“Mama masih marah?”“Tidak.”“Tapi kok masih diam saja?” tanya Daniel dengan suara ragu.Aku meliriknya sekilas, dipangkuannya satu tas belanjaan penuh dengan komik yang dia impikan. Sebenarnya yang membuatku kesal, karena dia menerima tawaran Dokter Burhan untuk membayar semua ini.“Mama pernah mengajarkan kamu untuk meminta-minta?” tanyaku tadi, tanpa melepas pandangan Daniel.Ucapanku menghilangkan sekejap senyuman saat menceritakan betapa asyiknya mereka berburu komik bersama. Bagaimana aku tidak kecewa, selalu aku tekankan ke anakku untuk menselaraskan antara hobi dan sekolah. Aku batasi dia hanya membeli dua buku dalam sebulan. Eh, sekarang tanpa merasa bersalah dia membawa satu tas belanjaan ukuran besar. Bagaimana tidak kesal?“Aida. Jangan marah kepada Daniel. Aku yang memaksa dia untuk memilih dan membelikan untuknya,” ucap lelaki ini seakan pasang badan.Aku tidak menghiraukan ucapannya, mataku tetap tertuju pada Daniel. “Mama tidak melihat kamu dalam kondisi terpaksa. Sece
Dengan menautkan alis, mataku tidak lepas dari dia yang duduk bersila dan sibuk mendesis karena kepedasan. Sesekali Daniel menatap dan menunjukkan senyuman mohon pemakluman kepadaku setelah menatap pria dewasa di depannya itu. Dokter gila yang merebut mie kuah yang akan aku makan.Jangan tanya seberapa kesal aku saat ini. Ubun-ubunku mengepul semenjak dia melewati pintu.“Kamu tidak tahu sopan santun? Membiarkan tamu tetap di luar seperti ini?”Aku memicingkan mata mengingat apakah aku pernah memberitahu alamat tempat tinggalku. Namun tidak aku temukan kapan dan untuk apa.“Darimana kamu tahu aku tinggal di sini?”Dia tertawa. “Mencari informasi, itu hal yang mudah bagi Burhan Abimata. Aku tidak dipersilakan masuk? Baru kali ini ada tuan rumah yang seperti ini.”Posisi berdiriku masih tetap. Jengah rasanya memasukkan laki-laki yang aku pun tidak menginginkan dia ada di sini. Bisa jadi rusak hari liburku.“Maaf. Saya tidak memasukkan tamu tidak diundang ke dalam rumah. Kamu hanya mengi
“Ka-kamu kenapa di sini?” Aku beringsut ke belakang, tapi terbentur sandaran sofa. Ternyata berbaring di sofa dan aku tertidur. Dia tersenyum dengan satu sudut bibir. “Kamu ini kalau tidur kayak kerbau. Aku sudah membangunkan kamu dari tadi. Makanya aku cek apakah kamu masih bernapas.” Aku mendengus dan bergegas beranjak duduk. Merapikan pakaian dan rambutku. “Kenapa kamu belum pulang.” “Ini aku akan pamit. Kasihan Daniel sendirian.” Kepalaku menoleh ke arahnya, kemudian melongok ke arah kamar anakku. “Daniel mana?” “Dia sakit perut. Ke toilet,” ucapnya, kemudian duduk mensejajariku. “Kok malah duduk? Katanya mau pulang?” “Sebentar. Capek.” Nada suaranya lebih rendah dari biasanya. Dia meluruskan kaki. Matanya terpejam dengan kepala mendongak ke atas. Ingin mencecarnya supaya cepat pergi, tapi tidak tega. Dia memang terlihat lelah. Dengan menyamakan nada suara, aku berkata, “Pulang saja sana. Langsung istirahat. Kamu kan belum pulang ke rumah dari tadi siang, kan?” Lelaki ini
Kalau benci sesuatu jangan keterlaluan. Begitu juga dengan rasa suka kepada seseorang.Rasa cinta dan sayangku kepada Mas Ammar dulu begitu bulat. Tidak ada celah untuk apapun, seakan mata ini hanya tertuju padanya. Apa yang dia ucapkan menjadi kebenaran untukku.Memang benar saat seseorang berjalan dengan hati, dia akan memberikan semuanya dengan bahagia dan tanpa bertanya. Namun, saat yang diharapkan berbanding terbalik, hati juga yang tergores dalam. Semua keindahan berubah seketika menjadi kelam.Akan tetapi, semua pasti ada masanya. Kesedihan dan kebahagiaan itu seperti musim, yang akan datang silih berganti. Sekarang aku menunggu menyambut kebahagiaan.***“Aida. Ini semua laporan proyek Anton,” ucap Laila seraya duduk di seberang meja kerjaku. Dia menyodorkan map berwarna hijau yang sudah dibuka. Progres dan deretan angka-angka menunjukkan pencapaian.Jariku merunut dari atas sampai bawah. Semua berjalan seperti rencana dan disetujui Anton. Bangunan ini belum jadi seratus pers
