“Ma-maaf,” seruku berusaha berdiri tegak. Aku mundur ke belakang dengan bertumpu pada sandaran sofa. Wajahku menghangat, bukan karena kejadian tadi, tetapi disebabkan mata tajam yang menatapku lekat-lekat. Pandangan yang menyapu dari atas sampai bawah membuatku seperti orang yang dicurigai berbuat salah. Dahinya yang keriput semakin berkerut seakan beribu pertanyaan berjubal di kepala lelaki tua yang berdiri di tengah-tengah pintu. “Kakek!” Sontak aku menoleh ke arah Dokter Burhan yang memanggil lelaki tua ini. ‘Ternyata Kakek ini yang masih berpikiran kolot dengan jodoh-jodohan,’ pikir hatiku sambil memastikan baju yang aku kenakan rapi. Seingatkan, lelaki tua ini pemilik sekaligus pemimpin rumah sakit. Setidaknya, aku berpenampilan layak di depannya. Lelaki yang dipanggil kakek itu menoleh ke arah cucunya sambil mendengus dengan kedua alis mata bertaut. Menurutku, si kakek suasana hatinya kurang baik. Wajah lelaki yang baru saja menawarkan projek ini terlihat terkesiap, tapi se
Kesal! Kesal rasanya. Aku merasa dijebloskan ke rencana gila yang tidak masuk akal. Dokter Burhan menyahut pertanyaan Kakek Dokter Burhan belum sempat aku jawab. Dan ini memperparah posisiku.“Kakek. Jangan bertanya hal yang membuat Aida malu,” ucapnya sempat membuatku lega. Namun, kalimat yang setelahnya sontak membuatku geram.Ucapan ini sama saja menggali lubang yang mulai menenggelamkan aku. Ungkapan yang bisa jadi orang lain salah menyimpulkan, dan berasumsi seperti lelaki ini mau. Gilanya lagi dia mengatakan hal yanglebih tidak masuk akal.“Kami sama-sama bukan anak muda lagi, walaupun terpercik rasa cinta di antara kami tapi itu bukan satu-satunya alasan kami bersama. Kami orang dewasa yang masih berpikir panjang. Ya, kan, Ai?” ucapnya sambil menatapku dengan sorot mendamba.Matanya meredup dengan suara rendah yang benar-benar terdengar mesra saat berkata, “Ya kan, Ai?” Kalau ini dibiarkan, bisa jadi kakek ini semakin salah paham, terlihat dia yang memberikan tatapan lekat-le
“Ini yang kamu mau!”Dia melempar amplop berwarna coklat berlogo Pengadilan Agama. Aku mendengus menatapnya, kesal melihat perlakuannya yang tidak sopan. Kalau dulu ini aku anggap gurauan, tapi sekarang kami bukan siapa-siapa lagi, dia tidak boleh melakukan ini.Daripada menunjukkan kesal dan menjadi alasan untuk berlama berbincang, lebih baik aku anggap dia orang yang berkapasitas minim.Senyumku mengembang melihat akta cerai yang ada di tanganku. Sekilas aku membaca surat dengan awalan: Panitera Pengadilan Agama dan seterusnya. Intinya menyatakan kalau aku dan dia hanya sekadar mantan suami istri.“Kamu senang? Atau menyesal?”Tersenyum aku menatapnya sambil menggelengkan kepala. Sudah aku putuskan untuk menyederhanakan pikiran. Ini hanya memindah waktu saja. Aku dulu dengannya di posisi titik nol saat kami belum berkenalan. Anggap saja, surat ini sebagai tanda kami di waktu itu. Jadi tidak ada rasa senang atau menyesal.Lelaki ini memenuhi janji untuk mengurus semuanya, walaupun de
Aroma citrus dan pinus yang sempat dikenali penciumanku, sekarang mengusik lagi. Dia langsung duduk mensejajariku yang berseberangan dengan anakku.“Hai!” ucapnya dengan ekspresi datar. Kemudian tanpa menunggu jawabanku dia menghadap ke arah Daniel. Seperti orang yang baru kenal dan tidak mau kenal.Benar-benar pertemuan tidak sengaja yang menyebalkan. Semoga saja tidak merusak hariku.“Jagoannya Om, sekarang jadi anak hebat, ya!” serunya sambil menunjuk tongkat yang disandarkan di sebelah Daniel. “Kamu terlihat keren. Seperti Ichigo Kurasaki”Anakku tertawa lepas. Tidak biasanya saat seseorang menyoal tentang kakinya dia akan tertawa, biasanya dia akan menggerutu dan bersungut-sungut. Namun, dengan lelaki ini dia justru terlihat semangat.“Ichigo yang sedang cidera dan akhirnya jalan dengan bantuan tongkat kayu?” sahut Daniel bersemangat.“Tapi kamu dapat zanpakutou dari Aizen, kan? Kamu jadi lebih hebat!” seru lelaki di sebelahku sambil tertawa.Mereka asyik bercerita dan tertawa b
