusan dia, biarkan besuk saja. Aku ingin malam ini istirahat,’ bisik hatiku sambil membuka lemari pendingin. Mata ini membelalak ketika mendapati setiap rak penuh dengan bahan makanan. Mulai buah-buahan, sayur, dan makanan siap saji. Dan ini ada cake coklat kesukaanku dan dari tempat langganan. ‘Apa dia juga mengajak Daniel berbelanja?’ Aku mengernyit. Membuka frezzer dan di situpun penuh dengan foodpack berisi bahan makanan. Masih tidak habis pikir, aku mengambil air mineral dingin dan meneguknya. Pikiran mampat, katanya kar
Kami sama-sama diam. Bergeming, seakan takut bergerak yang memantik alam bawah sadar menguasai kami lagi.Tangan ini masih terkepal meremat ujung selimut, berusaha menenangkan sisa gemuruh di dada. Mata ini pun terpejam tidak mengira hal barusan terjadi. Logika yang biasanya menjadi pagar, seakan dirobohkan begitu saja oleh rasa kurang ajar ini. Mengambil alih semua indra dan tanpa mampu tersadar. Aku dan dia saling menghanyutkan, seakan menjawab penasaran sentuhan yang nyaris di hari kemarin.Sekali lagi aku mengerutkan mata, teringat betapa rakusnya diri ini. Tanpa rela melepaskan, kami terdampar di sofa. Saling mengutip napas, bahkan jemari pun tak sabar bergerilya.‘Duh! Kenapa jadi seperti ini?’ runtuk hatiku meredam tubuh yang masih meremang. Bagaimana tidak, napasnya masih menerpa leher bagian belakang. Tangannya pun tetap melingkar di pinggang ini.“Ai. Maaf.” Suaranya terdengar serak. Mencoba beringsut, tapi pelukannya semakin erat. “Biarkan seperti ini. Kamu harum dan mene
Ini pasti bukan berkaitan dengan hati. Hanya kebutuhan dewasa yang mencuat tak sengaja. Berkali-kali aku menggelengkan kepala, berusaha mengusir ingatan pada kejadian yang tidak seharusnya.Memang sebagai orang yang sama-sama dewasa, aku dan dia sebaiknya bisa menahan diri. Mengedepankan pikiran dibandingkan keinginan sesaat.Itu seharusnya.Namun, malam itu keadaan lelah mungkin menyebabkan kami nyaris kebablasan. Beruntung sedikit kesabaran, membangunkan kami untuk lebih menjaga diri.Sejak malam itu, aku berusaha tidak sendiri saat menemuinya. Meeting keesok harinya pun, aku membawa semua kru, dan kembali tanpa mengindahkan permintaannya untuk tinggal.Kesepakatan sudah tercapai. Pihak Mas Burhan menerima usulan kami. Penyelesaian tahap pertama pada lantai sembilan dan areal yang dilewati ke lantai tersebut.“Aku konsentrasi pada pekerjaan, Mas. Kalau ingin mengajak Daniel pergi, silakah langsung menghubungi dia,” ucapku saat dia mengajak kami untuk pergi bersama.“Kamu memerlukan
Berkali-kali aku menepuk dadaku yang terasa sesak. Rasa geram masih membuncah, tidak mereda walaupun Laila memberiku air putih dingin. “Sabar, Aida. Jangan kamu ambil hati. Anggap saja dia wanita gila,” ucap Laila sambil duduk mensejajariku. Sempat tadi nyaris terjadi perkelahian, sahabatku inilah yang menyelamatkan aku dari tindakan bar-bar. Tanganku tadi, sudah bersiap mengangkat kursi berniat untuk membungkam mulut perempuan itu. “Oh, begini? Katanya lembur, meeting, ternyata pacaran dengan janda!” ucapannya tadi mengawali ungkapan-ungkapan yang memantik amarahku. “Diana! Kenapa kamu ke sini?” seru Mas Ammar. Dia mendekati istrinya yang memberikan tatapan nyalang kepadaku. Perempuan yang rambutnya diwarnai pirang, terlihat seperti medusa yang siap menyemburkan api kepadaku. “Mbak Aida! Sekarang sudah menjadi pelakor, ya? Ingin menjadi perusak rumah tangga orang? Dasar janda gatal! Kalau ingin digaruk, cari laki-laki lajang atau yang bisa dibayar!” Dahiku yang tadi sudah berke
Entah kenapa, Diana mulai membosankan. Melegalkan pernikahan dengannya, justru rasa hambar yang aku dapatkan.Nikmatnya bersama Mamanya Meisya ini, hanya saat dia menjadi selingkuhanku dulu. Debaran di dada saat menunggu kesempatan bertemu, dan memutar otak supaya tidak diketahui Aida. Itu sungguh seperti petualangan yang sebenarnya. Aku bisa menuju puncak dengan sensasi yang berbeda.Pernah dulu, saat awal-awal hubungan terlarang dimulai. Saat itu dia masih bantu-bantu di rumah. Rabaan sembunyi-sembunyi, atau menarik tangannya ke gudang untuk sekadar membayar rasa penasaran. Tidak peduli dengan debu dan udara pengap. Hasrat sudah menguasai dalam waktu dan kesempatan yang sempit. Bagaimana tidak, kami harus kucing-kucingan dengan Aida dan Bik Yanti.Aku tidak salah. Kucing mana yang tidak mengeong kalau mengendus bau ikan asin. Di setiap kesempatan, aku disuguhkan belahan dada, paha yang tersingkap, dan pantat bulat penuh. Entah saat gadis berkulit putih itu mengepel, mengelap meja, a