Selamat berhari minggu.
Kalau benci sesuatu jangan keterlaluan. Begitu juga dengan rasa suka kepada seseorang.Rasa cinta dan sayangku kepada Mas Ammar dulu begitu bulat. Tidak ada celah untuk apapun, seakan mata ini hanya tertuju padanya. Apa yang dia ucapkan menjadi kebenaran untukku.Memang benar saat seseorang berjalan dengan hati, dia akan memberikan semuanya dengan bahagia dan tanpa bertanya. Namun, saat yang diharapkan berbanding terbalik, hati juga yang tergores dalam. Semua keindahan berubah seketika menjadi kelam.Akan tetapi, semua pasti ada masanya. Kesedihan dan kebahagiaan itu seperti musim, yang akan datang silih berganti. Sekarang aku menunggu menyambut kebahagiaan.***“Aida. Ini semua laporan proyek Anton,” ucap Laila seraya duduk di seberang meja kerjaku. Dia menyodorkan map berwarna hijau yang sudah dibuka. Progres dan deretan angka-angka menunjukkan pencapaian.Jariku merunut dari atas sampai bawah. Semua berjalan seperti rencana dan disetujui Anton. Bangunan ini belum jadi seratus pers
“Sepi sekali kayak kuburan?” Ucapan pedas langsung terucap setelah pintu terbuka. Laki-laki berambut panjang itu menyunggar dan mengikatnya asal. Dia tersenyum mendapatiku yang duduk sendirian di sofa.“Lagi jadi pengangguran, ya? Bagus kalau begitu,” ucapnya sambil menarik kursi untuk duduk mendekat.Aku mengerutkan alis. Ucapannya seakan menyirat dia mempunyai rencana. Dan aku mencium gelagat tidak baik.Tubuhku kusandarkan ke sofa, kemudian melipat tangan di depan dada. “Kamu ada perlu apa ke sini?”Dia tertawa. “Ada perlu dengan kamu, lah.”“Apa lagi? Aku pikir masalah kita sudah selesai,” ucapku kemudian memicingkan mata ke arahnya. “Kecuali kamu … mencari masalah denganku.”Lagi-lagi dia tertawa. Kedua tangannya menangkup dan menjadi tumpuan kepalanya yang tertuju padaku. “Aku ini orang baik, Aida. Kalau tidak, tidak mungkin kita bertahan bersama belasan tahun. Karenanya, aku tu kepikiran dengan keadaanmu sekarang ini,” ucapnya dengan nada suara rendah. Terkesan seperti laki-la
Perjalanan ini seperti mengantarkan diriku untuk memasrahkan diri, menyerah dengan tawaran yang sebenarnya mengganjal hati ini. Jalan yang biasanya padat, sekarang seakan memberiku jalan untuk cepat menuju tujuan.Tempat yang dipilih Dokter Burhan berada di tengah-tengah jarak antara tempatku dan rumah sakit. Dia mengatakan kalau dia sudah memesan tempat privat untuk kami.“Saya ada janji dengan Dokter Burhan,” ucapku kepada resepsionis yang menyambut dengan senyuman dan suara ramah.Ini memang tempat makan, tetapi bukan tempat biasa yang terdapat orang lalu-lalang untuk makan. Akan tetapi, tempat yang menyajikan kenyamanan dan privasi pengunjung yang dikhususkan berkantong tebal.“Dengan Ibu Aida?”“Betul.”Senyuman mengembang dan wajah ramah, langsung mengarahkan aku ke tempat yang sudah disiapkan. Kami berjalan melewati jalan ditengah-tengah taman yang indah. Udara sejuk dan kenyamanan mulai menyergap. Gemerincik air kolam yang berputar pada kincir air berukuran kecil menyempurnaka
Dia memang jauh lebih menguasai dunia, tapi dalam kasus ini aku ingin menyamakan kedudukan. Aku tidak mau hanya mengucurkan rupiah, dia bersikap seakan memiliki kehidupanku.Kartu berwarna hitam, aku sodorkan kembali. Tujuanku bukan hanya sekadar sekeping benda ini, tetapi kekuatan dan kekuasaan. Kalau aku salah melangkah, bisa jadi fatal bagiku. Mulut orang di luar lebih tajam dan bermata jeli.“Saat nanti saya diperkenalkan sebagai kekasih kamu, saya tidak mau terlihat kaya mendadak. Itu sama saja melukai harga diri dan kedudukan saya. Bukankah lebih baik aku apa adanya? Menjadi wanita yang seolah dicintai bukan dibeli,” ucapku berusaha membuatnya mengerti.Dunia bisnis, tidak ubahnya seperti dunia entertainment. Slentingan gosip bisa menaikkan harga saham, tetapi juga membuatnya terjun bebas. Apa kata orang seandainya putra mahkota mempunyai kekasih yang hanya mengejar harta. Orang akan mencibir dan tidak respek lagi kepadanya.Jari telunjuknya menunjuk dengan mata melebar. “Betul
