Home / Pernikahan / Bukan Wanita Impian Suamiku / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Bukan Wanita Impian Suamiku: Chapter 41 - Chapter 50

108 Chapters

Bab 41. Tawaran

“Bagaimana? Kamu pasti setuju, kan?”Ternyata lelaki ini tidak main-main. Dia menyodorkan cek kosong untuk aku isi berapapun nominalnya. Mungkin kalau wanita lain akan bersorak dan menerimanya dengan senang hati. Tidak ada kerugiannya. Selain mendapatkan uang, juga berkesempatan bersama dengan bujangan berkualitas. Laki-laki dewasa dengan perawakan ideal dan wajah pantas dibanggakan.Itu yang dia katakan sedari tadi.Namun, itu tidak aku perlukan. Aku masih mampu mencari uang tanpa menggadaikan kisah cinta sandiwara. Bukan keahlianku untuk akting dengan menebar senyuman kepalsuan. Capek.“Silakan,” ucapnya menggodaku dengan menyodorkan pena yang sudah dia buka penutupnya.Aku tertawa kecil.Gara-gara laki-laki ini aku sekarang terseret di kantornya. Kantor yang bukan biasanya aku kunjungi. Tetap berlokasi di rumah sakit, tetapi berbeda lantai. Di ujung ruangan terdapat meja kayu tebal dan di atasnya terdapat papan nama meja berbahan kayu hitam dilapisi plat emas yang terukir nama Dr.
Read more

Bab 42. Tidak

“Aku tidak butuh ceritamu,” ucapku menghentikan cerita yang kelihatannya masih panjang.Dokter yang merangkap menjadi direktur ini, menceritakan tentang masa lalunya. Seakan memberikan alasan kenapa masih membujang sampai sekarang. Burhan ini pernah dekat dan cinta mati dengan seorang gadis saat sama-sama sekolah di luar negeri.Percintaan beda negara yang mendapatkan penolakan keras dari keluarga besar. Namun, itu tidak menjadi masalah. Toh mereka jauh dari keluarga. Seperti pasangan lainnya, lelaki ini mengaku juga tinggal bersama dengan sang kekasih.“Kamu tidak ingin mendengar cerita lengkapnya?”“Untuk apa?” tanyaku tersenyum dan menggelengkan kepala.Dia mencondongkan tubuh ke depan, dan memberikan tatapan lekat. “Supaya kamu tidak menuduhku yang tidak-tidak. Nanti kamu pikir aku bukan laki-laki normal.”Aku tertawa. “Iya, iya. Aku percaya. Seratus persen.”“Tapi melihat wajahmu, kamu masih terlihat meragukan aku,” ucapnya sambil menelengkan kepala.“Sudah-sudah. Coba aku lihat
Read more

Bab 43. Terperangkap

“Ma-maaf,” seruku berusaha berdiri tegak. Aku mundur ke belakang dengan bertumpu pada sandaran sofa. Wajahku menghangat, bukan karena kejadian tadi, tetapi disebabkan mata tajam yang menatapku lekat-lekat. Pandangan yang menyapu dari atas sampai bawah membuatku seperti orang yang dicurigai berbuat salah. Dahinya yang keriput semakin berkerut seakan beribu pertanyaan berjubal di kepala lelaki tua yang berdiri di tengah-tengah pintu. “Kakek!” Sontak aku menoleh ke arah Dokter Burhan yang memanggil lelaki tua ini. ‘Ternyata Kakek ini yang masih berpikiran kolot dengan jodoh-jodohan,’ pikir hatiku sambil memastikan baju yang aku kenakan rapi. Seingatkan, lelaki tua ini pemilik sekaligus pemimpin rumah sakit. Setidaknya, aku berpenampilan layak di depannya. Lelaki yang dipanggil kakek itu menoleh ke arah cucunya sambil mendengus dengan kedua alis mata bertaut. Menurutku, si kakek suasana hatinya kurang baik. Wajah lelaki yang baru saja menawarkan projek ini terlihat terkesiap, tapi se
Read more