“Sepi sekali kayak kuburan?” Ucapan pedas langsung terucap setelah pintu terbuka. Laki-laki berambut panjang itu menyunggar dan mengikatnya asal. Dia tersenyum mendapatiku yang duduk sendirian di sofa.“Lagi jadi pengangguran, ya? Bagus kalau begitu,” ucapnya sambil menarik kursi untuk duduk mendekat.Aku mengerutkan alis. Ucapannya seakan menyirat dia mempunyai rencana. Dan aku mencium gelagat tidak baik.Tubuhku kusandarkan ke sofa, kemudian melipat tangan di depan dada. “Kamu ada perlu apa ke sini?”Dia tertawa. “Ada perlu dengan kamu, lah.”“Apa lagi? Aku pikir masalah kita sudah selesai,” ucapku kemudian memicingkan mata ke arahnya. “Kecuali kamu … mencari masalah denganku.”Lagi-lagi dia tertawa. Kedua tangannya menangkup dan menjadi tumpuan kepalanya yang tertuju padaku. “Aku ini orang baik, Aida. Kalau tidak, tidak mungkin kita bertahan bersama belasan tahun. Karenanya, aku tu kepikiran dengan keadaanmu sekarang ini,” ucapnya dengan nada suara rendah. Terkesan seperti laki-la
Perjalanan ini seperti mengantarkan diriku untuk memasrahkan diri, menyerah dengan tawaran yang sebenarnya mengganjal hati ini. Jalan yang biasanya padat, sekarang seakan memberiku jalan untuk cepat menuju tujuan.Tempat yang dipilih Dokter Burhan berada di tengah-tengah jarak antara tempatku dan rumah sakit. Dia mengatakan kalau dia sudah memesan tempat privat untuk kami.“Saya ada janji dengan Dokter Burhan,” ucapku kepada resepsionis yang menyambut dengan senyuman dan suara ramah.Ini memang tempat makan, tetapi bukan tempat biasa yang terdapat orang lalu-lalang untuk makan. Akan tetapi, tempat yang menyajikan kenyamanan dan privasi pengunjung yang dikhususkan berkantong tebal.“Dengan Ibu Aida?”“Betul.”Senyuman mengembang dan wajah ramah, langsung mengarahkan aku ke tempat yang sudah disiapkan. Kami berjalan melewati jalan ditengah-tengah taman yang indah. Udara sejuk dan kenyamanan mulai menyergap. Gemerincik air kolam yang berputar pada kincir air berukuran kecil menyempurnaka
Dia memang jauh lebih menguasai dunia, tapi dalam kasus ini aku ingin menyamakan kedudukan. Aku tidak mau hanya mengucurkan rupiah, dia bersikap seakan memiliki kehidupanku.Kartu berwarna hitam, aku sodorkan kembali. Tujuanku bukan hanya sekadar sekeping benda ini, tetapi kekuatan dan kekuasaan. Kalau aku salah melangkah, bisa jadi fatal bagiku. Mulut orang di luar lebih tajam dan bermata jeli.“Saat nanti saya diperkenalkan sebagai kekasih kamu, saya tidak mau terlihat kaya mendadak. Itu sama saja melukai harga diri dan kedudukan saya. Bukankah lebih baik aku apa adanya? Menjadi wanita yang seolah dicintai bukan dibeli,” ucapku berusaha membuatnya mengerti.Dunia bisnis, tidak ubahnya seperti dunia entertainment. Slentingan gosip bisa menaikkan harga saham, tetapi juga membuatnya terjun bebas. Apa kata orang seandainya putra mahkota mempunyai kekasih yang hanya mengejar harta. Orang akan mencibir dan tidak respek lagi kepadanya.Jari telunjuknya menunjuk dengan mata melebar. “Betul
POV Burhan Melihat anak lelaki itu, aku seperti berkaca pada diriku saat kecil dulu. Kemarahannya sama denganku, menggelapkan mata dan membutakan pikiran untuk pergi dari dunia ini. Semua gara-gara lelaki yang menjadi panutan. Seharusnya dia memberi contoh untuk menjadi pengayom wanita, ini justru kebalikannya.Itu yang aku tahu malam itu. Saat dia histeris dan harus menyerah setelah mendapatkan obat penenang. Keadaannya masih belum stabil. Semangat untuk hidup pasien sangat membantu pemulihan, dibandingkan obat-obatan.“Nama kamu Daniel, kan?” Anak lelaki itu mengangguk lemah.“Kamu ingin sembuh, kan?”“Tidak,” gumamnya lemah, tapi masih tertangkap di telingaku. Tatapanya teralih ke tampat lain. Kata suster, dia cidera karena kecelakaan tunggal. Terlihat sekali kalau ini musibah yang dia inginkan sendiri.Dahiku mengernyit. Dugaanku benar dan mengusik rasa penasaran.“Kenapa?”Dia diam, hanya matanya mengerjap seperti mengingat sesuatu. Kemudian dia berkata, kali ini dia menolehkan