POV Burhan Melihat anak lelaki itu, aku seperti berkaca pada diriku saat kecil dulu. Kemarahannya sama denganku, menggelapkan mata dan membutakan pikiran untuk pergi dari dunia ini. Semua gara-gara lelaki yang menjadi panutan. Seharusnya dia memberi contoh untuk menjadi pengayom wanita, ini justru kebalikannya.Itu yang aku tahu malam itu. Saat dia histeris dan harus menyerah setelah mendapatkan obat penenang. Keadaannya masih belum stabil. Semangat untuk hidup pasien sangat membantu pemulihan, dibandingkan obat-obatan.“Nama kamu Daniel, kan?” Anak lelaki itu mengangguk lemah.“Kamu ingin sembuh, kan?”“Tidak,” gumamnya lemah, tapi masih tertangkap di telingaku. Tatapanya teralih ke tampat lain. Kata suster, dia cidera karena kecelakaan tunggal. Terlihat sekali kalau ini musibah yang dia inginkan sendiri.Dahiku mengernyit. Dugaanku benar dan mengusik rasa penasaran.“Kenapa?”Dia diam, hanya matanya mengerjap seperti mengingat sesuatu. Kemudian dia berkata, kali ini dia menolehkan
POV Aida “Ini beneran?”Laila tergopoh sambil membawa satu lembar kertas yang disodorkan kepadaku. Wajahnya terlihat ceria dengan mata membulat, yang menunjukkan ini kabar baik.Aku yang sedang berbincang dengan Andre tentang branding yang mulai mendapat respon khalayak, berhenti sejenak. Kami berdua sama-sama menatap Laila yang mengepalkan kedua tangan sambil teriak girang.Email yang pertanda dari Raharja Grup tentang rencana pembangunan Raharga Hospital ketiga. Senyumku mengembang sempurna, dia ternyata membayar kesepakatannya terlebih dahulu. Ini titik balik kami untuk meloncat lebih tinggi daripada sebelumnya.“Yes!” teriak Laila saat aku mengangguk.Kertas aku sodorkan ke Andre yang sedari tadi memandangku dan Laila dengan heran. Setelahnya, pekikan gembira menyusul darinya. Keadaan semakin riuh saat Rara pun bergabung dan mereka pun saling mengungkapkan kelegaan.Sama denganku. Bedanya di sudut hatiku mulai was-was dengan peran yang sebentar aku jalani.“Andre, ini sudah aku c
“Semangat!” seruku di sela-sela wajah-wajah yang mengerutkan dahi.“Semangat!” seru mereka bertiga, kemudian kembali berkutat dengan kertas-kertas yang terhampar di depan masing-masing.Di meja panjang yang biasanya untuk meeting, kami bekerja bersama. Kebiasaan kami untuk efektifitas untuk menghemat waktu untuk bertemu. Kami bisa langsung berdiskusi tanpa mengetuk ruang kerja.“Untung saja ini rancangan Lituhayu yang sejalan dengan yang biasanya kita kerjakan,” ucap Andre tanpa melepas pandangan dari layar komputer. Dia menilik di setiap detail rancangan.Satu persatu di cek ulang untuk memastikan hitungan mereka tidak ada yang meleset. Kalau kami tidak jeli, dan ternyata di lapangan dana membengkak, itu menjadi resiko kami si kontraktor. Makanya, sekarang sebagai kesempatan untuk memastikan dalam kondisi aman.“Hitungan awal sebenarnya tidak jauh beda, hanya karena ini hitungan satu tahun yang lalu, kita hanya menyesuaikan sepuluh persen dari perhitungan,” ucap Andre menyerahkan est
Ketika badan penat, rumah menjadi tujuan yang bisa mengurai semua itu. Matahari sudah mulai turun, menjadikan senja menyambut kedatanganku. Tempat tinggalku ini bukan apartemen mewah yang penuh dengan fasilitas modern. Masih terletak di kota, tetapi agak ke pinggir sedikit, yang menjadikan aku menjatuhkan pilihan. Mid rise apartment, model hunian dengan jumlah lantai yang tidak lebih dari sebelas lantai. Yang mengusung konsep garden. Sekeliling memiliki akses langsung ke ruang hijau terbuka. Dimana-mana taman dan itu sungguh menyejukkan mata. “Selamat sore, Bu Aida,” seru penjaga unit yang ada di bawah. “Sore. Apa melihat Daniel sudah pulang?” “Sudah, sekitar satu jam yang lalu,” jawabnya sambil tersenyum. Aku mengangguk dan tersenyum membalas senyumannya. Ini yang aku suka. Memang sesama penghuni kami mempunyai privasi, tetapi pengurus apartemen berusaha mendekatkan diri kepada kami. Mereka terlihat berusaha menghapal nama-nama kami, dan itu yang membuatku merasa aman. Hatiku pun
Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal
“Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,
“Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog
“Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya
POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad
Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”
Aku mengeratkan genggaman pada pergelangan tangan Daniel. Sama denganku, anakku ini terlihat kaget mendengar ucapan lelaki ini. Dari awal persiapan, aku selalu mengatakan ada Tante Candra-saudara Tante Laila-yang akan menemani kami. Bodohnya aku tidak bertanya lebih lanjut kepada Laila siapa sebenarnya saudara yang menjadi tour guide kami. Siapa sangka nama Candra Lukita bukanlah perempuan, tapi justru laki-laki. “Ma-maaf. Saya pikir….” “Santuy, ajah. Aku panggil kamu Aida, ya? Kita mungkin tidak seumuran, tapi di negara ini tidak memandang seseorang dari umur.” Dalam hati aku mencembik. Tidak usah bilang umur. Tanpa dibilang pun aku tahu lelaki ini jauh lebih muda dariku. Tubuhnya aja yang menjulang yang memanipulasi usianya. “Iya, silakan. Tapi sekali lagi minta maaf, ya. Laila juga tidak mengatakan kalau anda laki-laki. Saya juga tidak bertanya,” sahutku memberi alasan. Dia menunjukkan senyuman pemakluman. Jujur aku malu, kok bisanya aku tidak seteliti ini. Sampai jenis kela
Kata-kata bernada kompromi bergumul di kepala. Menjadikan apa yang terjadi adalah suatu yang bisa dimaklumi. Kami yang sama-sama dewasa yang tentunya mempunyai kebutuhan hasrat dan itu hal biasa. Terlebih bagi dua insan yang saling jatuh cinta. ‘Huft! Pembelaan mencari pembenaran,’ bisik sudut hatiku sebelah sana. Namun, bukankah kedewasaan dan rasa cinta seharusnya menempatkan seseorang untuk dijaga? Bukan untuk dijadikan obyek pelampiasan hasrat semata. Cinta yang agung hanya tersekat selembar rambut dengan nafsu. Dan, yang terjadi sudah hal demikian. Sepanjang jalan menuju pulang, kami hanya terdiam. Tidak ada kata sepatahpun setelah dia mengatakan maaf. “Aida. Maafkan aku. A-aku sangat merindukan kamu dan mendapati kamu seperti sekarang menjadikan aku tidak mampu mengendalikan diri,” ucapnya dengan suara parau. “Kamu membuatku gila, Aida,” gumamnya sambil meraup kasar wajahnya. Tanganku mencengkeram jaket yang sudah aku eratkan. Begitu juga bawahan baju tidur yang tidak cu
Kata orang, semakin kita meniatkan sesuatu, semakin godaan akan datang. Aku mengurus semua untuk kepergianku, mulai dari administrasi, sampai izin ke sekolah Daniel. Tentu saja ini dirahasiakan dari Mas Burhan.Dia hanya tahu, ketidak aktifanku di kantor karena untuk pemulihan. Itu juga karena Laila yang memberitahu dia.“Aku mendukung, kok,” ucapnya melalui sambungan telpon.“Benar? Kamu tidak merasa rugi karena aku meninggalkan proyek?” tanyaku sarkas. Setahuku dari dulu dia selalu mengatakan hal yang menyangkut untung dan rugi. Terlebih tentang kehadiranku.Dia tidak tersinggung, justru suara tawa terdengar.“Kamu ingat saja. Itu kan supaya kamu tidak mewakilkan kehadiranmu.”Aku mendengkus. “Huh, bilang saja tidak mau rugi.”“Iya, lah. Rugi kalau aku datang dan gagal bertemu dengan orang yang aku inginkan,” sahutnya memantik diri ini mengernyitkan dahi.Di setiap percakapan, selalu saja ucapan rayuan menyoal. Dasar laki-laki playboy. Mungkin ini satu alasan dia tidak kunjung mempu