Bab 44. Menyangkal

Kesal! Kesal rasanya. Aku merasa dijebloskan ke rencana gila yang tidak masuk akal. Dokter Burhan menyahut pertanyaan Kakek Dokter Burhan belum sempat aku jawab. Dan ini memperparah posisiku.“Kakek. Jangan bertanya hal yang membuat Aida malu,” ucapnya sempat membuatku lega. Namun, kalimat yang setelahnya sontak membuatku geram.Ucapan ini sama saja menggali lubang yang mulai menenggelamkan aku. Ungkapan yang bisa jadi orang lain salah menyimpulkan, dan berasumsi seperti lelaki ini mau. Gilanya lagi dia mengatakan hal yanglebih tidak masuk akal.“Kami sama-sama bukan anak muda lagi, walaupun terpercik rasa cinta di antara kami tapi itu bukan satu-satunya alasan kami bersama. Kami orang dewasa yang masih berpikir panjang. Ya, kan, Ai?” ucapnya sambil menatapku dengan sorot mendamba.Matanya meredup dengan suara rendah yang benar-benar terdengar mesra saat berkata, “Ya kan, Ai?” Kalau ini dibiarkan, bisa jadi kakek ini semakin salah paham, terlihat dia yang memberikan tatapan lekat-le
Read more

Bab 45.  Posisi Nol

“Ini yang kamu mau!”Dia melempar amplop berwarna coklat berlogo Pengadilan Agama. Aku mendengus menatapnya, kesal melihat perlakuannya yang tidak sopan. Kalau dulu ini aku anggap gurauan, tapi sekarang kami bukan siapa-siapa lagi, dia tidak boleh melakukan ini.Daripada menunjukkan kesal dan menjadi alasan untuk berlama berbincang, lebih baik aku anggap dia orang yang berkapasitas minim.Senyumku mengembang melihat akta cerai yang ada di tanganku. Sekilas aku membaca surat dengan awalan: Panitera Pengadilan Agama dan seterusnya. Intinya menyatakan kalau aku dan dia hanya sekadar mantan suami istri.“Kamu senang? Atau menyesal?”Tersenyum aku menatapnya sambil menggelengkan kepala. Sudah aku putuskan untuk menyederhanakan pikiran. Ini hanya memindah waktu saja. Aku dulu dengannya di posisi titik nol saat kami belum berkenalan. Anggap saja, surat ini sebagai tanda kami di waktu itu. Jadi tidak ada rasa senang atau menyesal.Lelaki ini memenuhi janji untuk mengurus semuanya, walaupun de
Read more

Bab 46. Tidak Sengaja

Aroma citrus dan pinus yang sempat dikenali penciumanku, sekarang mengusik lagi. Dia langsung duduk mensejajariku yang berseberangan dengan anakku.“Hai!” ucapnya dengan ekspresi datar. Kemudian tanpa menunggu jawabanku dia menghadap ke arah Daniel. Seperti orang yang baru kenal dan tidak mau kenal.Benar-benar pertemuan tidak sengaja yang menyebalkan. Semoga saja tidak merusak hariku.“Jagoannya Om, sekarang jadi anak hebat, ya!” serunya sambil menunjuk tongkat yang disandarkan di sebelah Daniel. “Kamu terlihat keren. Seperti Ichigo Kurasaki”Anakku tertawa lepas. Tidak biasanya saat seseorang menyoal tentang kakinya dia akan tertawa, biasanya dia akan menggerutu dan bersungut-sungut. Namun, dengan lelaki ini dia justru terlihat semangat.“Ichigo yang sedang cidera dan akhirnya jalan dengan bantuan tongkat kayu?” sahut Daniel bersemangat.“Tapi kamu dapat zanpakutou dari Aizen, kan? Kamu jadi lebih hebat!” seru lelaki di sebelahku sambil tertawa.Mereka asyik bercerita dan tertawa b
Read more

Bab 47. Gurauan Balas Dendam

“Sekarang kamu puas?” Ucapannya terdengar kaku, tetapi mata ini mendapati kedua sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas.“Sangat,” ucapku, kemudian menyesap kopi pahit yang tetap hangat di dalam cup cepat saji. Bibirku masih menyisakan senyuman mengingat bagaimana aku membalas dendam kepadanya. Siapa suruh menantang Aida dengan cecaran yang bikin jengkel.“Daniel. Ayam-ayam ini laki-laki atau perempuan?” tanyaku sambil menunjuk pesanan ke dua dari anakku. Dua porsi ayam goreng untuk mereka berdua, lengkap dengan ketang, nasi dan minuman soda. Sedangkan untukku dia membelikan kentang goreng dan nugget.“Mana bisa tahu, Ma? Sudah digoreng gini.”“Tapi Om Dokter tahu benar kalau ayam goreng ini perempuan dan cantik. Ya, Om Dok?”Dia sempat melotot, tapi kemudian dengan lihainya dia berkelit.“Iya, memang. Om pernah baca di poultry magazine. Ayam untuk restoran cepat saji ini biasanya berukuran tidak terlalu besar, karena di ukuran itu rasa juicy dari daging ayam yang paling optimal. Ini
Read more