“Sekarang kamu puas?” Ucapannya terdengar kaku, tetapi mata ini mendapati kedua sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas.“Sangat,” ucapku, kemudian menyesap kopi pahit yang tetap hangat di dalam cup cepat saji. Bibirku masih menyisakan senyuman mengingat bagaimana aku membalas dendam kepadanya. Siapa suruh menantang Aida dengan cecaran yang bikin jengkel.“Daniel. Ayam-ayam ini laki-laki atau perempuan?” tanyaku sambil menunjuk pesanan ke dua dari anakku. Dua porsi ayam goreng untuk mereka berdua, lengkap dengan ketang, nasi dan minuman soda. Sedangkan untukku dia membelikan kentang goreng dan nugget.“Mana bisa tahu, Ma? Sudah digoreng gini.”“Tapi Om Dokter tahu benar kalau ayam goreng ini perempuan dan cantik. Ya, Om Dok?”Dia sempat melotot, tapi kemudian dengan lihainya dia berkelit.“Iya, memang. Om pernah baca di poultry magazine. Ayam untuk restoran cepat saji ini biasanya berukuran tidak terlalu besar, karena di ukuran itu rasa juicy dari daging ayam yang paling optimal. Ini
“Mama masih marah?”“Tidak.”“Tapi kok masih diam saja?” tanya Daniel dengan suara ragu.Aku meliriknya sekilas, dipangkuannya satu tas belanjaan penuh dengan komik yang dia impikan. Sebenarnya yang membuatku kesal, karena dia menerima tawaran Dokter Burhan untuk membayar semua ini.“Mama pernah mengajarkan kamu untuk meminta-minta?” tanyaku tadi, tanpa melepas pandangan Daniel.Ucapanku menghilangkan sekejap senyuman saat menceritakan betapa asyiknya mereka berburu komik bersama. Bagaimana aku tidak kecewa, selalu aku tekankan ke anakku untuk menselaraskan antara hobi dan sekolah. Aku batasi dia hanya membeli dua buku dalam sebulan. Eh, sekarang tanpa merasa bersalah dia membawa satu tas belanjaan ukuran besar. Bagaimana tidak kesal?“Aida. Jangan marah kepada Daniel. Aku yang memaksa dia untuk memilih dan membelikan untuknya,” ucap lelaki ini seakan pasang badan.Aku tidak menghiraukan ucapannya, mataku tetap tertuju pada Daniel. “Mama tidak melihat kamu dalam kondisi terpaksa. Sece
Dengan menautkan alis, mataku tidak lepas dari dia yang duduk bersila dan sibuk mendesis karena kepedasan. Sesekali Daniel menatap dan menunjukkan senyuman mohon pemakluman kepadaku setelah menatap pria dewasa di depannya itu. Dokter gila yang merebut mie kuah yang akan aku makan.Jangan tanya seberapa kesal aku saat ini. Ubun-ubunku mengepul semenjak dia melewati pintu.“Kamu tidak tahu sopan santun? Membiarkan tamu tetap di luar seperti ini?”Aku memicingkan mata mengingat apakah aku pernah memberitahu alamat tempat tinggalku. Namun tidak aku temukan kapan dan untuk apa.“Darimana kamu tahu aku tinggal di sini?”Dia tertawa. “Mencari informasi, itu hal yang mudah bagi Burhan Abimata. Aku tidak dipersilakan masuk? Baru kali ini ada tuan rumah yang seperti ini.”Posisi berdiriku masih tetap. Jengah rasanya memasukkan laki-laki yang aku pun tidak menginginkan dia ada di sini. Bisa jadi rusak hari liburku.“Maaf. Saya tidak memasukkan tamu tidak diundang ke dalam rumah. Kamu hanya mengi
“Ka-kamu kenapa di sini?” Aku beringsut ke belakang, tapi terbentur sandaran sofa. Ternyata berbaring di sofa dan aku tertidur. Dia tersenyum dengan satu sudut bibir. “Kamu ini kalau tidur kayak kerbau. Aku sudah membangunkan kamu dari tadi. Makanya aku cek apakah kamu masih bernapas.” Aku mendengus dan bergegas beranjak duduk. Merapikan pakaian dan rambutku. “Kenapa kamu belum pulang.” “Ini aku akan pamit. Kasihan Daniel sendirian.” Kepalaku menoleh ke arahnya, kemudian melongok ke arah kamar anakku. “Daniel mana?” “Dia sakit perut. Ke toilet,” ucapnya, kemudian duduk mensejajariku. “Kok malah duduk? Katanya mau pulang?” “Sebentar. Capek.” Nada suaranya lebih rendah dari biasanya. Dia meluruskan kaki. Matanya terpejam dengan kepala mendongak ke atas. Ingin mencecarnya supaya cepat pergi, tapi tidak tega. Dia memang terlihat lelah. Dengan menyamakan nada suara, aku berkata, “Pulang saja sana. Langsung istirahat. Kamu kan belum pulang ke rumah dari tadi siang, kan?” Lelaki ini
Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal
“Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,
“Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog
“Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya
POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad
Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”
Aku mengeratkan genggaman pada pergelangan tangan Daniel. Sama denganku, anakku ini terlihat kaget mendengar ucapan lelaki ini. Dari awal persiapan, aku selalu mengatakan ada Tante Candra-saudara Tante Laila-yang akan menemani kami. Bodohnya aku tidak bertanya lebih lanjut kepada Laila siapa sebenarnya saudara yang menjadi tour guide kami. Siapa sangka nama Candra Lukita bukanlah perempuan, tapi justru laki-laki. “Ma-maaf. Saya pikir….” “Santuy, ajah. Aku panggil kamu Aida, ya? Kita mungkin tidak seumuran, tapi di negara ini tidak memandang seseorang dari umur.” Dalam hati aku mencembik. Tidak usah bilang umur. Tanpa dibilang pun aku tahu lelaki ini jauh lebih muda dariku. Tubuhnya aja yang menjulang yang memanipulasi usianya. “Iya, silakan. Tapi sekali lagi minta maaf, ya. Laila juga tidak mengatakan kalau anda laki-laki. Saya juga tidak bertanya,” sahutku memberi alasan. Dia menunjukkan senyuman pemakluman. Jujur aku malu, kok bisanya aku tidak seteliti ini. Sampai jenis kela
Kata-kata bernada kompromi bergumul di kepala. Menjadikan apa yang terjadi adalah suatu yang bisa dimaklumi. Kami yang sama-sama dewasa yang tentunya mempunyai kebutuhan hasrat dan itu hal biasa. Terlebih bagi dua insan yang saling jatuh cinta. ‘Huft! Pembelaan mencari pembenaran,’ bisik sudut hatiku sebelah sana. Namun, bukankah kedewasaan dan rasa cinta seharusnya menempatkan seseorang untuk dijaga? Bukan untuk dijadikan obyek pelampiasan hasrat semata. Cinta yang agung hanya tersekat selembar rambut dengan nafsu. Dan, yang terjadi sudah hal demikian. Sepanjang jalan menuju pulang, kami hanya terdiam. Tidak ada kata sepatahpun setelah dia mengatakan maaf. “Aida. Maafkan aku. A-aku sangat merindukan kamu dan mendapati kamu seperti sekarang menjadikan aku tidak mampu mengendalikan diri,” ucapnya dengan suara parau. “Kamu membuatku gila, Aida,” gumamnya sambil meraup kasar wajahnya. Tanganku mencengkeram jaket yang sudah aku eratkan. Begitu juga bawahan baju tidur yang tidak cu
Kata orang, semakin kita meniatkan sesuatu, semakin godaan akan datang. Aku mengurus semua untuk kepergianku, mulai dari administrasi, sampai izin ke sekolah Daniel. Tentu saja ini dirahasiakan dari Mas Burhan.Dia hanya tahu, ketidak aktifanku di kantor karena untuk pemulihan. Itu juga karena Laila yang memberitahu dia.“Aku mendukung, kok,” ucapnya melalui sambungan telpon.“Benar? Kamu tidak merasa rugi karena aku meninggalkan proyek?” tanyaku sarkas. Setahuku dari dulu dia selalu mengatakan hal yang menyangkut untung dan rugi. Terlebih tentang kehadiranku.Dia tidak tersinggung, justru suara tawa terdengar.“Kamu ingat saja. Itu kan supaya kamu tidak mewakilkan kehadiranmu.”Aku mendengkus. “Huh, bilang saja tidak mau rugi.”“Iya, lah. Rugi kalau aku datang dan gagal bertemu dengan orang yang aku inginkan,” sahutnya memantik diri ini mengernyitkan dahi.Di setiap percakapan, selalu saja ucapan rayuan menyoal. Dasar laki-laki playboy. Mungkin ini satu alasan dia tidak kunjung mempu