Bab 48. Gede Rasa

“Mama masih marah?”“Tidak.”“Tapi kok masih diam saja?” tanya Daniel dengan suara ragu.Aku meliriknya sekilas, dipangkuannya satu tas belanjaan penuh dengan komik yang dia impikan. Sebenarnya yang membuatku kesal, karena dia menerima tawaran Dokter Burhan untuk membayar semua ini.“Mama pernah mengajarkan kamu untuk meminta-minta?” tanyaku tadi, tanpa melepas pandangan Daniel.Ucapanku menghilangkan sekejap senyuman saat menceritakan betapa asyiknya mereka berburu komik bersama. Bagaimana aku tidak kecewa, selalu aku tekankan ke anakku untuk menselaraskan antara hobi dan sekolah. Aku batasi dia hanya membeli dua buku dalam sebulan. Eh, sekarang tanpa merasa bersalah dia membawa satu tas belanjaan ukuran besar. Bagaimana tidak kesal?“Aida. Jangan marah kepada Daniel. Aku yang memaksa dia untuk memilih dan membelikan untuknya,” ucap lelaki ini seakan pasang badan.Aku tidak menghiraukan ucapannya, mataku tetap tertuju pada Daniel. “Mama tidak melihat kamu dalam kondisi terpaksa. Sece
Read more

Bab 49. Tamu Tidak Diundang

Dengan menautkan alis, mataku tidak lepas dari dia yang duduk bersila dan sibuk mendesis karena kepedasan. Sesekali Daniel menatap dan menunjukkan senyuman mohon pemakluman kepadaku setelah menatap pria dewasa di depannya itu. Dokter gila yang merebut mie kuah yang akan aku makan.Jangan tanya seberapa kesal aku saat ini. Ubun-ubunku mengepul semenjak dia melewati pintu.“Kamu tidak tahu sopan santun? Membiarkan tamu tetap di luar seperti ini?”Aku memicingkan mata mengingat apakah aku pernah memberitahu alamat tempat tinggalku. Namun tidak aku temukan kapan dan untuk apa.“Darimana kamu tahu aku tinggal di sini?”Dia tertawa. “Mencari informasi, itu hal yang mudah bagi Burhan Abimata. Aku tidak dipersilakan masuk? Baru kali ini ada tuan rumah yang seperti ini.”Posisi berdiriku masih tetap. Jengah rasanya memasukkan laki-laki yang aku pun tidak menginginkan dia ada di sini. Bisa jadi rusak hari liburku.“Maaf. Saya tidak memasukkan tamu tidak diundang ke dalam rumah. Kamu hanya mengi
Read more

Bab 50. Isi Hati

“Ka-kamu kenapa di sini?” Aku beringsut ke belakang, tapi terbentur sandaran sofa. Ternyata berbaring di sofa dan aku tertidur. Dia tersenyum dengan satu sudut bibir. “Kamu ini kalau tidur kayak kerbau. Aku sudah membangunkan kamu dari tadi. Makanya aku cek apakah kamu masih bernapas.” Aku mendengus dan bergegas beranjak duduk. Merapikan pakaian dan rambutku. “Kenapa kamu belum pulang.” “Ini aku akan pamit. Kasihan Daniel sendirian.” Kepalaku menoleh ke arahnya, kemudian melongok ke arah kamar anakku. “Daniel mana?” “Dia sakit perut. Ke toilet,” ucapnya, kemudian duduk mensejajariku. “Kok malah duduk? Katanya mau pulang?” “Sebentar. Capek.” Nada suaranya lebih rendah dari biasanya. Dia meluruskan kaki. Matanya terpejam dengan kepala mendongak ke atas. Ingin mencecarnya supaya cepat pergi, tapi tidak tega. Dia memang terlihat lelah. Dengan menyamakan nada suara, aku berkata, “Pulang saja sana. Langsung istirahat. Kamu kan belum pulang ke rumah dari tadi siang, kan?” Lelaki ini
Read more
PREV
1
...
34567
...
11
DMCA.com Protection Status